Share

Wanita Berambut Putih - 3

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku tidak tidur sepanjang jalan. 

Kami lewati gurun yang asing bagiku. Belum pernah kulihat gurun sebelumnya dan tidak pernah kubayangkan bakal sepanas ini. Selama hidupku, aku mengira gurun hanya tempat yang dipenuhi pasir, tak terlintas seberapa ganas tempat itu. 

Mariam tidak berkutik selama ini. Dia pun tidak menunjukkan kelelahan sepertiku. Sudah dipastikan dia pernah melewati tempat ini sebelumnya. 

Aku jadi teringat akan kisah para tetangga. Tentang para pemburu jin dan sihir. Mariam jelas sangat mirip dengan tokoh-tokoh itu. 

Demi mencairkan suasana, aku pun bicara. 

“Kamu mengingatkanku dengan seorang pemburu jin dan iblis,” kataku. “Itu pernah terjadi?” 

“Ya,” balas Mariam. “Ayahku juga.” 

“Benarkah?” Aku berbasa-basi. “Jadi, ini motivasimu?” 

“Tidak.” Jawabannya sungguh di luar dugaan. “Aku sama sekali tidak dekat dengannya, bertatap muka saja hampir tidak pernah. Alasanku tidak lain hanya untuk bertahan hidup.” 

Aku entah bagaimana, bersimpati. “Aku ikut sedih.” 

“Aku tidak meminta simpatimu, Kyara,” balasnya dingin. “Aku hanya menjelaskan apa yang terjadi.” 

Aku merasa canggung. 

“Kalau Kyara sendiri?” Mariam balik bertanya. “Kamu pernah terbayang ingin keluar dari rumah dan berpetualang?” 

“Um ... Ya,” balasku jujur. “Tapi, Ibu melarang.” 

“Begitu juga dengan ibuku,” ujar Mariam. “Beliau pernah menghukumku karena mencoba berjalan keluar desa sebelum aku paham tentang bahayanya.” 

“Kenapa baru muncul sekarang?” tanyaku. “Bahayanya.” 

“Bahaya selalu mengintai kita,” balas Mariam. “Kita saja yang lengah.” 

Aku mengalihkan pandangan ke depan. Pasir. Semuanya pasir. Memperparah suasana hatiku. Mariam tampaknya paham dengan keadaanku yang menyedihkan ini. 

“Kita akan istirahat di gua terdekat,” ujar Mariam. 

“Memangnya ada?” tanyaku. 

“Aku sering menginap di sana,” balasnya sambil memacu kudanya. 

Jarak menuju gua itu sangat jauh, ibarat setitik debu di depan mataku. Sudah pasti, kami akan sampai saat malam tiba. 

***

“Bangun!” Mariam menepuk pipiku. 

Aku tersentak. 

Kami sudah sampai di gua itu. Aromanya sangat aneh, mirip bau kandang ayam. Belum lagi penerangannya hanya berasal dari obor yang baru dinyalakan. 

Mariam menjatuhkan sebuah kantung berisi buah delima, tampaknya baru dibeli di kota itu. 

Aku memakannya sementara Mariam terus menyusuri gua lalu kembali ke sini.

“Semua aman,” lapornya. “Kita menginap di sini.” 

Kami tertidur tidak jauh dari bibir gua. Aku tidur di sisi Mariam sementara barang bawaan ada di belakangnya. Sementara kudanya sedang tertidur di seberang sambil berdiri. 

Perlahan menggema suara tetesan air berjatuhan. Terdengar suara langkah kaki. 

Tunggu, langkah kaki? 

Aku merasakan kejanggalan, seakan sesuatu sedang berjalan mendekat. 

Begitu kubuka mata, terlihat seorang bertudung memungut barang bawaan kami. 

Belum sempat membuka mulut, orang itu sadar dan berlari. 

“Hei!” Aku mengejarnya. 

Aku mengejar hingga kami keluar gua. Tudungnya yang berkibar memudahkanku untuk menangkap orang itu. 

Aku melompat dan menarik jubah hingga seluruh penyamarannya terbuka. 

Ia terkejut dan menghentikan larinya. 

Seorang wanita, berambut biru safir dengan mata kuning menyala. Dia mengatupkan rahang dan mengubah wujudnya menjadi rubah biru. 

Aku berlari menyusul dan menindih tubuh rubahnya hingga kami berdua tergulung di pasir. 

Rubah itu kembali mengubah wujudnya menjadi wanita lagi. Anehnya, seperti sihir, tidak ada perubahan di tubuhnya. Apakah dia jin?

Tanganku ditariknya. “Akan kujual kau!” ancamnya.

Kedua tanganku dikunci hingga aku terjatuh ke tanah. Tangannya meraih sebuah batu dan bersiap memukulku. 

“Kyara!” Mariam meninjunya.

Wanita itu terkapar di sampingku. Aku beringsut menjauh. 

Kini, Mariam yang menahan tangannya. Wanita itu tak berkutik lagi. 

“Kamu tampaknya lupa siapa aku,” kata Mariam. 

“Aku bahkan tidak tahu kamu!” balas wanita itu ketus. 

