"Tante Sonya meninggal karena kecelakaan, Mas, empat hari yang lalu."Innalilahi," ucap Darmawan, terkejut. Padahal dia sudah melarang Tante Sonya untuk keluar rumah."Yang mengurus jenazahnya siapa, Mbak?""Adik-adiknya dan keluarga besarnya, Mas?""Semoga Tante Sonya wafat dalam keadaan sudah bertobat," ucap Darmawan."Aammin ya Allah," ucap doa Hanum.Tidak beberapa lama, Amira langsung masuk ke dalam ruang perawatan, dan terlihat sangat senang, saat menyaksikan Hanum sedang menyuapi ayahnya."Maaf Yah, Amira baru dari minimarket, untung ada Kak Hanum yang menyuapi Ayah." Hanum hanya tersenyum, melihat kedatangan Amira."Habis beli apa, Ra?" tanya Darmawan."Biasa Yah, buat keperluan perempuan," jawab Amira polos saja, dan Darmawan mengerti apa maksudnya. Tidak beberapa lama, Amira teringat suatu hal penting yang gagal dia bicarakan dengan sang ayah, saat peristiwa musibah kemarin."Saat Ayah jatuh ke dalam jurang, sebenarnya Amira menelpon Ayah untuk memberitahukan kabar gembira."
HAID PERTAMAKU SEASON 2Acara ijab Qobul antara Yusnanto dan Asmah baru saja selesai dilaksanakan. Isak tangis mewarnai acara pernikahan mereka. Asmah tidak ikut mendampingi Yusnanto saat acara ijab berlangsung, dia hanya menunggu di kamar dengan riasan riasan yang cantik. Asmah memang terlihat sangat cantik sekali. Asmah sempat menangis sebelumnya, saat dia menyadari jika tidak ada satu pun keluarganya di acara pernikahan ini. Tidak ada kerabat, juga kedua orang tuanya, ibu dan bapaknya. Sama halnya seperti Amira sebelumnya, yang tidak mengetahui siapa kedua orangtuanya. Asmah, hingga acara ijab qobul-nya selesai, belum juga bisa menemukan siapa dan ada di mana keluarganya sekarang. Menurut keterangan Yusnanto sendiri, yang mulai hari ini sudah resmi menjadi suami Asmah, jika saat bayi pun istrinya itu sama seperti dengan Amira, ada orang yang datang ke Mami Merry untuk menjual anak, dan Yusnanto yang mengurus dan merawat mereka semua saat itu. Yusnanto pun bercerita, jika balita
Part 63"Darmawan, Diaz. Pelakunya adalah Darmawan."Sesaat Diaz terdiam, lalu tertawa keras terbahak. Diaz menertawakan ucapan dari Mella, yang sudah menuduh Darmawan adalah pelaku utama atas terjadinya peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa Tante Sonya. Belum sampai satu bulan kemarin. "Sudahlah, Mbak, saya mau pulang saja. Saya kira Mbak mau ngomong apa?" ucap Diaz yang mulai segan dan segera ingin mengakhiri acara pertemuan ini. Pemuda berusia 23 tahun ini sudah akan bersiap-siap ingin pergi dari coffee shop tersebut. "Mbak tau kamu pasti akan bicara seperti ini. Tidak akan percaya dengan apa yang sudah mbak sampaikan. Tapi mbak punya bukti beserta alasannya kenapa Darmawan ingin melakukan itu," ucap Mella mencoba untuk terus meyakinkan Diaz agar mendengarkan dirinya berbicara terlebih dahulu. Perempuan yang hatinya sudah dipenuhi dengan rasa sakit hati dan dendam ini, karena menganggap Darmawan sebagai penyebab kematian almarhum ayahnya, menolak dirinya ketika diminta untuk
Part 64"Bagaimana Diaz, kamu sekarang percaya 'kan sama, Mbak?" Sambil tangan Mella menggenggam tangan milik Diaz di atas meja tepat di samping handphone milik pemuda tersebut. Telapak tangan Mella yang putih bersih mengusap-usap lembut, dan Diaz membiarkan saja. Pemuda yang memiliki paras tampan ini belum menjawab, terlihat dia masih sedang berpikir dengan semua ucapan dan bukti yang diberikan oleh Mella. "Sekarang begini deh, Diaz. Saat kematian mamihmu, adakah Darmawan datang ke rumah keluarga besarmu untuk mengucapkan ucapan duka cita? Atau ikut hadir di saat pelaksanaan pemakaman? Bahkan, hingga sampai acara tahlilan sampai tujuh hari pun Darmawan tidak nongol batang hidungnya. Benar 'kan, Diaz?"Diaz mengangguk, semua yang dikatakan oleh Mella memang benar adanya. Darmawan tidak datang di acara pemakaman maminya, begitupun di acara tahlilan. Atau karena Darmawan tidak tahu harus menghubungi siapa, karena memang handphone Diaz sendiri hilang beserta SIM card miliknya.Akan tet
