"Amira. Nama yang bagus, tidak pasaran. Kamu sudah Makan?"
"Be--belum, Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi di jalan."
"Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Apa saja, Tuan." Sembari Amira mendekap tubuhnya, melawan rasa dingin yang menerkam, hingga terasa sampai ke tulang.
Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekati Amira dengan membawa selimut tebal di tangannya.
"Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil memberikan selimut. Sekilas tersenyum tipis.
"Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan kembali bertanya.
"Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?"
Ada rasa sakit yang menikam ke dalam hati Amira, saat pria dewasa itu bertanya dengan santainya, tanpa berpikir lagi apakah pertanyaannya menyinggung Amira atau tidak.
"Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Terdiam Amira, air matanya mulai mengembang.
"Saya tidak punya kekuatan dan keberanian untuk menghindari ini semua, Tuan. Di mata pengasuh, kami hanya barang yang bisa diperjualbelikan semaunya," tegas Amira sembari menyeka air matanya yang sudah luruh.
"Berarti, kamu tidak tahu siapa orang tuamu?"
"Tidak tahu, Tuan." Tangis Amira semakin terisak, sesak rasanya.
"Siapa nama pengasuhmu?"
"Mami Merry, Tuan."
"Mami Merry, baik pada kalian?" tanyanya lagi. Tangis gadis itu malah semakin kencang. Mengingat kembali bagaimana perlakuan mami terhadap mereka semua, anak asuhnya.
Amira kembali terdiam, terasa berat untuk menjawabnya.
"Setelah kamu dianggap selesai melayaniku, lalu kau akan kembali kepada pengasuhmu?"
"Iya, Tuan."
"Lalu?"
"Kami harus melayani tamu yang datang, Tuan."
"Kamu mau?" cecarnya lagi, Amira berucap perlahan.
"Tolong saya, Tuan ... keluarkan saya dari jalan kotor ini," lirihnya, mengiba, meminta bantuan dengan menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
"Bagaimana caraku untuk Membantumu?"
"Sa--saya tidak tahu, Tuan." Jemari Amira dia gunakan untuk menghapus air mata dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Kamu bersedia, jika saya memintamu untuk melayani saya?" tanyanya pelan. Terhenyak Amira mendengar ucapan pria paruh baya tersebut, tertunduk dan terdiam sesaat. Berucap lirih.
"Saya hanya benda, Tuan, sudah terjual. Bebas untuk digunakan pembelinya. Saya tidak punya kekuatan apa pun untuk melawan."
"Kamu tahu, jika kamu itu sebenarnya cerdas?"
"Benda tidak bisa berfikir, Tuan. Tidak berhak untuk membuat pilihan."
Pria itu tertawa pelan. Tidak lama terdengar suara pintu diketuk dari luar. Pria yang belum Amira ketahui namanya itu segera berdiri dan berjalan ke pintu utama, kemudian kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi makanan.
"Kubelikan nasi goreng buatmu, makanlah dulu?"
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih." Amira mengambil nasi goreng dari tangan pria tersebut.
Entahlah, mungkin karena rasa lapar yang mendera, hingga terasa Nasi goreng ini nikmat sekali bagi Amira. Sementara pria paruh baya itu memilih untuk memakan ketoprak. Tidak ada pembicaraan sama sekali di antara mereka, selain hanya sibuk menikmati makanan yang tersaji.
"Ceritakan padaku tentang Mami Merry?" tanya pria yang terlihat mapan tersebut, selesai Amira menghabiskan makannya.
"Mami Merry menjual kami setelah selesai mendapatkan haid pertama kali. Menjual keperawanan kami dengan cara ditawarkan kepada pembeli tertinggi," jelas Amira.
"Berapa hargamu?" tanyanya cepat, pria itu menyalahkan rokok dan mengisapnya perlahan.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Amira, sembari meminum teh yang tadi dia buatkan. Perasaan Amira mulai merasa tenang, walau hanya berdua dengan pria tersebut.
"Panggil saja aku, Darmawan," ucapnya, memberitahukan namanya.
"Kamu boleh memanggil saya dengan sebutan, Pak, Om, atau mau sebut nama saja, terserah kamu," ujarnya, sambil terus mengisap dalam rokoknya, tatapan matanya tetap memperhatikan aku.
