Share

7. Mengapa Hidup Begitu Jahat

Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. 

Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. 

Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topeng

berpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.

Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.

Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.

Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.

Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.

Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembutan dan kehangatan belaian seorang ibu.

Pelukan perlindungan dan kasih sayang seorang ayah.

Mereka hanya ingin bisa merasakan, sekali saja di dalam kehidupan rasa pernah dicintai, oleh mereka yang membuat mereka ada di dunia ini. Tetapi sepertinya tidaklah mungkin.

Mengapa hidup begitu jahat terhadap kami? Sebuah pertanyaan yang paling sering terlontarkan oleh Asmah dan kawan-kawan senasib yang lain. Terpaksa mengorbankan kehormatan dan harga diri terkoyak, hanya agar terus bisa bernafas. Takdir tidak memberikan pilihan lain terhadap mereka semua.

"Semoga saja, takdir membuka peluang kehidupanku di jalan yang lain, apa saja, asal bukan sebagai pelaku prostitusi," harap Amira, sesaat kembali tersadar dari lamunan. 

Mengerjap sesaat, dan kembali membasuh wajah. Air pegunungan ini seperti candu, kesegaranya membuat Amira betah bermain air yang dingin dan jernih. 

'Aku suka wajahku seperti ini,' ungkapan bathin Amira. Sembari mematut-matut dirinya di depan cermin.

"Apa benar aku cerdas?" terngiang pujian  Darmawan barusan. Sejauh ini, dia bersikap baik, dan memperlakukan aku dengan sopan. Berharap perkiraan naluriku tidaklah salah terhadapnya.

Tok--tok--tok ... "Mira? Amira! Buka pintunya sebentar." Suara ketukan pintu dan panggilan dari Darmawan mengagetkan Amira, membuatnya sedikit ketakutan.

"I--iya, Om! Sebentar!" jawab Amira, perlahan mulai mendekati. Rasa takut semakin menyergap. Berhenti, tertegun di balik pintu kamar mandi.

"Ada perlu apa, Om?" tanya Amira dari sisi pintu dalam, memastikan.

"Buka saja, sebentar." Kembali Darmawan mengetuk- ngetuk pintu. Walaupun terdengar lebih pelan.

"Kamu tidak apa-apa, Amira?"  tanyanya kembali. suara Darmawan terdengar seperti khawatir, ingin memastikan kedaan Amira.

"Saya baik-baik saja,Om." Jemari menggenggam pegangan pintu, gemetaran tubuh Amira terasa.

"Buka, sebentar!" serunya lagi.

"Klek." 

Amira membuka pintu perlahan. Tidak berani menatap wajah Darmawan, tertunduk dalam. Badannya terasa gemetaran. Amira sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Hanya bisa lakukan itu, menyerah pada keadaan.

Darmawan menyodorkan pada Amira, pakaian tebal yang terlipat rapih.

"Ganti pakaianmu, bisa sakit jika masih memakai pakaian seperti itu," ucapnya. "Ambillah!" sedikit menekan, dengan menyodorkan pakaian tersebut.

Amira mengangkat wajah perlahan. Menatap wajah Darmawan sembari menerima pakaian yang di sodorkan kepadanya. Tuan CEO itu sedikit terperangah, saat melihat Amira.

"Tanpa make-up begini, wajahmu terlihat lebih cantik dan segar," pujinya pada Amira.

"Terima kasih, Om," jawab Amira, terasa panas paras wajahnya, mendapatkan pujian dari lawan jenisnya. Amira mengangguk pelan, meminta ijin untuk menutup pintu kembali.

"Kutunggu di ruang tamu." Berbalik badan meninggalkan Amira.

"Baik, Om." 

Darmawan terus saja berjalan tanpa menoleh lagi, Amira kembali menutup pintu kamar mandi dan mulai berganti baju.

Darmawan masih duduk di kursi semula, saat Amira kembali ke ruang tamu dengan pakaian serupa sweater yang tadi diberikan olehnya. 

Tubuhnya bersender santai pada punggung kursi dan tangan menempel pada gagangnya. Disilangkan kakinya di atas kaki yang lain sembari mengisap rokoknya perlahan. Terlihat gagah sekali, pembawaannya tenang. 

Pria paruh baya dengan paras wajah masih terlihat tampan rupawan. Menoleh sesaat setelah Amira melewatinya, dan duduk kembali di bangku tepat di hadapannya.

Terlihat dalam tatapan matanya, membuat Amira menjadi grogi dan gelisah. Memainkan jari jemari adalah jalan keluar Amira mencoba menetralisir kegugupan. 

Darmawan  terdiam, masih menikmati rokoknya. Terus saja memperhatikan Amira, seperti sedang menaksir-naksir harga sebuah barang yang terpajang. Sesaat tersadar Amira, lelaki dewasa yang tahu tentang keberadaannya sebagai kupu-kupu di sini pasti menganggap seperti itu.

Hanyalah barang pajangan di sebuah etalase toko.

Darmawan kembali mengambil map di atas meja, dan mulai terlihat serius memperhatikan lembar demi lembar halaman. Sesekali terlihat mengangguk terkedang menggeleng, entah apa maksudnya, lalu kembali meletakkan map tersebut.

"Itu map apa, Om?" memberanikan diri Amira bertanya kepadanya. Menoleh sesaat, senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Proposal pengajuan kerja sama." Jawabnya, lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya perlahan.

"Proposal itu apa, Om?" tanya Amira lagi. Tertawa dia dengan lesung pipi terlihat di sebelah kanannya.

"Kapan-kapan saja nanti jawabannya." Semakin tergelak ia.

"Mereka bilang apa, saat menyuruhmu menemui aku?" terdiam Amira, berpikir sesaat untuk mengingat-ingat.

"Memberikan servis dan pelayanan yang baik, dan jangan mengecewakan, Om," jawab Amira apa adanya, tanpa maksud apapun juga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Om tolongin Amira
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status