Share

Keluarga Wynter – 1

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aibarab, kota kembaran Shyr. Mulai dari bahasa hingga budaya sama, namun rakyatnya kurang akur akibat rebutan kebudayaan hingga kuliner. Jarak antara keduanya hampir 200 kilometer dan bisa dibilang versi lebih modern dari negeri kelahiranku. 

Aku teringat saat orang-orang di Desa Anba bercerita tentang Aibarab. 

“Hidup di sana serba mewah dan mahal, tapi penduduknya sangat cuek dan egois. Meski, positifnya, mereka tidak mencampuri urusan orang lain, tetap saja, saking cueknya mereka bahkan hanya menyaksikan seseorang dibunuh di depan mata mereka.” 

Aku kebetulan ada di sana, ikut terkesiap mendengar kisahnya. 

“Kamu di sana saat itu?” tanyaku. 

“Aku yang memanggil petugas keamanan! Para rakyat hanya menonton dengan wajah takut tapi diam saja! Bayangkan, betapa kejamnya mereka. Saat petugas keamanan datang, kalian bisa tebak sendiri, pelakunya keburu kabur. Untung banyak saksi, meski mereka tidak membantu. Seharusnya korbannya masih hidup kalau saja mereka ... Minimal melempar batu ke arah pelaku.” 

“Hei, apa kabar pemimpin negaranya?” tanya seseorang. 

“Terakhir kudengar, ia berhasil berdamai dengan Ratu Jin Yamlica,” jawabnya. “Tapi, soal pembunuhan tadi, ia berhasil menghukum mati sang pelaku.” 

“Kudengar ia juga menikahi anak Ratu Jin itu, padahal dia separuh arwah,” sahut seorang wanita. “Apa yang ia pikirkan?” 

Suara Mariam memecah kesunyian. “Sebentar lagi kita akan sampai.” 

Aku mengiakan. 

***

Kota Aibarab jauh lebih ramai dari dugaanku. Beragam makhluk hilir mudik melewati kami. Ada yang berkepala babi, ada pula yang tubuhnya separuh kuda. Beberapa bahkan merubah wujud menjadi kucing untuk mencuri ikan.

Berbeda dengan Shyr, mayoritas rumah sudah terbuat dari beton dan ada pula bangunan berlantai lebih dari tiga. Aku juga melihat kereta kuda melintasi jalanan sambil membawa penumpangnya yang tampak berasal dari kaum terpandang. Sudah jelas hanya kaum kasta atas yang bisa mengendarainya. 

“Kamu kutitipkan di sini.” Mariam menghentikan kudanya.

Kami berhenti di sebuah rumah berlantai tiga. Warnanya juga putih, sangat mirip dengan rambut Mariam. 

Seorang wanita melambaikan tangannya.

Mariam menurunkanku. “Dia temanku. Kamu akan tinggal dengannya untuk sementara waktu selama aku mencari rumah baru. Paham?” 

Aku mengangguk patuh. “Ya, Nona.” 

“Hoi!” Mariam lalu mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kupahami. 

Dia mendekat.

Temannya Mariam adalah wanita yang manis. Selain rambut pendeknya yang cokelat, dia juga memiliki kulit putih dengan mata selaras dengan rambutnya. Dia memakai daster perpaduan warna hitam, putih dan cokelat. Ada yang unik darinya, di atas rambutnya terdapat telinga kucing bundar, membuatnya semakin imut.

“Halo.” Dia tersenyum. “Seperti yang kautahu, aku berasal dari Arosia.” 

Logatnya berbeda dibandingkan Mariam. Dia bahkan mengucapkan setiap kata dengan aneh dan kadang terbata-bata.

Aku tahu Arosia itu negara maju, bahkan seperti Aibarab yang kaya ini. Di sana, terdapat banyak makhluk separuh manusia hidup bersama. Beragam suku dan ras, kadang damai kadang pula rusuh. Itu istilah yang menggambarkan rakyatnya. Begitulah yang biasa orang katakan tentang Arosia. Sementara aku baru bertemu satu orang asli sana.

“Kalau begitu,” ujar Mariam. “Aku pamit dulu. Setelah menemukan rumah, akan kujemput Kyara.” 

“Masih banyak tugasnya?” tanya Temannya Mariam, begitulah caraku memanggilnya. 

Mariam mengiakan. “Tapi, ini yang terakhir. Akan kuluruskan masalahnya baru menyerahkan Kyara pada Khidir.” 

Tanpa menunggu balasan, Mariam memacu kudanya. 

Rumah Temannya Mariam dari dalam ternyata sangat aneh. Mejanya transparan dan terbuat dari kaca. Di dinding ada lukisan abstrak yang tidak kupahami, terdapat beberapa kata yang bertuliskan huruf asing juga bertebaran.

Temannya Mariam rupanya paham kendalaku. “Itu artinya ‘Jangan Menyerah’ dalam bahasa Arosia.” 

“Bahasa Arosia itu bahasa Barat, kan?” Aku memastikan.

Temannya Mariam mengangguk. “Salah satu, lebih tepatnya. Kami menggunakan bahasa Ezilis sebagai dasar. Sebenarnya, bahasa kalian juga termasuk yang paling banyak digunakan di Timur ini, sejauh pengetahuanku.” 

Aku mangut-mangut, berpura-pura paham. 

