Share

Wanita Berambut Putih - 4

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Kota Batu Saghra jauh lebih suram dari dugaanku. Semakin kami mendekat, langit semakin muram dan berangin. Mariam tetap memacu kudanya hingga masuk semakin dalam ke kota. 

Seperti yang kalian tahu, kota ini tampak terbengkalai. Tidak hanya terkesan tak berpenghuni, tapi juga dipenuhi patung berbentuk manusia layaknya arca. Sebagian sudah rusak, kebanyakan kepalanya sudah hilang. Terasa mustahil jika kami dapat menyelamatkan mereka. 

“Jangan jauh-jauh dariku, Kyara,” bisik Mariam. “Tempat ini bukan untuk bermain.” 

Aku membalas, “Anak macam apa yang mengira ini taman bermain?” 

“Ada banyak anak-anak ke sini karena penasaran, lihat apa yang terjadi.” 

Beberapa hewan mulai dari jinak sampai yang buas berdatangan. Anehnya, mereka hanya menatap kami. Tidak ada reaksi lain. Begitu aku balas tatapan mereka, matanya seakan mengisyaratkan sesuatu padaku. Seakan hendak menyuruh kami pergi. 

“Kau tahu siapa mereka, Kyara?” bisik Mariam. 

“Mereka yang ... Dikutuk?” tebakku. 

Mariam mengiakan. “Kita akan menginap di rumah Ariya. Pura-puralah kalau kita ini pengelana yang tersesat.” 

“Baik, Mariam.” 

Para hewan kalang kabut saat kami menyebut namanya. Saat itulah sosok wanita muncul dan menyapa kami. 

“Halo, semua!” 

Jujur saja, kesan pertama saat aku melihat Ariya Wynter adalah dia gadis yang manis. Berkulit kuning langsat dan mulus. Rambut sebiru langit malam diikat ke bawah, selaras dengan matanya yang biru. Dia memakai pakaian serba biru tua dengan rok pendek disertai celana hingga menutupi seluruh kaki. Ditambah dengan topi lebar biru tua dilengkapi sebuah bintang di ujung topinya. 

“Selamat siang 💙!” serunya dengan antusias. “Aku Ariya Ferrant Elzalis Wynter, putri dari Count Wynter. Aku penguasa daerah ini.” 

Mariam membalas dengan dingin. “Ya, kami hanya pengelana yang tersesat. Bisa beritahu penginapan murah?” 

“Wah, sayangnya tidak ada.” Ariya menggeleng. “Kalian, sebagai tamuku, kuizinkan tinggal di istanaku selama yang kalian mau 💙” 

Terdengar seperti tawaran menggiurkan, bukan? Begitulah caranya menjebak korbannya. Dia akan menyeretmu secara perlahan, membuatmu seakan mengali kuburmu sendiri. 

Mariam jelas berpura-pura ragu. “Bolehkah, Nona?” 

Ariya mengangguk. “Boleh, dong 💙” 

Ariya langsung menuntun kuda kami. Entah bagaimana kuda itu menjadi jinak dan mengikuti langkahnya ke istana. Mariam jelas menyadari kejanggalan itu, namun memilih diam agar terkesan seperti mangsa yang empuk. 

Seperti dugaanku, istana Ariya sungguh megah. Warnanya biru pucat, selaras dengan pakaian pemiliknya. Ukurannya yang besar, bahan terbuat dari beton, beragam patung–atau mungkin para korban–menghiasi bagian luarnya. Sebagian patung sudah kehilangan anggota tubuh terutama kepala. Tak lupa, gerbang yang terbuka lebar menambah kesan seakan dia pemimpin yang sangat terbuka. 

“Masuklah! Anggap saja rumah sendiri.” 

Dalamnya saja sudah begitu luas, serba biru tentunya. Beberapa foto dipajang sepanjang jalan. Banyak sekali foto yang kutemukan. Yang paking heboh adalah foto keluarga. Ada banyak sekali anak di sana. 

“Aku anak kedua dari tujuh bersaudara,” jelas Ariya. “Kini, Abi mengizinkanku hidup sendiri sebagai penguasa, aku bisa membangun negeri sendiri dan membanggakan orangtua! Rencananya aku bakal membuat negeri yang disegani juga cantik 💙” 

Kalimatnya saja terkesan manis. Berbanding terbalik dengan tindakannya barusan. 

Berbeda denganku, Mariam masih memasang wajah datar sementara aku terbuai dengan beragam keajaiban yang bertubi-tubi. Wajar saja, untuk pertama kalinya aku keluar rumah dan berkeliling istana. 

“Oh, ya.” Ariya berpaling menatap kami. “Siapa nama kalian?” 

Aku membuka mulut. 

