✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Ibu ...
Aku tidak bisa menjerit, atau meraung meratapi. Hanya diam membiarkan mata membasahi wajah.
Apa jadinya jika Ibu masih hidup? Barangkali besok kami akan berkuda bersama Mariam. Lalu pergi entah ke mana bersama wanita asing ini.
Tapi, kenapa kadal itu ada? Dari mana asalnya?
Ibu, aku tahu harus bagaimana?
Jangan menangis.
Itulah bisikan batinku, tapi aku tidak tahu harus berpikir apa lagi.
Kulirik lengan Mariam yang memagari tubuhku. Entah sampai mana Mariam membawaku, yang pasti letaknya sangat jauh dari Desa Anba. Aku takut menoleh, apalagi jeritan warga yang semakin jauh dan senyap seakan tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Ibu," gumamku. Aku hendak berucap, tapi lidahku kelu.
Sepanjang perjalanan, aku diam saja. Wanita itu bahkan tidak mengajak bicara, hanya fokus ke depan menuju tempat yang terasing.
"Kita ... Ke mana?" Aku memberanikan diri bertanya.
Dia diam saja.
"Kenapa kamu membawaku?" tanyaku. "Apa mau kalian?"
Dia tidak menjawab.
Kutelan ludah, berharap dia lekas memberitahu.
***
Kami tiba di sebuah kota yang cukup ramai penduduk. Aku tidak terbiasa melihat orang dengan beragam warna dan bentuk selain berambut hijau. Ada yang rambutnya hitam, cokelat, merah, bahkan pirang. Tidak hanya rambut, warna kulit pun beragam. Membuatku kagum menyadari begitu banyak manusia yang belum kukenal.
"Tetaplah di sisiku." Mariam memacu kudanya semakin dalam ke pasar.
Kami berhenti di sebuah rumah yang jauh lebih besar dibandingkan rumahku. Penghuninya pun beragam dan tampaknya tidak menetap di sini dalam kurun waktu lama. Beberapa orang keluar masuk dari sana, bertukar kunci, masuk ke kamar lalu keluar begitu saja.
"Ini namanya penginapan," jelas Mariam tanpa diminta. "Tempat kita menginap dalam jangka waktu yang sudah disetujui."
"Bayar, ya?" tanyaku polos.
"Ya."
Mariam menghampiri seorang pria yang duduk di sebuah tempat yang aneh bagiku. Itu seperti dinding pembatas setinggi separuh badan, atau mungkin seperti meja yang panjang. Di tangannya terdapat buku catatan berisi nama-nama asing. Bahkan yang tidak bisa kubaca secara cepat.
"Satu kamar untuk dua orang," kata Mariam pada pria itu.
Tampaknya ia akrab dengan Mariam, karena dia tidak perlu membayarnya. Justru langsung diserahkan kunci dan nomor kamar.
"Ayo, Bocah!" Mariam menarik tanganku.
"Dia putrimu?" tanya pria itu.
Mariam menjawab. "Bukan."
***
Kamar kami tidak terlalu besar, namun kasurnya lebih bagus dibandingkan kasurku yang kapasnya mulai menipis. Bau kasurnya saja sangat harum, empuk dan tidak gatal.
Mariam duduk di kasur sebelahnya, hanya diam menatapku duduk, sebelum akhirnya memecah keheningan.
"Kamu belum pernah merasakannya?" tanyanya.
"Kasur ini? Anu, belum," balasku. Seketika teringat dengan tragedi malam itu, menyadari ini kesempatan, aku langsung bertanya. "Kamu ini siapa?"
"Aku pengelana," ujar Mariam. "Aku berpetualang ke tempat bagai neraka. Tempat yang membuat seorang pria menangis memanggil ibunya."
Aku heran dengan ucapannya. "Kenapa baru bilang sekarang?"
"Aku ingin bicara, tapi kalian menatapku seakan aku ini dungu," balasnya ketus.
Saat hendak membalas, Mariam memotong.
"Kalau aku tidak pernah mengalaminya, tidak mungkin aku memperingatkan kalian," ujar Mariam. "Kamu beruntung kubiarkan hidup dan menanyakan semuanya!" Dia berkata seakan aku barusan menanyakan hal tabu.
"Tapi, kenapa?" tanyaku. Dia bisa saja membiarkanku mati ditelan kadal itu. Kutundukkan pandangan. Apa karena kalung ini?
"Sudah kubilang, ini perintah si Khidir," jawab Mariam. "Kalau bukan karenanya, sudah pasti kubiarkan mati."
Aku terdiam, jelas suasana hatinya sedang buruk.
Mariam menghela napas. "Makhluk yang menyerang desamu itu peliharaan Sakhor. Ia dapat mengendalikan hewan sesuai kehendaknya, setidaknya di raga yang baru ini."
"Tapi, kenapa?" Begitulah pertanyaanku terus menerus.
"Kalung itu jawabannya." Ditatapnya kalungku. Tidak kusangka benda mirip batu ini punya keistimewaan.
"Benarkah?"
Mariam mengiakan. "Kamu lupa?"
"Lupa apa?"
"Masa lalumu."
"Maksudmu saat aku dibesarkan di Desa Anba?"
Mariam menggaruk rambutnya yang putih. "Kenapa lupa begitu? Khidir saja masih ingat."
"Apa maunya?" tanyaku. "Dia mau kalungku?"
Dia mendengkus, tampak kesal. "Nanti saja!"
Mariam mengempaskan diri di kasur. Tak lama mendengur.
