Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin.
Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya.
Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topeng
berpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.
Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.
Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembutan dan kehangatan belaian seorang ibu.Pelukan perlindungan dan kasih sayang seorang ayah.Mereka hanya ingin bisa merasakan, sekali saja di dalam kehidupan rasa pernah dicintai, oleh mereka yang membuat mereka ada di dunia ini. Tetapi sepertinya tidaklah mungkin.Mengapa hidup begitu jahat terhadap kami? Sebuah pertanyaan yang paling sering terlontarkan oleh Asmah dan kawan-kawan senasib yang lain. Terpaksa mengorbankan kehormatan dan harga diri terkoyak, hanya agar terus bisa bernafas. Takdir tidak memberikan pilihan lain terhadap mereka semua.
"Semoga saja, takdir membuka peluang kehidupanku di jalan yang lain, apa saja, asal bukan sebagai pelaku prostitusi," harap Amira, sesaat kembali tersadar dari lamunan.
Mengerjap sesaat, dan kembali membasuh wajah. Air pegunungan ini seperti candu, kesegaranya membuat Amira betah bermain air yang dingin dan jernih.
'Aku suka wajahku seperti ini,' ungkapan bathin Amira. Sembari mematut-matut dirinya di depan cermin.
"Apa benar aku cerdas?" terngiang pujian Darmawan barusan. Sejauh ini, dia bersikap baik, dan memperlakukan aku dengan sopan. Berharap perkiraan naluriku tidaklah salah terhadapnya.
Tok--tok--tok ... "Mira? Amira! Buka pintunya sebentar." Suara ketukan pintu dan panggilan dari Darmawan mengagetkan Amira, membuatnya sedikit ketakutan.
"I--iya, Om! Sebentar!" jawab Amira, perlahan mulai mendekati. Rasa takut semakin menyergap. Berhenti, tertegun di balik pintu kamar mandi.
"Ada perlu apa, Om?" tanya Amira dari sisi pintu dalam, memastikan.
"Buka saja, sebentar." Kembali Darmawan mengetuk- ngetuk pintu. Walaupun terdengar lebih pelan.
"Kamu tidak apa-apa, Amira?" tanyanya kembali. suara Darmawan terdengar seperti khawatir, ingin memastikan kedaan Amira.
"Saya baik-baik saja,Om." Jemari menggenggam pegangan pintu, gemetaran tubuh Amira terasa.
"Buka, sebentar!" serunya lagi.
"Klek."
Amira membuka pintu perlahan. Tidak berani menatap wajah Darmawan, tertunduk dalam. Badannya terasa gemetaran. Amira sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Hanya bisa lakukan itu, menyerah pada keadaan.
Darmawan menyodorkan pada Amira, pakaian tebal yang terlipat rapih.
"Ganti pakaianmu, bisa sakit jika masih memakai pakaian seperti itu," ucapnya. "Ambillah!" sedikit menekan, dengan menyodorkan pakaian tersebut.
Amira mengangkat wajah perlahan. Menatap wajah Darmawan sembari menerima pakaian yang di sodorkan kepadanya. Tuan CEO itu sedikit terperangah, saat melihat Amira.
"Tanpa make-up begini, wajahmu terlihat lebih cantik dan segar," pujinya pada Amira.
"Terima kasih, Om," jawab Amira, terasa panas paras wajahnya, mendapatkan pujian dari lawan jenisnya. Amira mengangguk pelan, meminta ijin untuk menutup pintu kembali.
"Kutunggu di ruang tamu." Berbalik badan meninggalkan Amira.
"Baik, Om."
Darmawan terus saja berjalan tanpa menoleh lagi, Amira kembali menutup pintu kamar mandi dan mulai berganti baju.
Darmawan masih duduk di kursi semula, saat Amira kembali ke ruang tamu dengan pakaian serupa sweater yang tadi diberikan olehnya.
Tubuhnya bersender santai pada punggung kursi dan tangan menempel pada gagangnya. Disilangkan kakinya di atas kaki yang lain sembari mengisap rokoknya perlahan. Terlihat gagah sekali, pembawaannya tenang.
