✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
“Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar.
Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar.
“Kalian tadi membentak Idris?”
Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar.
Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?”
“Nisma yang mau,” sahut Delisa.
“Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina.
“Lalu, Reem disuruh diam di tempat.”
“Kemudian Paman Idris datang.”
“Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya.
“Nisma datang.” Delina menyambung.
“Terus merusak suasana.”
“Akhirnya terjadi kekacauan tadi.”
“Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas.
Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
“Apa?!” Countess menatapku. “Benarkah?”
“Setahuku, dia tiba-tiba menyerang selepas obrolanku dengan pria itu,” jawabku jujur.
Countess kembali menatap si Kembar. “Kalian tidak bisa menyakiti Idris, dia teman minum Raja! Apa jadinya jika ia hendak beristirahat dan melihat temannya lenyap dari peradaban?”
Hening lama.
Pintu terbuka.
“Itu Nisma, Umi!” tunjuk Delina.
Delisa melanjutkan kalimat saudarinya. “Dia yang merusak pasar–”
“Omong kosong! Aku baru saja merapikannya!” Nisma memotong ucapan Delisa. Dia tatap sang Ibu. “Umi, aku tadi tidak sengaja menumpahkannya begitu melihat Paman Idris.”
“Kenapa?” tanya sang ibu.
“Yah, begitu.” Nisma mengangkat bahu. “Wajahnya memang menyebalkan.”
Begitu bencinya mereka dengan pria itu? Sejauh yang kulihat, ia tidak tampak seperti sosok menyebalkan.
Countess menatapku. “Kamu, lain kali jangan bicara pada Idris!”
“Siapa dia?” Aku jelas harus tahu.
“Idris Asafa, salah satu kesatria Aibarab dan Kikiro, sekaligus teman minum Raja Khidir,” jelas Countess Wynter. “Ada urusan apa ia bicara denganmu?”
Kujawab dengan jujur. “Ia berpesan kalau terjadi apa-apa, datang saja ke rumahnya.”
Kutatap Mariam, wanita itu tampak tidak senang dengan balasanku. Ada apa?
Countess melirik leherku. “Ada yang aneh. Mana kalungmu?”
“Oh, jatuh saat ... Tentara Nisma menyerang.”
Countess Wynter berpaling ke Nisma yang hampir saja kabur. “Sini kamu! Tanggung jawab!”
Nisma kembali berpaling. Dia jelas tidak terima. “Suruh Calvacanti yang cari!”
Countess Wynter menghela napas. “Suruh dia! Jangan terlambat!”
Nisma pun minta izin keluar dan meninggalkan kami.
***
Malamnya, tak sengaja kudengar suara Countess Wynter dan suara berat dari seseorang.
“Ini kiriman dari Idris Asafa, Nyonya.”
“Ini kalungnya? Buang saja!” balas Countess. Seolah tidak terima jika kalungku seperti itu.
“Tapi, ini kalung yang bagus.”
“Buang! Kami tidak butuh apapun darinya!” Countess Wynter menjauh, terdengar suara langkah kakinya mendengar.
Aku lantas kembali ke taman, menuju rumah.
***
Aku dibangunkan oleh seruan Mariam.
“Reem ... Reem!”
Kali ini, dia memanggilku untuk membantu bersih-bersih sementara majikan kami bekerja di luar. Kebetulan hari ini hari libur dan anehnya, tidak ada si Kembar yang kemarin terlalu bersemangat menyambutku.
Aku jadi teringat dengan Ariya. Penyihir yang nyaris mengubahku menjadi batu di Kota Saghra. Jika dia putri Count Wynter, bukankah seharusnya dia dicari? Atau ...
“Kamu anak baru, ya?”
Seorang wanita menyapa. Rambutnya hitam, pendek dan lurus. Memakai gaun merah tua. Dia juga memakai bando dengan hiasan topi kecil. Matanya hitam pekat seperti Count. Kulitnya pun juga sepucat ayahnya.
“Iya,” balasku. “Kamu putri Count?”
Dia terkekeh. “Jelas, dong. Aku Arsya Ferant Elzalis Wynter. Kamu, Reem, aku membutuhkanmu untuk menyimpan barangku.”
