✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
“Reem ...!”
Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi!
“Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku.
“Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku.
Buk!
Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini?
“Ayo, Pelayan!” seru Delina.
“Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!”
Aduh, dua-duanya sama saja!
“Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!”
Aku ikuti arah jalan mereka.
Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru?
“Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram.
“Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.”
Si Kembar saling tatap.
“Itu Paman Idris!” desis Delina.
“Dia lagi, dia lagi,” keluh Delisa. “Aduh, apa maunya sekarang?”
“Abi tidak membencinya, ‘kan?” balas Delina.
“Kalian membencinya?” tanyaku mengacu pada pria berambut putih itu.
“Ugh, kami tidak suka auranya!” keluh Delina. “Bahkan sifatnya ... Ugh, tidak enak tahu!”
“Ada apa?” Aku jelas curiga.
“Dia mirip dengan pria yang dulu menyakiti ayah kami,” jawab Delisa. “Di masa lalu, Abi yang dizalimi. Yah, meski itu ayahnya, bukan Paman Idris.”
“Hanya karena dia mirip orang itu?” Aku jelas heran.
“Ya,” jawab si Kembar.
Tiba-tiba wajah masam mereka jadi ceria kala melihat seseorang membawa keranjang.
Delisa menepuk pelan bahu saudarinya. “Ayo, beli! Beli!”
Delina menatapku. “Kamu diam di sini! Biar kami belikan untukmu–tapi, kejutan!”
Keduanya meninggalkanku di seberang jalan.
Kutundukkan pandangan, mengamati kalung yang kemarin bercahaya. Aneh, setelah kepergian pria itu, benda ini kembali seperti semula seakan tidak terjadi apa-apa. Beberapa menit menunggu sambil memandang, aku melihat bayangan mendekat.
Kalungku kembali bercahaya.
“Putri.” Terdengar suara lembut dari samping kiri. Aku menoleh.
Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut lumayan panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat–sebahu dan disisir ke belakang serta ada tali kecil mengikatnya. Tidak sepucat Count, kurang lebih seperti warga Aibarab yang tinggi.
Ia mengenakan pakaian ungu tua dengan celana putih serta sepatu hitam hak tinggi. Sudah jelas dari kain yang ia kenakan, pria ini termasuk orang seperti Count Wynter.
“Siapa?” heranku. Kulirik kalungku yang bercahaya.
Pria itu menatap sekeliling, kulihat bayangan si Kembar mendekat. “Kalau ada bahaya, pergilah ke rumah nomor 41 dekat sini. Aku akan melindungimu.”
Ia pun pergi.
“Hai, Pelayan! Apa yang kalian bicarakan?” Delina melotot, lalu terdiam sejenak. “Oh, tidak penting lagi.”
Hm, dia baru saja membaca masa laluku.
“Ayo, kita telat!” Delina menarik tanganku. “Delisa, ayo!”
Kenapa Delisa tampak tegang?
“Awas!” Delisa mendorong kami berdua sebelum–
“AAARRRGGGHHH!”
“Tolong ...! Tolong ...!”
Aku berlari bersama si Kembar.
Aku tidak tahu siapa itu.
Atau makhluk macam apa yang mengejar kami.
Jeritan penduduk sekitar lebih keras dibandingkan di Desa Anba dulu. Mereka pun serta merta berhambur melarikan diri, saking paniknya hingga saling menginjak atau mendorong.
“Aduh!”
Sesuatu menarik kalungku.
Aku tertarik ke belakang.
Erangan pelan menggelitik bulu remang.
“Kyaaa ...!” Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Wajahnya hancur, kulitnya tampak terbakar dan sebagian meleleh. Baunya pun seperti sampah, barangkali peraduan tanah dan darah. Belum lagi bau napasnya yang seperti muntah.
Bruk!
Aku berjuang mendorongnya, meski tubuhku jauh lebih kecil.
Klik!
Tak peduli lagi, aku berlari meski kalungku jatuh.
“Reem!” Delina menarikku. Si Kembar jelas tidak bisa melawan.
“Ada apa tadi?” tanyaku.
Erangan itu saling menyahut. Tidak kusangka, dengan tubuh rapuh lagi busuk itu, mereka mampu berlari.
“Umiii ...!” Jeritan si Kembar menggema.
Aku tidak mampu berteriak, saking takutnya.
Sejengkal lagi, para mayat itu akan memangsa kami. Barangkali, itu yang kupikirkan. Sambil terus menggenggam tangan si Kembar, kami berlari ke tempat yang sekiranya aman.
