Share

Wanita Berambut Putih - 1

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Sejak dilahirkan, aku tidak tahu takdir yang menanti selain melanjutkan jejak Ibu sebagai pedagang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, kisahku tidak beda jauh dibandingkan anak lain di desaku.

Namaku Kyara. Tidak ada nama tengah, maupun belakang. Rambutku pendek berwarna hijau gelap khas desaku, begitu pula dengan mataku. Aku tinggal dengan Ibu yang bekerja sebagai pedagang. Setiap hari kami bekerja demi sekeping uang.

Kami tinggal di Desa Anba, desa terpencil di Shyr, sebuah negeri yang panas namun peradabannya tidak kalah maju dengan negeri lain.

"Kyara, bantu Ibu menyusun dagangan!" seru Ibu begitu membangunkanku.

Aku menggaruk leher, benda itu selalu saja mengganggu tidurku. Kalung yang melingkar di leher sejak lahir, tidak pernah lepas dari tuannya. Meski sudah kucoba membuangnya, besoknya pasti kembali padaku. Bukannya benci, benda ini tampak tidak bermutu sejak awal. Lihat buahnya, seperti batu kecil yang ada di jalanan. Ketika kutanya Ibu perihal ini, beliau hanya menjawab dengan sederhana.

"Setelah melahirkanmu, bidan bilang kamu sudah memakai kalungnya," jawab Ibu. "Ya, sudah. Anggap saja sebagai hadiah dari Dewa."

Aku lantas mencuci muka dan mandi sebelum membantu Ibu. Tidak lupa sambil mengamati kalung itu, berharap benda itu dapat memberi keberuntungan.

Kami biasanya berjualan di depan rumah, seperti sebagian penduduk desa Anba. Awalnya jalan hidupku sangat sederhana, melanjutkan jejak Ibu jadi pedagang biasa. Sebelum wanita itu datang ke hidupku.

"Ada seseorang!"

Aku menengok ke luar lewat jendela kayu dan melihat seorang wanita menunggangi kudanya. Berbeda dengan penduduk Desa Anba, ia memiliki rambut seputih kapas dan mata sebiru langit. Tatapannya dingin, seakan enggan menyapa.

"Ada yang kenal gadis berkalung?" Seruannya lantas mengguncang raga dan jiwa.

"Itu Kyara!" seru salah satu bocah yang sering bermain denganku dulu. Melihatku, ia langsung menunjuk.

Tatapan kami bertemu. Aku lantas menelan ludah, jangan-jangan dia berniat buruk.

Wanita itu turun dari kudanya dan menatapku. 

Tentu saja penampilannya memikat kaum Adam di desa kami. Beberapa pemuda bahkan pria yang sudah menikah pun menawarinya tempat tinggal. Seorang wanita ikut maju dan menawarkan diri. Sesuai dugaan, dia memilih rumahku, karena dia tahu itu ibuku.

Perawakannya sama tingginya dengan mayoritas penduduk sini. Kulitnya yang kuning langsat, sedikit lebih putih. Mengingatkanku pada orang-orang di Ezilis yang pucat. Logatnya cukup aneh bagiku, juga cara menyapa pun berbeda. Alih-alih mencium tangan, dia hanya menjabat tangan Ibu dengan kencang sampai beliau tersentak.

"Aku Mariam Fativ," ujarnya. "Aku seorang pengelana."

"Ayo, kenalkan dirimu!" Ibu langsung menatapku. Bukankah seharusnya dia yang memulai?

Aku menyebut namaku. "Aku Kyara."

"Namamu mengingatkanku dengan teman di Aibarab," komentar Mariam.

Aibarab? Negeri yang terkenal itu? Meski letaknya sekitar 200 kilometer dari sini, tetap saja Aibarab adalah negeri tetangga yang kerap menjadi saingan negaraku, Shyr. Warganya saja kurang akur akibat kesamaan budaya dan bahasa, bisa dibilang penduduk Aibarab sangat sensitif soal kesamaan. Sementara kami kurang menerima perbedaan.

"Jadi, kalungmu itu ..." Mariam menatapnya. "Sudah ada sejak kecil?"

Ibu mengiakan. "Saat melahirkannya, benda itu sudah melingkar di sana. Kami coba membuangnya, malah kembali keesokan harinya. Ya, sudah, kami biarkan saja."

Mariam diam saja. Dia tatap jendela, bergumam.

"Ada apa?" tanya Ibu.

"Kalian harus waspada!" Wanita itu itu menoleh padaku. "Untuk gadis ini, jangan tidur kecuali dengan gunting atau benda tajam!"

Ibu jelas curiga. "Apa maksudmu? Kau bisa membahayakan kami."

"Percayalah." Mariam menatap Ibu dengan serius. "Kamu harus tidur dengan gunting di sisimu atau maut akan menjemput."

"Siapa kamu?" balas Ibu. "Tingkahmu tidak beda jauh dengan penyihir palsu!"

Mariam menghela napas. "Aku utusan Raja Safar al-Khidir dari Aibarab. Ia hendak menemui gadis itu."

Aku lantas menelan ludah. Apa maunya?

"Raja Khidir tertarik dengan Kyara?" heran Ibu. "Dia masih kecil, belum waktunya-"

"Dia tidak mau menikahinya!" Mariam tampak menahan emosi. "Dia ada urusan dengannya."

"Apa itu?" Ibu jelas skeptis. "Kamu tidak bisa membawanya pergi begitu saja."

"Ada imbalan."

"Tidak!" tegas Ibu. "Nyawa putriku lebih penting dari semua ratna mutu manikam!"