Pria paruh baya dengan paras wajah masih terlihat tampan rupawan. Menoleh sesaat setelah Amira melewatinya, dan duduk kembali di bangku tepat di hadapannya.
Terlihat dalam tatapan matanya, membuat Amira menjadi grogi dan gelisah. Memainkan jari jemari adalah jalan keluar Amira mencoba menetralisir kegugupan.
Darmawan terdiam, masih menikmati rokoknya. Terus saja memperhatikan Amira, seperti sedang menaksir-naksir harga sebuah barang yang terpajang. Sesaat tersadar Amira, lelaki dewasa yang tahu tentang keberadaannya sebagai kupu-kupu di sini pasti menganggap seperti itu.
Hanyalah barang pajangan di sebuah etalase toko.Darmawan kembali mengambil map di atas meja, dan mulai terlihat serius memperhatikan lembar demi lembar halaman. Sesekali terlihat mengangguk terkedang menggeleng, entah apa maksudnya, lalu kembali meletakkan map tersebut.
"Itu map apa, Om?" memberanikan diri Amira bertanya kepadanya. Menoleh sesaat, senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Proposal pengajuan kerja sama." Jawabnya, lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya perlahan.
"Proposal itu apa, Om?" tanya Amira lagi. Tertawa dia dengan lesung pipi terlihat di sebelah kanannya.
"Kapan-kapan saja nanti jawabannya." Semakin tergelak ia.
"Mereka bilang apa, saat menyuruhmu menemui aku?" terdiam Amira, berpikir sesaat untuk mengingat-ingat.
"Memberikan servis dan pelayanan yang baik, dan jangan mengecewakan, Om," jawab Amira apa adanya, tanpa maksud apapun juga.
Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. "Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa."Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira."Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya."Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu
"Dia, Amila. Memang owe yang kilim buat Bapak," jawab Bos Gendut, menjelaskan. "Pak Malkus puas dengan pelayanannya?" tanya si Bos."Sudah kuduga, mereka semua mengira bahwa aku adalah Markus," batin Darmawan."Berarti dugaan adanya permainan dalam proyek perusahaan yang dicurigai oleh kantor pusat benar adanya," ucap Darmawan, dalam hati."Pelayanan apa maksudnya, Bos?" Darmawan mencoba meminta penjelasan, walaupun dia tahu maksud dan arah dari pertanyaan tersebut."Ah, masa Pak Malkus tidak paham," ucap Bos Gendut, sembari tertawa cengengesan bersama teman di sebelahnya."Loh, saya memang benar-benar tidak paham," ujar Darmawan, mencoba meyakinkan.Mereka saling menoleh satu sama lain, seperti kebingungan."Lalu, si Amila semalaman sama Pak Malkus?" tanya si Bos, sambil menatap ke arah Amira, yang duduk di samping Darmawan, berhadapan dengan mereka berdua."Anda tahu, berapa usia gadis ini?" Darmawan mulai berbicara tegas, jemarinya menunjuk ke arah Amira. Sekali lagi Bos Gendut dan
"Jika begitu tidak apa-apa, sekalang ... owe mau pamit," ucap si Bos, lalu tatapan matanya di arahkan kepada Amira."Amila, ikut owe pulang sekalang!" perintahnya, sambil bersiap-siap untuk berdiri. Sepertinya dia sadar jika dalam posisi yang tidak menguntungkan dan ada di bawah tekanan.Darmawan berdiri bergerak cepat, menahan mereka untuk pergi, dengan menyongsongkan sebelah tangannya, seperti memberi kode agar mereka berdua duduk kembali."Duduk dulu sebentar, masalah kita belum sepenuhnya selesai!" tegasnya.Bos Gendut dan koleganya perlahan duduk kembali, lalu diikuti oleh Darmawan.Dimas mengangguk, setelah melihat Darmawan memberikan kode, memintanya untuk mulai bicara."Boleh saya tahu, nama Bapak-bapak ini siapa?" tanya Dimas kepada kedua orang yang ada di depannya. Sebelum memulai pembicaraan ke arah yang lebih serius."Owe, Ayung. Temen owe, Beng-Liem," jawab Bos Gendut, memperkenalkan nama mereka berdua."Bapak-bapak ini tahu, kan, usia gadis ini berapa?" tanya Dimas, mere
