Share

Keluarga Wynter – 6

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku bertemu Ariya pagi itu. 

“Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” 

Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. 

“Aku Reem,” balasku. 

“Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” 

Aku hendak menolak. 

“Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” 

Apa pun? 

Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau  mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” 

Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” 

*** 

“Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya.

Aku mengangguk.

“Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.” 

Aneh. Banyak orang mengatakannya. Kalau memang Mariam berniat jahat, kenapa padaku? Aku tidak pernah melihatnya dalam hidupku sebelum malam berdarah itu.

“Memangnya kenapa?” tanyaku. “Banyak orang mengatakannya, tapi tidak pernah memberi tahu alasannya.” 

“Kami, para makhluk sihir, dapat melihat aura seseorang. Kebetulan aura Hiwaga sangat suram dan mungkin berbahaya bagi kami. Aku yakin teman-temannya juga begitu.” 

Aku termenung mendengarnya. “Aku hanya manusia biasa.” 

“Mungkin ...” Calvacanti tampak menggantung kalimatnya. “Kamu dalam bahaya.” 

“Aku tahu, kok. Lawannya saja para monster, jin, iblis atau apalah itu.” 

Calvacanti membalas, “Tapi, kenapa kamu malah ikut dengannya?” 

“Nasib.” Begitulah balasanku. “Kamu tahu sendiri kenapa.” 

Calvacanti menepuk bahuku. “Kalau aku merdeka, aku akan memberitahumu tempat yang aman untuk hidup.” 

“Hiwaga juga begitu,” balasku. “Sepertinya.” 

“Tapi, tidak dengan membawamu ke tempat yang berbahaya.” 

“Aku lebih baik hidup sendiri saja, atau kamu yang mengirimku uang,” sahutku. 

Calvacanti tertegun. “Dengar, aku berniat melindungimu dari para–” 

“Reem! Reem! Kamu di mana?” Terdengar seruan dari Mariam. 

“Sebentar!” balasku. “Aku pamit.” 

Aku langsung meninggalkannya.

*** 

“Kamu bisa mengubah seseorang?” Count Wynter bertanya pada kami. “Atau pernah berhubungan dengan sihir sebelumnya?” 

“Ya,” jawab Mariam datar. 

Kami dipanggil Count Wynter setelah aku pamit dengan Calvacanti ke ruang tamu. Meski tampak luas dan megah, suasana yang canggung jelas membuatku merasa aneh dan tidak enak badan.

Countess Wynter ikut bertanya. “Berarti kamu juga bisa menangkal sihir?” 

“Barangkali.” 

“Pernah melawan penyihir?” tanya Wynter. 

“Ya.” Tampaknya, hanya itu yang bisa diucapkannya. 

“Kamu tahu soal Kerajaan Shan?” tanya Wynter. 

“Aku lahir dan dibesarkan di Shyr,” jawab Mariam. “Aku tidak tahu menahu soal Shan, Negeri yang Hilang.” 

Wynter bungkam begitu Mariam mengucapkannya. 

“Apa namamu hanya Hiwaga?” tanya Countess. 

Aku tahu Mariam mulai jenuh. “Kalian mempermasalahkannya? Seorang bangsawan sering menyamar dan kalian bahkan tidak mengusik mereka.” 

Countess menatapku. “Ini putrimu?” 

“Bukan.” Mariam menjawab persis saat aku membuka mulut. 

Wynter dan istrinya heran mendengar jawaban Mariam. Tampaknya ada sesuatu yang menjanggal hingga mereka mengira Mariam-lah pelakunya.

“Aku tahu kamu berbohong,” ujar Count. “Namamu bukan Hiwaga dan jelas kamu tahu apa yang terjadi di Shan.” 

Mariam tetap tenang. “Yang kutahu, Shan hancur beberapa dekade yang lalu. Beberapa rakyat di sana yang selamat justru kehilangan bagian tubuhnya atau lebih buruk. Tapi, tetap bisa menggunakan sihir. Merekalah para keturunan penyihir.” 

“Kamu tahu apa sebabnya?” tanya Wynter. 

Kali ini, Mariam yang bungkam. 

“Kamu tahu apa sebabnya?” Wynter mengulangi pertanyaannya. 

Mariam mengangkat bahu. “Aku bakal terlalu jujur.” 

“Katakan!” titah Wynter.

“Karenamu,” balas Mariam, terdengar santai. 

Suasana seketika hening.

“Apa maksudmu?” Wynter heran. 

“Aku paham kamu dulunya hidup di sana,” ujar Mariam. “Kamu sendiri yang membiarkan seseorang menghancurkan negerimu. Kenapa protes?” 

Jawaban Mariam yang terkesan kasar itu seketika mengubah suasana menjadi semakin canggung dan mencekam. Countess tidak hentinya menatap kami sementara suaminya menunduk entah apa yang dipikirkannya. Aku hanya diam menonton. 

“Beraninya berkata begitu pada suamiku!” Countess menatap Mariam dengan tajam. “Apa yang kautahu tentangnya?” 