"Baik, Om." Amira kembali tertunduk, tidak berani menatap ke Dermawan.
"Selesai menjual keperawananmu, lalu akan Kamu lanjutkan menjadi sebuah profesi?" pertanyaan Darmawan benar-benar mengoyak hati Amira.
"Saya tidak pernah menjual kehormatan saya, Om! Saya terpaksa. Jika menolak, bisa mati disiksa dan dibunuh Mami Merry dan tukang pukulnya," jelas Amira, tegas. Air matanya mulai mengembang kembali.
"Maaf, jika membuatmu tersinggung, Mira." Darmawan mematikan rokoknya di asbak, dan meminum kembali tehnya.
"Kamu di sekolahkan pengasuhmu?"
"Tidak, Om. Saya tidak pernah bersekolah," jawabku. "Om, boleh saya ijin ke kamar mandi?"
"Silahkan, Kamu lurus saja, kamar mandinya ada di sebelah kiri." Tangannya menunjuk ke arah pintu ruangan dalam. Amira pun segera berdiri dan mengikuti arahannya.
Memperhatikan wajah diri di depan cermin kamar mandi, terlihat wajah gadis belia yang di paksakan dewasa. Dengan makeup tebal dan lipstik berwarna merah terang, Amira merasa jijik melihat mukaku sendiri. Membasuh wajah, membersihkan semua riasan, lalu mengelapnya dengan handuk kecil, berkaca sesaat, dan tertegun sejenak.
"Apakah aku sudah terlepas dari cengkeraman manusia buas?" tanya bathin Amira.
Amira kembali memandangi wajah polosnya pada cermin. Gambar diri sebenarnya, bersih tanpa make-up, warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah. Terus saja memandangi. Perlahan, pikirannya mulai kembali ke masa lalu hingga dia bisa berada di Villa ini. Flashback [ POV AMIRA ]Aku, Amira--gadis kecil berusia 14 tahun, korban dari mafia perdagangan anak. Menurut desas-desus, aku terjual saat masih bayi pada Mami Merry--seorang muncikari penyedia khusus perempuan muda di bawah usia dua puluh dua tahun.Aku terpenjara dalam asuhan Mami Merry. Sama seperti lima gadis kecil lainnya. Sengaja diasuh untuk dijadikan pemuas nafsu lelaki berduit.Di bawah pantauan mami Merry, tidak ada tenaga yang terbuang. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah adalah tugas yang tak boleh dibantah. Kami adalah budak. Patuh pada perintah adalah keharusan mutlak.Keperawanan kami adalah harta berharganya. Puluhan juta, bahkan sampai di atas seratus juta--harga yang Mami Merry tawarkan kepada para p
Aku benar-benar dibuat sedih, bingung sekaligus panik, dengan kedatangan haid pertamaku.Rasa ketakutan, jika keperawananku akan di jual dan harus melayani kepuasan sang pemenang tender atas tubuhku, menimbulkan rasa ketakutan yang teramat sangat."Apa yang harus kulakukan?" menyerah perlahan pada keadaan, atau menyembunyikan kehaid'anku secara diam-diam.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Memperhatikan sekitar tempatku menjemur pakaian, di lantai paling atas tempat penyekapan kami. Sepi tidak ada siapapun,cepat-cepat kubersihkan darah haid, menyembunyikan pakaian bekas kupakai membersihkan darah, dan mengambil sebuah kaus t-shirt untuk menyembunyikan darah haidku. Entah milik siapa. Ijin keluar membeli pembalut pasti tidaklah mungkin, melihat ketatnya pengawasan keluar masuk yang di jaga 24 jam oleh tukang pukul Mami Merry. Bahkan untuk membeli camilan atau minuman ringan di warung dekat tempat kami diasuh pun, diawasi sangat ketat.Satu-satunya cara adalah, jika di antara senior mend
Tante Banci baru saja selesai mendandani, kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin."Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati. Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini belum sesuai dengan umurku, tidak pantas rasanya berdandan seperti ini. Jujur ... hati ini menolak.Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi, melihatku dengan pandangan sedih."Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku. Kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini."Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah."Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini."Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."Asmah
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti."Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry."Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.Sedan mewah yang
Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topengberpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembut
Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. "Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa."Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira."Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya."Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu