Share

8. Uang 200 Ribu

Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. 

"Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa.

"Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira.

"Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, 

"Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya.

"Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.

Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan Amira ikut mendengarkan ucapannya.

"Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, Amira?" tanya Darmawan. Bingung rasanya Amira harus menjawab seperti apa. 

Sesungguhnya, tidak pernah Amira berbicara dengan lawan jenis selama dan sebanyak ini. Dengan Tante Banci pun dulu hanya sering mendengarkannya bercerita tanpa banyak bertanya. Takut-takut, Amira kembali meminta sebuah permohonan terhadapnya.

"Tolong saya, Om. Saya tidak ingin melakukan pekerjaan seperti ini," lirih Amira, meminta pengharapan terhadapnya. Terdiam  Darmawan sejenak. Matanya tetap menatap tajam, lalu mengambil bungkus rokok dan pemantik yang tergeletak di atas meja. Mengambil satu, mengisapnya, dan mengembuskan asapnya perlahan. 

Pria paruh baya itu masih tetap terdiam, seperti sedang berpikir. Menimbang-nimbang segala hal yang bisa terjadi jika dia ingin menolong, atau mungkin sedang mencari jalan keluar tentang permasalahan Amira. 

Ahh ... mungkin hanya perkiraan aku saja, bisa saja dia memikirkan hal lain yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Ucap hati Amira. 

"Apa yang kudapatkan jika aku menolongmu, Amira?" tanya Darmawan pelan, tetapi membuat Amira kaget dan tergagap. Entah harus menjawab apa pertanyaannya, karena tidak ada apa pun yang bisa Amira berikan untuknya. 

Apa uang dua ratus ribu rupiah yang Asmah berikan untuknya cukup untuk membayar Om kaya raya tersebut? 

"Saya hanya punya uang dua ratus ribu, Om," jawab Amira atas pertanyaan Darmawan. Terkaget sebentar dia mendengar jawaban Amira, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak, keras sekali suaranya. Hingga membuat wajahnya terlihat memerah, lampu ruangan tamu yang terang ini cukup bisa menampilkan tampakan parasnya.

"Kamu terlalu lugu dan polos, Amira," ujarnya, entah itu pujian atau ingin menjelaskan tentang kebodohan Amira.

"Tolong saya, Om Darmawan. Saat ini hanya om yang bisa membantu saya." genangan air mulai membasahi kedua matanya. Amira benar-benar berharap, semoga hati Darmawan terbuka.

Darmawan kembali menatap Amira dalam, mematikan rokoknya pada asbak di atas meja. Air mata Amira mulai menetes perlahan membasahi kedua pipi. Darmawan memalingkan wajahnya dari Amira, menarik napas dalam.

"Jangan menangis, Amira. Aku tidak tega melihat anak kecil menangis," sindirnya, atau memang itu tulus dari hatinya, entahlah.

'Tuhan, jika kata Tante Banci, Engkau memang benar-benar ada. Bantu aku untuk melembutkan hati Om Darmawan,' lirihnya dalam hati.

Amira benar-benar berharap, Darmawan bisa menolongnya keluar dari jeratan perangkap Mami Merry.

Dia tidak bisa membayangkan harus hidup seperti yang dijalani Asmah dan kawan-kawannya yang lain, benar-benar tidak ingin seperti mereka. 

Dibalik kesenangan berupa kemudahan dalam mendapatkan atau membeli sesuatu berupa materi, ada ketidakbahagian, kesedihan, dan penderitaan yang terpendam di dalam hati Asmah dan yang lainnya.

Asmah memang kadang bercerita, sekaligus menunjukkan barang-barang dan perhiasan mewah yang diberikan oleh pemakai jasanya, tetapi terkadang dia pun pulang dalam keadaan tubuh penuh luka lebam. Penyiksaan dan perlakuan kasar yang didapatkan setelah melayani pelanggannya yang menderita gangguan seksual. 

Bukan hanya Asmah saja yang pernah mengalami kejadian buruk seperti itu, hampir semua pernah mengalaminya. Ketakutan, trauma, rasa sakit, harus mereka alami akibat dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka dapatkan. Mungkin hidup mereka bergerak lebih cepat. Kesenangan, kesedihan, berputar dan berganti dalam sekejap mata bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan.

Apakah hal itu mengganggu buat Mami Merry? Tidak sama sekali. Semua anak asuhnya dianggap barang dagangan baginya, bebas diperlakukan apa saja oleh pembelinya, asalkan ada keuntungan di dalam transaksi tersebut.

Monster Raksasa itu sudah tidak lagi punya hati nurani. Bisnis kotor yang dijalaninya, uang hasil transaksi haram yang dimakannya, membuat hatinya menghitam legam, tidak mampu lagi tertembus cahaya, baik berupa rasa iba, kasihan ataupun khawatir atas nasib anak buahnya, semua sudah tidak mempan baginya.

"Amira?" Sebuah teguran dari Darmawan menyadarkan dia dari keterlamunan.

"Saya, Om," jawabnya, sembari jemari tangan merapikan helaian rambut yang berjuntai di kening, berlanjut dengan mengusap air yang mengalir dari mata, sehingga membuat pipi ranumnya menjadi basah.

"Mari ikut aku."

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rifni Sikome
gimana buka kuncinya?
goodnovel comment avatar
Nana
iya giman nih
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
gimana buka kuncinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status