Part 65Diaz ada juga terpikirkan, jangan-jangan, dirinya hanya dimanfaatkan oleh Mella, lebih karena sakit hati karena Darmawan akan menikah dengan Hanum, bukan karena kematian sang mami? Namun tidak mungkin baginya berbicara seperti itu, karena hanya bersifat dugaan dirinya saja. "Kenapa tidak dibicarakan sekarang saja, Mbak? Kenapa harus menunggu nanti malam?" tanya Diaz, mempertanyakan. "Nanti malam, waktunya lebih panjang dan bebas, Sayang. Nanti, Mbak siapkan semuanya. Atau kamu mau kita pergi sekarang saja ke apartemen, Mbak?" ajak Susan, kembali bersikap genit dan menggoda. Mengusap-usap lembut punggung tangan Diaz. Selain Darmawan, tidak ada laki-laki yang mampu menolak pesonanya, dan itu yang sekarang dia akan coba untuk menaklukkan Diaz. "Disiapkan semua? Maksudnya, Mbak?""Semua kebutuhanmu, Sayang, semuanya. Mau, 'kan?" Senyumnya menggoda, matanya mengerling genit, dan Diaz sudah cukup dewasa untuk dapat memahaminya. "Beneran ini, Mbak? Enak dong, saya," goda Diaz sud
Amira, gadis belasan tahun itu terlihat turun dari motor yang mengantarkannya ke tempat dingin ini. Memandangi rumah dengan bentuk lama tapi indah dan terawat dengan cahaya lampu yang terang. Malam yang pekat tidak mengurangi keindahan rumah ini, yang mereka bilang sebagai Villa, itu yang didengar Amira. Entah untuk apa dia dibawa ke tempat ini, ternyata bukan Koh Abun yang ingin memakai jasanya, tetapi sepertinya orang yang ada di Villa ini. "Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana." "Baik, Bang," jawab pelan Amira. Pria muda yang bersamanya segera masuk ke dalam vila tersebut, dan tidak beberapa lama keluar lagi bersama lelaki paruh baya yang sepertinya penunggu rumah villa ini."Kamu ikut Bapak ini. Setelah urusanmu selesai, tunggu saja di depan teras, nanti kujemput lagi," ucap pria muda itu mengingatkan.Amira mengangguk, dan mulai mengikuti bapak tua itu masuk kedalam villa, dan si pria muda tersebut langsung berlalu dengan motornya."Duduk dulu, Neng!" ujar si bapak, setela
"Amira. Nama yang bagus, tidak pasaran. Kamu sudah Makan?""Be--belum, Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi di jalan.""Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira. Raut wajahnya terlihat khawatir."Apa saja, Tuan." Sembari Amira mendekap tubuhnya, melawan rasa dingin yang menerkam, hingga terasa sampai ke tulang.Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekati Amira dengan membawa selimut tebal di tangannya."Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil memberikan selimut. Sekilas tersenyum tipis."Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan kembali bertanya."Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" Ada rasa sakit yang menikam ke dalam hati Amira, saat pria dewasa itu bertanya dengan santainya, tanpa berpikir lagi apakah pertanyaannya menyinggung Amira atau tidak. "Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Terdiam Amira, a
Amira kembali memandangi wajah polosnya pada cermin. Gambar diri sebenarnya, bersih tanpa make-up, warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah. Terus saja memandangi. Perlahan, pikirannya mulai kembali ke masa lalu hingga dia bisa berada di Villa ini. Flashback [ POV AMIRA ]Aku, Amira--gadis kecil berusia 14 tahun, korban dari mafia perdagangan anak. Menurut desas-desus, aku terjual saat masih bayi pada Mami Merry--seorang muncikari penyedia khusus perempuan muda di bawah usia dua puluh dua tahun.Aku terpenjara dalam asuhan Mami Merry. Sama seperti lima gadis kecil lainnya. Sengaja diasuh untuk dijadikan pemuas nafsu lelaki berduit.Di bawah pantauan mami Merry, tidak ada tenaga yang terbuang. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah adalah tugas yang tak boleh dibantah. Kami adalah budak. Patuh pada perintah adalah keharusan mutlak.Keperawanan kami adalah harta berharganya. Puluhan juta, bahkan sampai di atas seratus juta--harga yang Mami Merry tawarkan kepada para p