Share

2. Siapa Namamu

"Amira. Nama yang bagus, tidak pasaran. Kamu sudah Makan?"

"Be--belum, Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi di jalan."

"Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira. Raut wajahnya terlihat khawatir.

"Apa saja, Tuan." Sembari Amira mendekap tubuhnya, melawan rasa dingin yang menerkam, hingga terasa sampai ke tulang.

Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekati Amira dengan membawa selimut tebal di tangannya.

"Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil memberikan selimut. Sekilas tersenyum tipis.

"Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan kembali bertanya.

"Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" 

Ada rasa sakit yang menikam ke dalam hati Amira, saat pria dewasa itu bertanya dengan santainya, tanpa berpikir lagi apakah pertanyaannya menyinggung Amira atau tidak. 

"Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Terdiam Amira, air matanya mulai mengembang.

"Saya tidak punya kekuatan dan keberanian untuk menghindari ini semua, Tuan. Di mata pengasuh, kami hanya barang yang bisa diperjualbelikan semaunya," tegas Amira sembari menyeka air matanya yang sudah luruh.

"Berarti, kamu tidak tahu siapa orang tuamu?"

"Tidak tahu, Tuan." Tangis Amira semakin terisak, sesak rasanya.

"Siapa nama pengasuhmu?"

"Mami Merry, Tuan."

"Mami Merry, baik pada kalian?" tanyanya lagi. Tangis gadis itu malah semakin kencang. Mengingat kembali bagaimana perlakuan mami terhadap mereka semua, anak asuhnya.

Amira kembali terdiam, terasa berat untuk menjawabnya.

"Setelah kamu dianggap selesai melayaniku, lalu kau akan kembali kepada pengasuhmu?"

"Iya, Tuan."

"Lalu?"

"Kami harus melayani tamu yang datang, Tuan."

"Kamu mau?" cecarnya lagi, Amira berucap perlahan.

"Tolong saya, Tuan ... keluarkan saya dari jalan kotor ini," lirihnya, mengiba, meminta bantuan dengan menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.

"Bagaimana caraku untuk Membantumu?"

"Sa--saya tidak tahu, Tuan." Jemari Amira dia gunakan untuk menghapus air mata dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

"Kamu bersedia, jika saya memintamu untuk melayani saya?" tanyanya pelan. Terhenyak Amira mendengar ucapan pria paruh baya tersebut, tertunduk dan terdiam sesaat. Berucap lirih. 

"Saya hanya benda, Tuan, sudah terjual. Bebas untuk digunakan pembelinya. Saya tidak punya kekuatan apa pun untuk melawan." 

"Kamu tahu, jika kamu itu sebenarnya cerdas?"

"Benda tidak bisa berfikir, Tuan. Tidak berhak untuk membuat pilihan." 

Pria itu tertawa pelan. Tidak lama terdengar suara pintu diketuk dari luar. Pria yang belum Amira ketahui namanya itu segera berdiri dan berjalan ke pintu utama, kemudian kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi makanan. 

"Kubelikan nasi goreng buatmu, makanlah dulu?"

"Terima kasih, Tuan. Terima kasih." Amira mengambil nasi goreng dari tangan pria tersebut.

Entahlah, mungkin karena rasa lapar yang mendera, hingga terasa Nasi goreng ini nikmat sekali bagi Amira. Sementara pria paruh baya itu memilih untuk memakan ketoprak. Tidak ada pembicaraan sama sekali di antara mereka, selain hanya sibuk menikmati makanan yang tersaji.

"Ceritakan padaku tentang Mami Merry?" tanya pria yang terlihat mapan tersebut, selesai Amira menghabiskan makannya.

"Mami Merry menjual kami setelah selesai mendapatkan haid pertama kali. Menjual keperawanan kami dengan cara ditawarkan kepada pembeli tertinggi," jelas Amira.

"Berapa hargamu?" tanyanya cepat, pria itu menyalahkan rokok dan mengisapnya perlahan.

"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Amira, sembari meminum teh yang tadi dia buatkan. Perasaan Amira mulai merasa tenang, walau hanya berdua dengan pria tersebut.

"Panggil saja aku, Darmawan," ucapnya, memberitahukan namanya.

"Kamu boleh memanggil saya dengan sebutan, Pak, Om, atau mau sebut nama saja, terserah kamu," ujarnya, sambil terus mengisap dalam rokoknya, tatapan matanya tetap memperhatikan aku.

"Baik, Om." Amira kembali tertunduk, tidak berani menatap ke Dermawan.

"Selesai menjual keperawananmu, lalu akan Kamu lanjutkan menjadi sebuah profesi?" pertanyaan Darmawan benar-benar mengoyak hati Amira.

"Saya tidak pernah menjual kehormatan saya, Om! Saya terpaksa. Jika menolak, bisa mati disiksa dan dibunuh Mami Merry dan tukang pukulnya," jelas Amira, tegas. Air matanya mulai mengembang kembali.

"Maaf, jika membuatmu tersinggung, Mira."  Darmawan mematikan rokoknya di asbak, dan meminum kembali tehnya.

"Kamu di sekolahkan pengasuhmu?"

"Tidak, Om. Saya tidak pernah bersekolah," jawabku. "Om, boleh saya ijin ke kamar mandi?"

"Silahkan, Kamu lurus saja, kamar mandinya ada di sebelah kiri." Tangannya menunjuk ke arah pintu ruangan dalam. Amira pun segera berdiri dan mengikuti arahannya.

Memperhatikan wajah diri di depan cermin kamar mandi, terlihat wajah gadis belia yang di paksakan dewasa. Dengan makeup tebal dan lipstik berwarna merah terang, Amira merasa jijik melihat mukaku sendiri. Membasuh wajah, membersihkan semua riasan, lalu mengelapnya dengan handuk kecil, berkaca sesaat, dan tertegun sejenak.

"Apakah aku sudah terlepas dari cengkeraman manusia buas?" tanya bathin Amira.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nana
suka kali, cerita bikin penasaran aja
goodnovel comment avatar
Wawan Gunawan
ceritanya asyik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status