“Jauh melebihimu,” sahut Mariam yang masih saja santai. 

Saat itulah, tubuhku terasa membeku. Aku tidak bisa menggerakkan tubuh. Semua terasa berat, seakan ada sesuatu yang menahanku. Mataku dapat melihat tangan Wynter menunjuk ke arahku. Ia menggunakan kekuatannya. 

“Reem tidak akan selamat kalau kamu berbohong, Hawa!” seru Wynter. 

Mariam melotot. “Siapa?” 

Bukannya menjawab, Wynter mengarahkan telunjuk padaku– 

Rasa nyeri mulai menggerogoti tubuh. Jantungku berdetak kencang, takut jika umur selesai sampai di sini. 

“Bohong tentang apa?” sahut Mariam. “Aku mengatakan apa yang kutahu.” 

“Kamu berbohong soal Negeri Shan!” sanggah Countess. “Aku tahu kamu dalang di balik semua ini!” 

“Tidak!” balas Mariam. “Aku tidak tahu kenapa bisa runtuh!” 

Tubuhku terasa diperas. Mulutku tidak mampu bicara, mataku hanya tertuju ke arah Mariam dan dua majikanku.

“Katakan!” desak Count Wynter. 

Mariam membalas. “Untuk apa?” 

Buk! 

Aku terlemparku hingga terempas ke lantai. Beruntung kepala tidak menimpa ujung meja kayu yang terletak persis di samping kepalaku. 

“Reem!” Mariam menghampiri dan memegangku. “Dia tidak ada hubungannya dengan ini!” 

“Kalau begitu,” ujar Count. “Katakan penyebab hancurnya Shan!” 

Mariam menggeram. “Kamu sendiri yang ingin negeri itu menghancur, Pangeran Zayd!” 

Mendengarnya menyebut nama itu, Wynter terdiam. 

“Aku tahu siapa dirimu, Pangeran!” lanjut Mariam. “Kamu memang dilahirkan untuk dibunuh Raja, tapi ia malah membesarkanmu. Kamu sendiri justru berkhianat. Kenapa aku yang disalahkan?” 

Wynter mengepalkan tangan. “Aku tahu kamu berniat menghancurkan sihir dan Shan jauh sebelum aku ingin membunuhnya.” 

Mariam mengelus kepalaku. “Dan Reem tidak ada hubungannya dengan ini.” 

“Tapi, dia anak asuhmu,” sahut Countess. “Dan kelak, dia yang harus bertanggung jawab atas kejahatanmu.” 

“Aku tidak melakukan apa pun!” sahut Mariam. “Aku hanya penduduk Shyr.” 

“Aku melihatmu sebelum kehancuran Shan,” sahut Count.

“Begitu pula denganku. Aku melihatmu setelah kehancuran negeri itu, dengan selamat,” balas Mariam.

Mata hitam Wynter kini bagai jurang tanpa dasar. Menusuk lawan tanpa menghunus pedang.

“Aku tahu kamu siapa,” ujar Wynter. “Dan jangan menipuku di balik wajah polosmu. Guardians ... Kalian harus tanggung jawab!” 

Mariam tidak menanggapi. Wajahnya masih datar seperti biasa. 

“Saat aku mencoba mencegah kalian, negeri ini hancur dan berdampak pada kakiku.” Wynter menunjuk kaki kirinya. “Dan mayoritas penduduk Shan yang selamat harus kehilangan karenamu.” 

Mariam membalas tatapannya dengan dingin. “Lalu apa? Kalian masih bisa memakai sihir, toh.” 

“Kamu pikir kehilangan itu mudah?” sahut Countess. 

“Sayangnya, aku tidak punya siapa dan apa pun,” sahut Mariam, dia menatapku. “Aku sebatang kara.” 

“Bagaimana denganku?” batinku. “Apa aku bagian dari hidupmu?” 

“Lagi pula,” ujar Mariam. “Kalian hanya berlebihan.” 

*** 

Ucapannya sepertinya akan berdampak seribu kesialan yang akan menimpaku di kemudian hari. Untuk sekarang, tampaknya pasangan itu membiarkan Mariam tetap bekerja sebagai pelayan mereka. Padahal keduanya bisa memecatnya. Toh, bakal ada pelayan baru yang menggantikan. 

“Aku hargai kebaikan Wynter,” ujar Mariam keesokan paginya sambil mencuci pakaian. “Ia masih membiarkanku bekerja.” 

“Kenapa kamu bilang begitu?” protesku. “Kamu membuatnya marah!” 

“Mereka tidak membuatku takut,” sahut Mariam sambil menggosok pakaian. “Aku pernah duduk di sisi seorang raja.” 

Pasti Raja Khidir! 

Raja Khidir lagi, Raja Khidir lagi!

Mendengarnya, jelas membuatku semakin heran dan penasaran dengan sosok Mariam yang sebenarnya. 

“Kamu ini sebenarnya siapa?” 

Selalu, Mariam membalas. “Aku pengelana.”

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status