Part 65Diaz ada juga terpikirkan, jangan-jangan, dirinya hanya dimanfaatkan oleh Mella, lebih karena sakit hati karena Darmawan akan menikah dengan Hanum, bukan karena kematian sang mami? Namun tidak mungkin baginya berbicara seperti itu, karena hanya bersifat dugaan dirinya saja. "Kenapa tidak dibicarakan sekarang saja, Mbak? Kenapa harus menunggu nanti malam?" tanya Diaz, mempertanyakan. "Nanti malam, waktunya lebih panjang dan bebas, Sayang. Nanti, Mbak siapkan semuanya. Atau kamu mau kita pergi sekarang saja ke apartemen, Mbak?" ajak Susan, kembali bersikap genit dan menggoda. Mengusap-usap lembut punggung tangan Diaz. Selain Darmawan, tidak ada laki-laki yang mampu menolak pesonanya, dan itu yang sekarang dia akan coba untuk menaklukkan Diaz. "Disiapkan semua? Maksudnya, Mbak?""Semua kebutuhanmu, Sayang, semuanya. Mau, 'kan?" Senyumnya menggoda, matanya mengerling genit, dan Diaz sudah cukup dewasa untuk dapat memahaminya. "Beneran ini, Mbak? Enak dong, saya," goda Diaz sud
Amira, gadis belasan tahun itu terlihat turun dari motor yang mengantarkannya ke tempat dingin ini. Memandangi rumah dengan bentuk lama tapi indah dan terawat dengan cahaya lampu yang terang. Malam yang pekat tidak mengurangi keindahan rumah ini, yang mereka bilang sebagai Villa, itu yang didengar Amira. Entah untuk apa dia dibawa ke tempat ini, ternyata bukan Koh Abun yang ingin memakai jasanya, tetapi sepertinya orang yang ada di Villa ini. "Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana." "Baik, Bang," jawab pelan Amira. Pria muda yang bersamanya segera masuk ke dalam vila tersebut, dan tidak beberapa lama keluar lagi bersama lelaki paruh baya yang sepertinya penunggu rumah villa ini."Kamu ikut Bapak ini. Setelah urusanmu selesai, tunggu saja di depan teras, nanti kujemput lagi," ucap pria muda itu mengingatkan.Amira mengangguk, dan mulai mengikuti bapak tua itu masuk kedalam villa, dan si pria muda tersebut langsung berlalu dengan motornya."Duduk dulu, Neng!" ujar si bapak, setela
"Amira. Nama yang bagus, tidak pasaran. Kamu sudah Makan?""Be--belum, Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi di jalan.""Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira. Raut wajahnya terlihat khawatir."Apa saja, Tuan." Sembari Amira mendekap tubuhnya, melawan rasa dingin yang menerkam, hingga terasa sampai ke tulang.Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekati Amira dengan membawa selimut tebal di tangannya."Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil memberikan selimut. Sekilas tersenyum tipis."Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan kembali bertanya."Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" Ada rasa sakit yang menikam ke dalam hati Amira, saat pria dewasa itu bertanya dengan santainya, tanpa berpikir lagi apakah pertanyaannya menyinggung Amira atau tidak. "Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Terdiam Amira, a
Amira kembali memandangi wajah polosnya pada cermin. Gambar diri sebenarnya, bersih tanpa make-up, warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah. Terus saja memandangi. Perlahan, pikirannya mulai kembali ke masa lalu hingga dia bisa berada di Villa ini. Flashback [ POV AMIRA ]Aku, Amira--gadis kecil berusia 14 tahun, korban dari mafia perdagangan anak. Menurut desas-desus, aku terjual saat masih bayi pada Mami Merry--seorang muncikari penyedia khusus perempuan muda di bawah usia dua puluh dua tahun.Aku terpenjara dalam asuhan Mami Merry. Sama seperti lima gadis kecil lainnya. Sengaja diasuh untuk dijadikan pemuas nafsu lelaki berduit.Di bawah pantauan mami Merry, tidak ada tenaga yang terbuang. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah adalah tugas yang tak boleh dibantah. Kami adalah budak. Patuh pada perintah adalah keharusan mutlak.Keperawanan kami adalah harta berharganya. Puluhan juta, bahkan sampai di atas seratus juta--harga yang Mami Merry tawarkan kepada para p
Aku benar-benar dibuat sedih, bingung sekaligus panik, dengan kedatangan haid pertamaku.Rasa ketakutan, jika keperawananku akan di jual dan harus melayani kepuasan sang pemenang tender atas tubuhku, menimbulkan rasa ketakutan yang teramat sangat."Apa yang harus kulakukan?" menyerah perlahan pada keadaan, atau menyembunyikan kehaid'anku secara diam-diam.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Memperhatikan sekitar tempatku menjemur pakaian, di lantai paling atas tempat penyekapan kami. Sepi tidak ada siapapun,cepat-cepat kubersihkan darah haid, menyembunyikan pakaian bekas kupakai membersihkan darah, dan mengambil sebuah kaus t-shirt untuk menyembunyikan darah haidku. Entah milik siapa. Ijin keluar membeli pembalut pasti tidaklah mungkin, melihat ketatnya pengawasan keluar masuk yang di jaga 24 jam oleh tukang pukul Mami Merry. Bahkan untuk membeli camilan atau minuman ringan di warung dekat tempat kami diasuh pun, diawasi sangat ketat.Satu-satunya cara adalah, jika di antara senior mend
Tante Banci baru saja selesai mendandani, kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin."Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati. Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini belum sesuai dengan umurku, tidak pantas rasanya berdandan seperti ini. Jujur ... hati ini menolak.Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi, melihatku dengan pandangan sedih."Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku. Kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini."Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah."Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini."Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."Asmah
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti."Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry."Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.Sedan mewah yang
Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topengberpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembut