Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu
"Dia, Amila. Memang owe yang kilim buat Bapak," jawab Bos Gendut, menjelaskan. "Pak Malkus puas dengan pelayanannya?" tanya si Bos."Sudah kuduga, mereka semua mengira bahwa aku adalah Markus," batin Darmawan."Berarti dugaan adanya permainan dalam proyek perusahaan yang dicurigai oleh kantor pusat benar adanya," ucap Darmawan, dalam hati."Pelayanan apa maksudnya, Bos?" Darmawan mencoba meminta penjelasan, walaupun dia tahu maksud dan arah dari pertanyaan tersebut."Ah, masa Pak Malkus tidak paham," ucap Bos Gendut, sembari tertawa cengengesan bersama teman di sebelahnya."Loh, saya memang benar-benar tidak paham," ujar Darmawan, mencoba meyakinkan.Mereka saling menoleh satu sama lain, seperti kebingungan."Lalu, si Amila semalaman sama Pak Malkus?" tanya si Bos, sambil menatap ke arah Amira, yang duduk di samping Darmawan, berhadapan dengan mereka berdua."Anda tahu, berapa usia gadis ini?" Darmawan mulai berbicara tegas, jemarinya menunjuk ke arah Amira. Sekali lagi Bos Gendut dan
"Jika begitu tidak apa-apa, sekalang ... owe mau pamit," ucap si Bos, lalu tatapan matanya di arahkan kepada Amira."Amila, ikut owe pulang sekalang!" perintahnya, sambil bersiap-siap untuk berdiri. Sepertinya dia sadar jika dalam posisi yang tidak menguntungkan dan ada di bawah tekanan.Darmawan berdiri bergerak cepat, menahan mereka untuk pergi, dengan menyongsongkan sebelah tangannya, seperti memberi kode agar mereka berdua duduk kembali."Duduk dulu sebentar, masalah kita belum sepenuhnya selesai!" tegasnya.Bos Gendut dan koleganya perlahan duduk kembali, lalu diikuti oleh Darmawan.Dimas mengangguk, setelah melihat Darmawan memberikan kode, memintanya untuk mulai bicara."Boleh saya tahu, nama Bapak-bapak ini siapa?" tanya Dimas kepada kedua orang yang ada di depannya. Sebelum memulai pembicaraan ke arah yang lebih serius."Owe, Ayung. Temen owe, Beng-Liem," jawab Bos Gendut, memperkenalkan nama mereka berdua."Bapak-bapak ini tahu, kan, usia gadis ini berapa?" tanya Dimas, mere
Pertanyaan Darmawan benar-benar membuat Amira bingung dan sulit untuk menemukan jawabannya."Saya tidak tahu, Om," jawab Amira, masih dilanda kebingungan. Darmawan pun tidak melanjutkan pertanyaan, karena gadis itu pernah bercerita jika sudah dirawat Mami Merry sejak dari balita."Kamu tidak ingin tahu keberadaan orang tuamu, Ra?" Dimas sekarang yang bertanya."Bagaimana caranya, Mas," jawabnya, rasa kekhawatiran kembali menyesap ke dalam diri Amira. Dimas terdiam, sedikit banyak dia cukup tahu tentang Amira dari cerita Darmawan."Om?" panggil Amira kepada Darmawan. Pria mapan yang baru saja menolongnya ini langsung menatap Amira tanpa bersuara. Dan Amira kembali bertanya."Saya harus bagaimana, Om?" tanya Amira bingung, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi."Kamu sudah bebas, Amira. Sekarang kamu bisa pergi kemana saja yang kamu mau," jelas Darmawan, matanya dalam menatap Amira."Tapi kemana, Om?" Amira benar-benar dilanda kebingungan. Seumur hidupnya, hanya baru dua har