Pertanyaan Darmawan benar-benar membuat Amira bingung dan sulit untuk menemukan jawabannya."Saya tidak tahu, Om," jawab Amira, masih dilanda kebingungan. Darmawan pun tidak melanjutkan pertanyaan, karena gadis itu pernah bercerita jika sudah dirawat Mami Merry sejak dari balita."Kamu tidak ingin tahu keberadaan orang tuamu, Ra?" Dimas sekarang yang bertanya."Bagaimana caranya, Mas," jawabnya, rasa kekhawatiran kembali menyesap ke dalam diri Amira. Dimas terdiam, sedikit banyak dia cukup tahu tentang Amira dari cerita Darmawan."Om?" panggil Amira kepada Darmawan. Pria mapan yang baru saja menolongnya ini langsung menatap Amira tanpa bersuara. Dan Amira kembali bertanya."Saya harus bagaimana, Om?" tanya Amira bingung, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi."Kamu sudah bebas, Amira. Sekarang kamu bisa pergi kemana saja yang kamu mau," jelas Darmawan, matanya dalam menatap Amira."Tapi kemana, Om?" Amira benar-benar dilanda kebingungan. Seumur hidupnya, hanya baru dua har
Sebuah pesan masuk ke gawai, Mami Merry. Dibuka dan dibacanya pesan dari koh Ayung, pemenang tender atas keperawanan Amira.Koh Ayung mengajak bertemu di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari pabrik miliknya, siang ini juga. Karena ada hal penting yang ingin dibicarakan, dan Mami Merry bersedia menemui pelanggan setianya."Mungkin, Koh Ayung akan memperpanjang masa sewa, Amira. Karena puas dengan pelayanan yang Amira berikan." Mami Merry tersenyum dan tertawa bahagia."Si banci memang paling bisa diandalkan dalam mendidik anak-anak." Tersenyum sendiri Mami Merry."Kau memang calon primadona baru, Amira. Ladang duit dan tambang emas baru buatku," ucapnya terkekeh, lalu bergegas pergi untuk menemui Koh Ayung.÷÷÷Mami Merry tiba di restoran tempat di mana Koh Ayung ingin bertemu, dengan ditemani Tante Banci dan dua bodyguardnya. Sesampainya di tempat pertemuan, terlihat begitu banyak petugas pengamanan di situ, seperti security-security-nya pabrik Koh Ayung, ada sekitar lima orang pet
Tante Banci mulai terlihat ketakutan, lalu berdiri, menghindar menjauh. Mami Merry sadar, situasi tidaklah menguntungkannya, apalagi posisi pabrik Koh Ayung tidaklah terlalu jauh dari tempat pertemuan ini, akan mudah bagi mereka untuk meminta bantuan.Mami Merry memutuskan untuk pergi dari tempat pertemuan, sambil terus mengomel-ngomel sepanjang jalan. Rasa jengkel, kesal dan amarah benar-benar menguasainya, ladang penghasil duitnya sudah terlepas dari tangannya."Eh, Banci, coba telepon itu Koh Ayung. Tanyakan, siapa nama orang yang membawa si Amira pergi." Perintah Mami Merry kepada Tante Yusnia, saat mereka sudah di dalam kendaraan."Baik, Mi," jawab Tante Banci, lalu mulai menelpon Koh Ayung."Sudah, Mi. Sudah dapat namanya dan nama perusahaannya," jawab Tante Banci."Catat namanya, si anak yang tidak tahu di untung itu, pasti ikut bersamanya." Masih terdengar jengkel suara Mami Merry."Baik, Mi." Tante Yusnia mulai mencatat apa yang dibilang Koh Ayung melalui gawainya.Sesampainy