Aku hendak masuk ke rumah warga dengan alasan darurat–
Prang!
“AAA ...!”
Tidak disangka, mereka masuk lewat jendela atau mengedor pintu hingga masuk. Jeritan dan erangan meneror seisi pasar.
“Kyaaa ...! Tolong-tolong-tolong!” Delisa lepas genggaman begitu sebuah tangan mencengkeram kakinya.
“Delisa–Aaa ...!” Baru hendak menolong saudarinya, tangan Delina ditarik salah satu mayat itu.
“Pelayan, bantu!” seru Delina.
Maaf, Delina. Aku pilih hidup.
Aku berputar, hendak lolos dari tangan-tangan itu.
“Argh ...!”
Mayat itu melesat ke arahku–
Krak!
Hampir saja gigi itu menyentuh wajahku. Kepalanya terpotong dan menggelinding. Aku pun menatap penyelamatku.
Pria itu.
Rambut putihnya disisiri angin. Hanya dengan beberapa tebas, sudah membelah puluhan mayat hidup yang mendekat.
Ya, aku akan menyebutnya mayat hidup saja. Meski tidak pasti apakah mereka hidup atau mati.
Pria itu mendesis, “Nisma Wynter.”
Nisma. Nama yang asing bagiku.
“Hei!”
Seorang gadis berdiri di depan kami sambil memegang sebuah gelas. Dalam sekali tatap, aku tahu dia pasti kakaknya si Kembar.
Nisma memiliki rambut hitam pekat seperti Count, sorot matanya yang biru bagai rembulan nan indah. Dia mengenakan daster lengan panjang kelabu dengan pita hitam sebagai penghias. Membuatnya tampak manis seperti saudarinya, Ariya dan si Kembar. Dia terlihat sedikit lebih tua dariku.
Pria berambut putih itu berdiri di depanku. Pedangnya yang bersimbol singa siap menebas.
“Hentikan!” desis pria itu. “Kamu menakuti semua orang.”
Nisma malah mendengkus, seakan dialah yang diganggu. “Apa, sih?”
“Kakak ... !” Jeritan si Kembar mengalihkan perhatian Nisma. “Tolong ...! Umi ...!”
Nisma berdecak. “Hei! Jangan sentuh saudariku!”
Mayat-mayat tadi keluar dari tanah, mereka sudah mencapai pinggang si Kembar dan entah apa niat berikutnya. Mendengar seruan Nisma, mereka pun melepas genggaman.
Si Kembar berlari ke arah Nisma.
“Kamu kenapa, sih?” sembur Delisa.
“Tidak lucu, Kak!” timpal Delina.
Nisma menunjuk gelasnya. Bentuknya sangat mirip dengan gelas para bangsawan. Warnanya kelabu dengan motif emas menghiasnya.
“Aku hanya mencoba-coba.” Nisma membela diri.
Kutatap sekeliling. Para mayat tadi tiba-tiba diam menatap Nisma, menunggu perintah.
Aku menunduk. Kini leherku tidak punya hiasan lagi.
“Kalungmu hilang?” tanya pria itu.
Aku mengiakan. Tidak ada niat di hati untuk mencarinya lagi. Tapi, aku jelas masih penasaran mengapa benda itu bercahaya ketika ia mendekat.
“Hei, Reem! Sini!” titah Delina. Ketika aku mendekat, dia menatap tajam pria itu. “Apa maumu?!”
“Kalian membahayakan orang lain,” balas pria itu.
“Aku hanya coba-coba!” tukas Nisma. “Apa salahnya?”
Pria itu, meski ditatap dan diperlakukan buruk oleh tiga anak-anak, ia tidak tampak marah atau kesal. Aku yakin ia sudah terbiasa.
“Sebaiknya kalian rapikan tempat ini.” Pria itu berpaling. “Sebelum Raja Khidir tahu.”
Kalimat itu berhasil membungkam mereka. Lantas, Nisma berpaling ke pasukannya dan menyeru mereka untuk berhenti.
“Rapikan! Rapikan! Jangan sampai Pak Tua itu tahu!”
Para mayat berhamburan memenuhi area, tapi tidak untuk menyerang melainkan merapikan kekacauan. Sejauh yang kulihat, tidak ada korban jiwa. Ya, tidak ada yang mati, tapi–
“Sudahlah,” ujar Delisa. “Kita pulang. Aku takut, tahu! Tinggalkan saja Nisma! Ayo, Reem!”
Mereka menyeretku bagai saputangan.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”