Aku menatap Mariam.
Mariam hanya menjawab, “Patuhi saja!”
Dengan sedikit kecewa, aku terima permintaannya.
Arsya tersenyum. “Oh ya, aku boleh meminjam gelas emasmu?”
Mariam mengerutkan kening. “Untuk apa?”
“Melihat saja, kok,” balas Arsya. “Kami lebih kaya darimu, untuk apa mencuri?”
Mariam mengalah. “Ambil saja, Nona. Aku kurang tertarik dengan gelas itu.”
“Bagus!” Arsya terdengar puas. “Ayo, Reem! Mari kita bawa gelas ini!”
Apa Mariam tidak curiga? Jelas-jelas dia meminta gelas itu bukan sekadar tertarik. Aku jadi penasaran dengan kekuatan Arsya dan kedua orangtuanya.
Arsya mengajakku ke kamarnya yang terletak paling bawah di rumah. Meski perabotannya sederhana seperti kebanyakan kamar, auranya terasa janggal bagiku. Seperti ada sesuatu yang bersembunyi. Mirip dengan adiknya.
Arsya meletakkan gelas itu di kasurnya sambil membelainya.
“Kamu ...” Aku tidak mau melanjutkannya.
Arsya menyeringai. “Kalian pikir kami menerimanya langsung? Tentu saja, dia bertanggungjawab atas nyawa adikku. Untungnya dia baik-baik saja. Kami bisa langsung membunuhnya kalau saja Ariya dibunuh!”
Aku terdiam. Jelas nyawaku juga terancam.
Arsya lalu menyerahkan sebuah liontin kepadaku. “Serahkan kepada Calvacanti!”
“Di mana Calvacanti?”
“Oh, maaf, aku lupa.” Arsya tersipu. “Ia berada di lantai bawah, tugasnya menjaga harta keluarga kami. Tugasmu sangat mudah, lempar ke dia dan suruh jaga sampai aku mau memakainya.”
“Satu saja?” Aku jelas heran.
“Kalau banyak, nanti tercecer.” Arsya tersenyum. Aku tahu dia berbohong, tapi aku maklum saja. Wajar kalau dia tidak percaya padaku. “Jangan lupa, ia berada di lantai paling bawah, kalau kamu melihat pantulan cahaya emas, itu letaknya.”
“Baik, Nona.”
***
Arsya malah tidak menuntunku ke sana. Terpaksa aku menuruni anak tangga dengan sendirian ditemani obor-obor yang menghias dinding.
“Aku tidak membahayakanmu, kok.” Arsya membela diri. “Calvacanti tidak berbahaya. Tidak ada monster di dalam. Kenapa harus takut?”
Kuteruskan langkah semakin dalam. Begitu banyak anak tangga menungguku di sana. Bersama obor dan liontin Arsya, aku menyusuri ruang bawah tanah dengan waspada.
Butuh waktu hampir setengah jam–atau barangkali lebih lama–bagiku untuk mencari secercah cahaya di bawah. Di depanku, berdiri tiga ruangan yang bercahaya. Anehnya, semua isinya sama, harta tak ternilai harganya.
Aku awalnya hendak melempar liontin itu lalu pergi. Anehnya, aku justru masuk ke ruangan bagian kanan yang menurutku cocok untuk liontin itu.
Dugaanku benar.
Di depanku hanya ada uang, uang dan uang. Belum lagi dengan sejumlah batu mulia yang disimpan secara terbuka. Wajar kalau rumah Count Wynter bisa jadi target pertama para pencuri kelas paling tinggi sekali pun. Terbesit dalam pikiranku untuk mengambilnya. Tapi ...
Calvacanti.
Aku ingat nama itu. Kalau dia saja bisa menjaga harta sebanyak itu, sudah pasti banyak korban yang mati di tangannya. Aku urungkan niat daripada mati konyol.
Liontin itu kulempar jauh-jauh.
Ting ...!
Suaranya menggema.
Srek ... Srek ... Srek ...
Terdengar suara uang bergesekan. Tumpukan harta yang menjulang di sampingku perlahan runtuh.
Aku mundur beberapa langkah.