Sebuah pesan masuk ke gawai, Mami Merry. Dibuka dan dibacanya pesan dari koh Ayung, pemenang tender atas keperawanan Amira.Koh Ayung mengajak bertemu di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari pabrik miliknya, siang ini juga. Karena ada hal penting yang ingin dibicarakan, dan Mami Merry bersedia menemui pelanggan setianya."Mungkin, Koh Ayung akan memperpanjang masa sewa, Amira. Karena puas dengan pelayanan yang Amira berikan." Mami Merry tersenyum dan tertawa bahagia."Si banci memang paling bisa diandalkan dalam mendidik anak-anak." Tersenyum sendiri Mami Merry."Kau memang calon primadona baru, Amira. Ladang duit dan tambang emas baru buatku," ucapnya terkekeh, lalu bergegas pergi untuk menemui Koh Ayung.÷÷÷Mami Merry tiba di restoran tempat di mana Koh Ayung ingin bertemu, dengan ditemani Tante Banci dan dua bodyguardnya. Sesampainya di tempat pertemuan, terlihat begitu banyak petugas pengamanan di situ, seperti security-security-nya pabrik Koh Ayung, ada sekitar lima orang pet
Tante Banci mulai terlihat ketakutan, lalu berdiri, menghindar menjauh. Mami Merry sadar, situasi tidaklah menguntungkannya, apalagi posisi pabrik Koh Ayung tidaklah terlalu jauh dari tempat pertemuan ini, akan mudah bagi mereka untuk meminta bantuan.Mami Merry memutuskan untuk pergi dari tempat pertemuan, sambil terus mengomel-ngomel sepanjang jalan. Rasa jengkel, kesal dan amarah benar-benar menguasainya, ladang penghasil duitnya sudah terlepas dari tangannya."Eh, Banci, coba telepon itu Koh Ayung. Tanyakan, siapa nama orang yang membawa si Amira pergi." Perintah Mami Merry kepada Tante Yusnia, saat mereka sudah di dalam kendaraan."Baik, Mi," jawab Tante Banci, lalu mulai menelpon Koh Ayung."Sudah, Mi. Sudah dapat namanya dan nama perusahaannya," jawab Tante Banci."Catat namanya, si anak yang tidak tahu di untung itu, pasti ikut bersamanya." Masih terdengar jengkel suara Mami Merry."Baik, Mi." Tante Yusnia mulai mencatat apa yang dibilang Koh Ayung melalui gawainya.Sesampainy
Bahagianya Amira, hari ini adalah hari di mana dia bisa merasakan arti dari sebuah kebebasan.Amira merasakan, jika udara pegunungan pagi ini adalah udara terbaik yang pernah dihirupnya selama ini."Ternyata beginilah rasanya udara kebebasan," ucap bathinnya. Matanya memandang lurus ke arah pegunungan yang menjulang dengan indahnya. Dikelilingi hamparan kebun-kebun teh yang menghijau.Terlihat asap dingin halimun menyelimuti tipis di lingkungan sekitar villa.Terdiam, menangis Amira dalam kebahagiaan yang tiada terhingga, ingin rasanya dia bernyanyi dan menari untuk mengungkapkan betapa bahagianya dia pagi ini."Inilah hari terbaik dalam hidupku," ungkap bathinnya lagi. Sembari mengusap pelan butiran air yang jatuh dari sudut netranya.Sebuah tepukan pelan menyentuh bahunya, Darmawan tersenyum berdiri di sampingnya, dengan Dimas yang berdiri agak sedikit di belakang, hanya diam memperhatikan."Ayu, Amira ... kita pulang," ucap Darmawan, sembari melangkah mendahului Amira menuju kenda
Para junior harus tidur dalam keadaan menahan lapar.Pelecehan pun sering dilakukan oleh para tukang pukul mami kepada penghuni penampungan, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka semua, Mamih Mery dan para tukang pukulnya benar-benar mengeksploitasi kami, para penghuni rumah penyekapan ini. Mami tidak pernah melarang para bodyguardnya melakukan pelecehan se**ual terhadap mereka semua, selama para bodyguard itu tidak merusak duit mami. Harta Qarun mami, yaitu sebuah keperawanan yang bisa berharga puluhan hingga ratusan juta.Ya, hidup kami semua hanya untuk sebuah selaput keperawanan.Pecah selaput kehormatan akan menaikkan derajat. Dari melayani akan jadi dilayani.Dari pembantu akan menjadi majikan.Dari kelaparan, tidak punya uang, tidak punya apapun, semua akan berubah jika menukarnya dengan selaput tipis bernama "keperawanan." Dan kebanyakan itu lah yang bisa merubah pola pikir dan penghuni tempat ini. Sebagian besar malah semakin menikmati kemudahan uang dan materi. Namun Amira