Mariam tampak menarik napas. "Baik, kamu boleh ikut. Dengan syarat, jangan keluar rumah malam ini!"

Meski hal gaib bukan termasuk budaya di Shyr, kami masih percaya jika kami tidak sendiri. Mariam tampaknya pakar dari bidang ini, meski aku belum menanyakannya.

***

"Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Ibu selagi menabur garam di depan pintu sesuai instruksi Mariam.

"Pengelana."

"Iya, tapi pengelana apa? Pemburu Jin? Pemburu Monster?"

"Aku dikenal dengan banyak gelar. Panggil saja Mariam."

"Jangan bilang Mariam itu bukan nama aslimu." Ibu menyipitkan mata, seakan mencari kesalahan di wajah wanita asing itu.

Mariam tidak membalas. Ibu jelas terlalu kepo.

***

Malamnya, aku tertidur bersama gunting di sisiku. Entah kenapa, firasat tidak enak dari tadi sehingga membuatku kesulitan tidur.

Mariam kebetulan tidur sekamar denganku, Ibu lebih senang tidur sendirian. Kamarku terletak cukup jauh dari dapur, sementara kamar beliau dekat dengan pintu luar yang kini sudah ditaburi garam.

Krek ... Krek ...

Aku dikejutkan oleh suara gesekan dari bawah. Terdengar seperti suara langkah kaki yang diseret.

Aku mendengar pintu berderik. Tampaknya Ibu pergi memeriksa keadaan. Mariam terbangun saat aku mencoba keluar.

"Mau ke mana?" Mariam bertanya, masih berbaring.

"Mencari Ibu," balasku.

Krek ... Krek ...

Suara langkah kaki itu kembali terdengar. Kali ini, lebih keras.

"Dia datang." Mariam melotot, tampak rasa gentar di matanya. "Cegah ibumu!"

Mariam bangkit lalu membanting pintu demi menyusul Ibu. Aku hanya berlari menyusul di belakang tanpa tahu apa yang terjadi.

"Hei, tidak ada apa-apa di sini!" seru Ibu yang berada di bawah rumah, lebih tepatnya di kandang ayam.

"Cepat keluar!" titah Mariam.

Namun, Ibu tidak kunjung keluar.

Kami turun untuk memeriksa.

Terlihat di bawah, di antara kandang ayam, kedua kaki Ibu ditelan bulat-bulat oleh makhluk yang menyerupai kadal. Ukurannya lebih besar dilengkapi taring yang menusuk paha Ibu.

"I ... Ibu-" Aku gemetar.

"Kyara!" Ibu menjerit sambil melambaikan tangan, mencoba meraihku.

Aku maju dan memegang tangan Ibu. Jelas jeritanku berpadu dengan jeritan beliau. Aku hanya bisa menarik sekuat tenaga sambil menatap wajah ketakutan ibuku.

"Kyara! Lepaskan!" seru Mariam.

"Tapi, Ibu–"

Mariam menarikku.

Genggamanku terlepas. Tapi, tidak dengan Ibu.

Dia masih memegang tanganku, menyeret semakin dalam ke tubuh makhluk itu. 

"Kyara!" Itulah jeritan Ibu yang semakin mencengkeram tanganku.

"Ibu!"

Kudengar geraman Mariam.

Bruk!

Sebuah batu mengantam kepala Ibu.

Pegangannya terlepas.

"Ibu!" Aku menjerit.

Belum sempat kulihat Ibu untuk terakhir kali, wanita itu menarikku ke kuda putihnya dan langsung memacu tunggangannya.

"Ibu! Ibu–"

"Tutup mulutmu!"

Aku menoleh.

Makhluk itu menelan Ibu bulat-bulat. 

Wujudnya seperti seekor kadal dengan ukuran lebih besar dari seekor unta, kulit hitamnya mengkilap melapisi tubuhnya dilengkapi ekor yang panjang dan kokoh. 

Ia mengeluarkan suara melengking yang seketika menyakiti telingaku.

"Lari! Lari!" Mariam terus menjerit. 

Air mata mengalir, entah karena berduka atau takut. Keduanya tercampur padu. Belum sempat menjerit, Mariam sudah menutup mulutku.

Aku memberontak hendak menjauh. Tidak mungkin kubiarkan Ibu ditelan!

"Tetap di sini!" hardik Mariam sambil mencengkeram pinggangku.

Beberapa orang yang heran mulai mencari tahu. Kudengar jeritan mereka disusul tangisan.

"Kadal! Kadal!"

Makhluk itu keluar dan mengejar sebagian warga yang berlari. Menghancurkan sebagian rumah dan memakan beberapa orang bulat-bulat.

Mariam terus memacu kudanya tanpa memedulikan penduduk Desa Anba yang berusaha menyusul. Sebagian tewas saat tengah mengejar akibat jatuh lalu ditelan makhluk itu.

Aku tidak peduli lagi dengan harta dan pakaian. Semuanya terasa sia-sia sekarang. Melihat makhluk itu sudah menghancurkan desaku, timbul niat dalam hatiku untuk membalas.

Ibu ... 

Mariam terus memacu kuda hingga jauh menuntunku ke luar daerah yang kukenali. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tampak terlalu fokus menyelamatkan diri dan membiarkan desaku dihancurkan.

Aku mencengkeram surai kudanya, sambil mengharapkan masa depan yang lebih baik. Berharap semua ini hanya mimpi buruk yang kadang menghantuiku.

Inilah awal kisahku, Kyara bersama Mariam. Wanita yang menyibak masa laluku.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status