Tunggu, Mariam mengenalnya? 

“Lepaskan aku!” seru wanita itu. “Aku berjanji akan melakukan apapun!” 

“Apapun?” beo Mariam, tampak tertarik. 

Wanita itu mengiakan. “Lepaskan!” 

Mariam menyeretnya kembali ke gua sementara aku menyusul. Wanita itu didudukan di tanah sementara Mariam berdiri di depannya. 

“Apa kau tahu Kota Saghra?” tanya Mariam. 

Wanita itu membalas, “Ya. Aku baru keluar dari sana.” 

“Bagaimana bisa?” Mariam heran. “Seharusnya kau sudah jadi batu!” 

“Izinkan aku bercerita,” ujar wanita itu, lalu memulai kisahnya. 

Kami pun menyimak. 

“Namaku Safir. Kau tahu sendiri dari warna rambutku. Aku hanyalah Pengalih-Rupa rubah yang hidup di keluarga pencuri. Begitulah kisah hidupku, mencuri dan kabur. 

“Beberapa hari lalu, aku sempat terpikir untuk mencuri harta milik penyihir Ariya Wynter yang hidup di Kota Batu Saghra. Berkat saran dari kakakku, aku berhasil masuk dan keluar dengan selamat.” 

“Bagaimana?” tanya Mariam, terlihat tidak sabar. 

Safir lalu menyerahkan selembar kertas. “Semoga kalian keluar dengan selamat.” 

Kertas itu bertuliskan : 

- Jangan pernah menerima minuman berupa air berbau dan berwarna. 

- Jika Ariya menawarkan tempat tidur, pilihlah yang paling jauh dari kamarnya. Kamar Ariya terletak di pintu biru. Pastikan benda tajam dibuang terlebih dahulu. 

- Ariya adalah penyihir yang suka dongeng, ada baiknya menceritakan serangkaian kisah kepadanya. 

- Jangan terlalu lama menatap matanya, karena itu salah satu caranya dapat merubah seseorang menjadi batu. 

- Ketika tidur, bangunlah pada malam hari. Jika kalian melihatnya sedang menjarang air, tunggu sampai lengah. Ganti airnya dengan air biasa selagi sempat. 

- Ketika esoknya dia menyerahkan minuman itu, minumlah. Semua akan baik-baik saja. Setelahnya, terserah. 

“Kakakku berhasil kabur,” jelas Safir. “Dan ingat, jangan gegabah!” 

Mariam membaca kertas dengan cermat. “Kau kubebaskan.” 

Aku pun melepaskan tali yang mengikatnya. Safir langsung berdiri dan mengelus tangannya. 

“Kamu utusan Raja Khidir?” tanya Safir pada Mariam. 

“Ya.” 

“Terima kasih,” kata Safir. “Sekali lagi, semoga kalian selamat.” 

“Ya.” Mariam membalas datar. Jelas ingin Safir segera pergi. 

Wanita itu tidak bergerak, tampaknya dia menunggu sesuatu dari Mariam. 

Mariam menggeram. “Nih!” Dia lempar sejumlah uang perak kepada Safir. 

Safir memungutnya dengan wajah berseri. Dia pamit begitu saja, membawa lari uang Mariam yang tidak seberapa itu. Tidak bisa kubayangkan seberapa kerasnya hidup Safir. 

Seakan membaca pikiranku, Mariam menyahut dengan nada berbisik. “Jangan bersimpati!” 

“Aku tidak bersimpati,” sanggahku. “Aku hanya menyayangkan tingkahnya. Sudah dibebaskan, minta imbalan lagi.” 

“Wajar saja,” sahut Mariam. “Begitulah deritanya menjadi anak jalanan. Banyak orang seperti dia, bahkan lebih parah. Sudah, abaikan saja.” 

Aku teringat dengan negeri yang disebutnya. “Ada apa dengan Kota Batu Saghra?” 

“Kota Batu Saghra adalah kota terkutuk di Shyr,” jelas Mariam. “Seperti namanya, penduduknya mayoritas diubah menjadi batu. Sebagian menjadi hewan hanya untuk dimakan sang penyihir.” 

“Penyihir?” 

“Ariya Wynter, putri kedua dari Count Wynter, salah satu penguasa di negeri ini.” Mariam menyusun barangnya. “Ayo, kita akan pergi.” 

“Sekarang?” 

“Kenapa tidak?” 

“Maksudku, demi apa?” Aku memberanikan diri bertanya. 

Mariam diam sejenak. “Ini perintah Khidir.” 

Sahutan itu membungkam mulutku. Dengan patuh aku ikut dan kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Dalam benakku, apa saja tugas yang diemban? Kenapa Raja Khidir mengutusnya? 

“Untuk apa ke sana? Bukankah itu bunuh diri?” tanyaku di sela perjalanan. 

“Aku akan mengambil hartanya,” ujar Mariam. “Dan membebaskan mereka yang dikutuk. Lagi pula, ini perintah si Khidir.” 

Mendengarnya, aku langsung tahu jika Mariam tidak beda jauh dengan Safir. Pengelana, juga membunuh lawan untuk mengambil harta mereka.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status