Mariam langsung memotong. “Aku Hiwaga dan dia Reem.” 

Aku– yang kini jadi Reem–hanya diam menanggapi. Untung tidak menyebut nama asli. 

“Hiwaga?” Ariya mengerutkan kening. “Um ...” 

“Apa?” tanya Mariam. 

Ariya memaksakan senyum. “Nama asing, ya. Kalian orang mana?” 

“Dari Aibarab,” balas Mariam. “Aku cukup terkenal.” 

Ariya menatapku. “Dia putrimu?” 

“Bisa dibilang begitu.” Mariam menyentuh bahuku. 

Ariya mengangguk. “Kalian mau menginap di mana?” 

Ariya menunjuk sebuah lorong yang dipenuhi pintu. Cukup lucu karena pintu lain memiliki warna beragam yang bahkan tidak selaras dengan warna dinding. Hanya kamar Ariya–pintu kamar biru–satu-satunya yang selaras dengan warna lainnya. Mungkin kamar itu tempat tinggal para saudaranya agar tidak salah masuk. 

“Aku pilih yang putih,” ujar Mariam. “Biarkan Reem bersamaku.” 

Ariya tampak heran, dia sedikit menelengkan kepala. “Oke, Nona. Masuk saja. Kebetulan baru kubersihkan 💙” 

Mariam berterima kasih dan langsung menarikku ke kamar berpintu putih. Letaknya paling ujung dan jelas akan menyulitkan Ariya jika dia hendak menyerang kami kelak. 

Kamar kami, anehnya, serba biru muda di dalam. Terdapat kasur raksasa di depan kami. Ukurannya dua bahkan tiga kali lipat lebih luas dan empuk dibandingkan penginapan tadi. 

Mariam membuang beberapa benda tajam seperti pisau, silet, gunting dan jarum ke jendela luar. Semua rupanya terselip di laci atau celah-celah kecil. Aku tidak paham kenapa harus dibuang, biasanya jin takut benda itu. Tunggu, Ariya bukan jin. Dia penyihir. 

Aku berbaring dan merasakan sensasi nyaman menyelimuti. Mariam ikut berbaring di sisiku dan langsung mendengkur. 

Begitu terpejam, aku tertidur pulas. Melupakan segalanya. 

***

Ariya menjamu kami dengan beragam makanan yang tampak lezat. Aku teringat dengan peringatan dari Safir : jangan pernah menerima minuman berupa air berbau dan berwarna. 

Terpaksa kami meminum air minum biasa. Ariya terus memperhatikan cara makan kami yang terkesan waspada. 

“Jangan sungkan 💙” Ariya tersenyum. “Ada banyak makanan di sini.” 

Mariam memaksakan senyum. “Tidak apa. Kami memang makan sedikit.” 

Aku melihat Ariya terus memandang kami tanpa ekspresi. Aku seakan terikat dengan mata birunya yang indah. Tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Sementara waktu terus berjalan. 

Mariam mencolekku. 

Menyadari kesalahanku, tidak boleh menatapnya terlalu lama, aku kembali melanjutkan makan tanpa sekalipun menatap penyihir itu. 

Beruntung tubuhku hanya sedikit kesemutan akibat ‘membeku’ sejenak. 

***

“Kamu nyaris jadi batu,” bisik Mariam begitu kami masuk ke kamar. 

“Maaf,” bisikku. “Aku terpesona dengan matanya. Indah sekali.” 

“Begitulah semua orang.” Mariam memutar bola matanya yang juga biru. “Terpesona sampai lupa diri. Lalu menyesal setelah jadi batu.” 

“Memangnya mereka masih bisa hidup setelah itu?” tanyaku. Jadi teringat dengan dongeng tentang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu. 

“Rasanya seperti tidur panjang. Tapi jika terlalu lama, kamu bakal mati juga.” 

Dia mengucapkannya dengan santai seakan itu hanya dongeng. Bicara soal dongeng, aku teringat jika Ariya juga menyukainya. 

“Bagaimana kalau kita mendongeng untuk Ariya? Mengalihkan perhatiannya?” usulku, tentunya sambil berbisik. 

“Bagaimana kalau kamu yang mendongeng untuknya?” balas Mariam. “Aku tidak tahu cerita anak-anak.” 

Aku sedikit kecewa. Aku mengubah topik. “Ketika  tengah malam nanti, kita bakal mengintip Ariya memasak?” 

“Ya. Aku yang akan melakukannya. Kamu diam saja di sini.” 

“Aku mau ikut!” Aku sedikit meninggikan suara. “Bukankah aku ... Terlibat?” 

Mariam mengerutkan kening. “Baik, tapi jangan berisik!” 

“Baik.” 

Kami pun menunggu.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status