Melihat tingkahnya itu, jelas aku terpikir untuk kabur sambil merampoknya. Tapi, aku lebih memilih tidur. Mungkin pilihan kabur tidak masuk akal. Padahal aku tidak mau terikat dengan wanita yang baru saja kukenal. Membayangkan masa depanku yang berubah sepenuhnya hanya karena kedatangannya, sudah cukup membuatku bingung dan bungkam.
Pada malam itu, kuputuskan untuk tinggal bersamanya. Tanpanya, ke mana lagi aku bernaung? Hanya Ibu yang selalu di sisiku. Kini beliau sudah tiada dan Mariam langsung membawaku pergi tanpa berpikir dua kali. Padahal dia bisa saja meninggalkanku begitu Ibu ditelan dan kabur dari desaku.
Lalu, apa kehendak Raja Aibarab itu?
***
Malamnya, aku terbangun dan melihatnya sedang menata meja dengan beragam makanan. Mungkin baru dibeli dari pasar. Karena lapar, aku mendekat dan langsung menghabiskannya.
Di sela mengunyah makan malamnya, Mariam akhirnya bercerita.
"Aku memburu makhluk yang mengusik kita. Selama ini, hidupku hanya sebatas berburu dan diburu. Menghindar dan mendekat hanya untuk menghancurkannya."
Aku menegak segelas air. "Kamu orang mana?"
"Shyr," balasnya. "Aku dibesarkan di sini."
"Kamu tidak tampak seperti orang Shyr," sahutku. "Rambutmu putih dan matamu biru, logatmu bahkan berbeda."
Mariam tidak menanggapinya. Dia kembali makan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku jadi tidak nyaman bertanya.
Sehabis makan, barulah dia bicara. "Kita akan pergi."
"Ke mana?"
"Melanjutkan perjalanan."
"Kamu tidak punya kampung halaman?" Maksudku, kenapa raja itu tidak datang saja ke sini dan menjemputku?
"Itu sudah tidak penting."
Mariam keluar dan menyiapkan kudanya. Aku menyusul dan berdiri di belakang menunggunya naik.
Setelah duduk, Mariam membantuku naik dan mendudukkanku di depannya, sementara tangannya memegang tali kekang.
Jujur saja, belum pernah aku naik kuda dan kesan pertama saat menaikinya sungguh mengerikan. Makhluk itu selalu goyah dan nyaris menjatuhkanku, meski jalannya sepelan siput sekalipun. Itulah mengapa aku selalu menutup dan membuka mata sepanjang jalan. Aku tidak boleh menjerit, pasti mengundang perhatian. Kedua tangan Mariam yang memegang tali kekang bagai pagar yang melindungiku dari kejatuhan.
Suasana malam yang senyap dan dingin jelas membuatku tidak nyaman. Terakhir saat aku keluar malam karena hendak memberi makan kucing liar dengan makanan bekas kami.
Anehnya, meski malam tidak larut, pasar kini tutup dan bagaikan kota hantu. Tanah menjadi bersih seakan tidak ada sisa sampah yang bertebaran. Hebat juga tukang kebersihannya sampai membersihkannya secepat itu.
"Kita ke mana?" tanyaku lagi. "Kenapa tidak beli rumah baru?"
Mariam mendengkus begitu mendengar pertanyaan polosku. "Kita hidup di negeri yang berbahaya. Untuk apa berlama-lama? Kamu bakal dimakan."
"Memangnya seluruh Shyr berbahaya?" Aku belum pernah mengalami bahaya sebelumnya. Bertemu binatang buas saja tidak pernah, hanya mendengarkan dari kisah Ibu dan tetanggaku.
"Seluruh dunia berbahaya!" Mariam terdengar kesal. "Kamu sendiri tahu kenapa anak-anak dilarang keluar rumah?"
Aku terdiam. Sejauh ini, Ibu tidak pernah melarangku keluar rumah jauh-jauh. Aku pernah mencoba keluar dari Desa Anba, namun Ibu keburu memanggilku karena malam segera tiba. Mungkin berpura-pura paham akan memperbaiki suasana hatinya.
"Kita harus bergerak sebelum ia menyusul," lanjutnya.
"Siapa?"
Mariam tampak menahan gejolak emosi. "Si Sakhor!"
Aku menutup mulut, jelas tidak mau bertanya lagi.
Setelah menenangkan diri sejenak, Mariam sempat berbisik dengan pelan. "Kita pergi, sekarang."
***Aku paham mengapa dia mengajakku pergi. Kota ini tidak abadi. Pada malam hari, suasana kota berubah seratus delapan puluh derajat menjadi mimpi buruk. Begitu aku menoleh, kulihat tempat itu kini dipenuhi beragam makhluk. Yang awalnya hanya manusia, kini makin unik bentuknya. Ada berupa babi, separuh kuda, separuh ular, bahkan ular raksasa pun tengah melata di kota itu.
Aku paham. Kota ini mati.
Kota yang tidak abadi. Kota Jin.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku tidak tidur sepanjang jalan.Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu.Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya.Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu.Demi mencairkan suasana, aku pun bicara.“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?”“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.”“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?”“Tidak.” Jawabannya su
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota.Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka.“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.”Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?”“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.”Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara.“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya.Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra.Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap.Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan.Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. “Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. “Kamu di sana saat itu?” tanyaku. “Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mere
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. “Bagaimana?” tanya temannya. “Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” “Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” “Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” “Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” “Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” “Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” “Terserah.” Perdebatan mereka berakhir di situ.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”