Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya."Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan.Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert.Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan keputus
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Namanya Mariam.Wanita misterius, menyibak masa lalu.Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia tahu siapa aku.Kenapa aku ada dan apa yang akan terjadi ke depannya.Hidup sederhana, tanpa tahu tragedi. Kini semua terpampang jelas di depan.Hanya melangkah yang bisa kulakukan. Tak tahu ke mana arah takdirku.Mariam beritahu apa yang tidak diketahui.Negeriku hancur karenanya.Aku terpisah dengan mereka, para pelindungku.Hanya kalung ini kenangan dari mereka.Kalung itu hanya menanda, mana mereka dan orang asing.Mereka menantiku. Dengan sabar menunggu kelahiranku dan dia.Mariam tahu siapa mereka dan tugas yang diemban.Mereka adalah ...✵─────
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Sejak dilahirkan, aku tidak tahu takdir yang menanti selain melanjutkan jejak Ibu sebagai pedagang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, kisahku tidak beda jauh dibandingkan anak lain di desaku.Namaku Kyara. Tidak ada nama tengah, maupun belakang. Rambutku pendek berwarna hijau gelap khas desaku, begitu pula dengan mataku. Aku tinggal dengan Ibu yang bekerja sebagai pedagang. Setiap hari kami bekerja demi sekeping uang.Kami tinggal di Desa Anba, desa terpencil di Shyr, sebuah negeri yang panas namun peradabannya tidak kalah maju dengan negeri lain."Kyara, bantu Ibu menyusun dagangan!" seru Ibu begitu membangunkanku.Aku menggaruk leher, benda itu selalu saja mengganggu tidurku. Kalung yang melingkar di leher sejak lahir, tidak pernah lepas dari tuannya. Meski sudah kucoba membuangnya, besoknya pasti kembali padaku. Bukannya benci, benda ini tampak tidak bermutu sejak awal. Lihat buahnya, seperti batu kecil yang ada di jala
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Ibu ...Aku tidak bisa menjerit, atau meraung meratapi. Hanya diam membiarkan mata membasahi wajah.Apa jadinya jika Ibu masih hidup? Barangkali besok kami akan berkuda bersama Mariam. Lalu pergi entah ke mana bersama wanita asing ini.Tapi, kenapa kadal itu ada? Dari mana asalnya?Ibu, aku tahu harus bagaimana?Jangan menangis.Itulah bisikan batinku, tapi aku tidak tahu harus berpikir apa lagi.Kulirik lengan Mariam yang memagari tubuhku. Entah sampai mana Mariam membawaku, yang pasti letaknya sangat jauh dari Desa Anba. Aku takut menoleh, apalagi jeritan warga yang semakin jauh dan senyap seakan tidak pernah terjadi sebelumnya."Ibu," gumamku. Aku hendak berucap, tapi lidahku kelu.Sepanjang perjalanan, aku diam saja. Wanita itu bahkan tidak mengajak bicara, hanya fokus ke depan menuju tempat yang terasing."Kita ... Ke m