Temannya Mariam menjamuku dengan benda aneh. Bentuknya bulat dan berwarna kuning. Begitu kugigit, rasanya agak hambar.

“Ini kentang,” jelas Temannya Mariam. “Bagaimana? Aku bikin sendiri.” 

Aku jadi tidak enak untuk jujur. “Um ... Mungkin kurang garam?” 

Temannya Mariam mengucapkan kata yang paling aneh yang pernah kudengar. Baru kemudian diterjemahkannya. “Maaf.” 

“Tidak apa.” Aku tetap memakan benda asing itu.

“Kalau mau daging, bilang saja, ya,” ucap Temannya Mariam sambil mengambil gelas. “Kamu mau minum apa?” 

Aku kembali heran. “Teh saja.” 

Temannya Mariam tampak gugup saat menyeduhkan teh kepadaku. Untung tehnya dingin dan manis. Aku meneguknya hingga habis. 

“Terima kasih,” ujarku. “Um, kamu pindah ke sini?” 

“Mariam mengajakku,” ujar Temannya Mariam. “Kami kawan sekamar juga satu rumah saat masih kecil dulu.” 

“Serumah?!” Aku jelas-jelas kaget. Mariam? Pengelana itu?

“Kami dibesarkan dengan hidup yang cukup menyenangkan,” tambah Temannya Mariam. “Aku mempelajari yang telah ada, sekaligus apa yang telah dilupakan. Lihat apa jadinya? Makhluk-makhluk itu keluar dan menyerang yang tidak tahu menahu tentangnya.” 

Aku teringat akan kadal itu. “Seperti ... Kadal raksasa?” 

Temannya Mariam mengangguk. “Ada banyak makhluk yang belum kamu temukan, eee... Nona...” 

“Kyara.” Kukira dia sudah ingat namaku.

“Kyara! Ada banyak yang belum kamu ketahui. Beruntung Mariam bersedia membawamu.” Tampak jelas wanita itu tahu hubunganku dengan Mariam yang terlalu sederhana ini.

“Tapi, dia bilang aku akan punya rumah baru,” kilahku. 

“Kamu kira dia memilih lingkungan biasa?” balas Temannya Mariam. “Dia jelas mencari lingkungan yang cocok dengan hidupnya–hidupmu!” 

Aku berpikir sejenak. Ada saja lingkungan khusus bidang Mariam yang bahkan tidak jelas bagiku. Apakah asri? Gersang? Penuh monster?

Seakan membaca pikiranku, Temannya Mariam berujar. “Aku yakin dia akan memilih jalan hidup yang cocok bagimu. Tenang, bakal seru, kok.” 

Aku tidak peduli. Yang mencemaskan batinku kalau Mariam tampak berusaha menjadikanku sepertinya. Apa aku bakal jadi Mariam II? Kyara, Penerus Mariam?

“Terserah kamu mau ikut atau tidak,” sahut Temannya Mariam. “Kamu bilang saja ‘Saya tidak tertarik.’” 

Aku tahu akibatnya. Mariam bisa langsung membuangku begitu selesai pengucapkannya. Aku merasa bersalah jika harus meninggalkan wanita itu sementara dia penyelamatku. Dia bisa saja membiarkanku dimakan kadal atau dikutuk menjadi batu oleh Ariya. Namun, dia memilih melindungiku. 

Kutatap kalung ini, apa yang membuatnya begitu penting hingga Mariam menyeretku ke sini? “Apa ... Kalung ini?” 

Temannya Mariam menatap benda yang menggantung di leherku. “Ah, soal itu, hanya dia dan temannya tahu.” 

“Kamu tidak tahu?” heranku.

“Dia tidak menjelaskan,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, itu urusan kerajaan.” 

Aku jelas bingung mendengarnya. Seberapa penting benda ini?

“Setelahnya apa? Dia akan pergi begitu saja? Mariam bakal tinggal di sini selamanya?”  tanyaku.

Temannya Mariam menggeleng. “Kalau ada monster, atau sihir, kami pasti pergi hingga tidak ada ... tiada lagi tempat aman untuk dijelajah.” 

Sudah jelas, aku mungkin bakal jadi pemburu monster sekaligus pengelana. Membayangkan masa depanku yang masih kabur, membuat batinku berkecamuk. 

Temannya Mariam lalu mengetuk meja yang terbuat dari kaca dengan telunjuk. “Kalau begitu, kamu mau mengganti nama?” 

“Untuk apa?” sahutku. “Jangan bilang Mariam bahkan tidak tahu namamu, Temannya Mariam!” 

Wanita itu tertawa. “Kalau begitu, panggil saja Charlie.” 

“Charlie?” 

“Namaku memang bukan itu, kami sengaja menyamarkannya,” sahut Temannya Mariam. “Kamu beruntung Mariam memberitahu nama aslinya. Padahal ada nama lain selain itu.” 

Aku teringat dengan nama yang disebutnya di hadapan Ariya. “Hiwaga, ya?” 

“Wah, baru beberapa hari kalian sudah akrab,” puji Temannya Mariam. “Nama asliku tidak jauh dari nama ini, jadi jangan merasa dikhianati. Kamu mau mengubah nama?” 

“Aku tidak yakin mengubah nama itu penting.” Aku menjawab jujur. “Memangnya untuk apa?” 

“Kamu bakal tahu.”

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status