Beragam batu mulai menggelinding melewati. Aku memerhatikan setiap harta majikanku sambil memastikan tidak ada yang keluar dari ruangan ini.
Lalu, kudengar seseorang mendesis, atau barangkali itu suara gesekan koin akibat berjatuhan. Aku menoleh ke samping.
“Mau ke mana?”
Itulah Calvacanti. Penjaga harta Count.
Berbeda dengan orang-orang yang kulihat. Kulitnya sawo matang, dari pinggang sampai kakinya berupa ekor ular berwarna hijau mengilat. Pakaiannya hanya terdiri dari sejumlah gelang dan kalung emas, mungkin berian dari majikannya. Matanya yang keemasan menatapku dengan saksama, selaras dengan benda yang sedang dijaganya.
“Kamu tersesat?” tanyanya. “Mau kubantu?”
Aku serta merta menggeleng. “Aku hanya melempar liontin Arsya untuk kaujaga.”
Pria itu melingkari kakiku dengan ekornya. Suaranya yang berat membuatku gemetar. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Aku Dontae Calvacanti, panggil aku apapun yang kaumau.” Ia tersenyum. “Kalau kamu, Manis?”
Aku sengaja tidak menjawab. Dan aku lebih tertarik memanggilnya Calvacanti saja karena perbandingan usia.
“Aku tahu, kamu bekerja di sini untuk Count,” kata Calvacanti. “Kamu lelah? Sini, biar kubuatkan minum dan makanan lezat untukmu.”
Aku keluar dari lingkaran ekornya.
Calvacanti menghalangiku. Di tangannya, terdapat sebuah kalung. “Ini berian Idris Asafa.”
“Kalungku!” Aku lantas mengambilnya. “Te-terima kasih!”
Ia langsung memasangnya di leherku. “Kamu perempuan pemberani yang datang ke sarangku. Mungkin lain kali kita bisa mengobrol bersama.”
***
“Siapa?” Mariam menatapku curiga. “Calvacanti katamu?”
Aku mengiakan. “Dia mengembalikan kalungku.”
Mariam memerhatikan kalungku. “Syukurlah.”
“Aku yakin pria ini sebenarnya terlalu ramah,” ujarku polos. “Maksudku, seharusnya seorang penjaga itu harus memiliki kesan seram.”
Mariam mendengus. “Kamu masih polos ternyata. Justru dia penjaga paling cocok. Orang-orang mudah terlena dengan sosok seperti itu.”
“Kalau begitu, Calvacanti termasuk makhluk apa?” tanyaku. “Separuh ular, separuh manusia.”
“Lamia,” jawab Mariam. “Mereka biasanya tinggal di Lythia. Dari namanya saja, Calvacanti, sudah membuktikan kalau dia orang sana.”
Aku jadi ingat soal Arsya. “Anu, Mariam. Kamu ingat waktu Arsya minta gelas itu?”
“Aku tahu apa maksudmu,” balas Mariam. “Aku sengaja mengembalikan saudarinya.”
“Tapi kamu justru memperparah keadaan!” sahutku. “Kita bisa ketahuan.”
“Aku cukup bilang kalau aku menemukannya di pasar,” sahut Mariam santai.
“Delina bisa membaca masa lalu!”
“Delina bukan ancaman bagiku,” sahut Mariam. “Delisa juga. Kedua anak kecil itu bukan apa-apanya.”
Aku jelas ragu. “Kamu yakin dengan ini?”
“Kenapa tidak?”
“Ariya bakal tahu,” jawabku. “Kamu bisa dimarahi.”
“Tenanglah, Ariya tidak akan mengingat apa pun,” sahut Mariam. “Karena air yang kusiram padanya, selain mengubah wujud, juga dapat melenyapkan ingatan. Yah, walau sebentar.”
“Benarkah?”
“Dia memakainya agar saat kita menjadi batu atau hewan, kita lupa apa yang terjadi. Tapi, ada beberapa yang masih ingat,” jelas Mariam. “Aku tahu karena selama ini, aku mengintipnya sedang membaca ramuan dan mencampurnya menjadi racun.”
Aku ternganga.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil