✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Kukerjapkan mata.
Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku.
Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu.
Bukan.
Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu.
Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!”
Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!”
Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.”
“Ingat-ingat, Hayya.”
Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Lalu ... Apa katanya?” tanyaku.Azya diam sejenak. “Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan.”“Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?”“Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya.”Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?“Permisi, Lian-chan, aku ke kamar.” Azya langsung meninggalkanku.***Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.“Tara!
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Sesuatu menangkap tubuhku. Aku membuka mata. Rupanya aku digendong seorang wanita berambut biru. Dia lalu menurunkanku. “Nenek!” seru Aoi. “Maaf, Lian.” Aku menatap wanita yang ternyata nenek dari Aoi. Wajahnya tidak menunjukkan kalau dirinya sudah tua, justru sebaliknya. “Te ... Terima kasih.” Aku menunduk. “Aku terlalu bersemangat.” Wanita itu mengelus rambutku. “Lain kali, hati-hati.” Hayya terpaku menatapku. Kulihat dia baru saja turun tanpa hambatan. Aku yang heran memanggil namanya. “Hayya?” Gadis itu malah lenyap seketika itu juga. Dia bahkan tidak menjerit atau mengeluarkan suara selain langkah kakinya yang sayup-sayup menyatu dengan udara. Aku berbalik dan hanya ada kami bertiga di hutan ini. “Ada apa?” Wanita itu menatap sekeliling. “Mungkin Pengalih-Rupa,” ujarnya. “Kalian bermain terlalu jauh, sebaiknya menginap di rumah kami.” Aku menatap s
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Itukah?”“Itu mereka!”Kami disambut dengan kerumunan begitu tiba di Desa Embi. Mereka berdiri depan rumah masing-masing seolah menunggu sedari tadi. Aku menunduk, takut akan tatapan tajam itu.“Itu Oruko-san!” Ada yang berseru.Takeshi terus melangkah dalam wujud naga."Mana rubah itu?"Hayya yang menyahut. "Sudah mati."“Kamu tidak melindunginya, he?” sahut seseorang. “Kamu ini penyihir! Gunakan sihirmu!”Hayya diam saja. Aku turut merasa tidak enak. Tidak mampu membalas ucapan mereka. Bibir Hayya gemetar sambil menggenggam erat rambut Takeshi.“Sudah,” ujar Takeshi. “Kyoki berhasil kubunuh, kita aman untuk sementara.”“Kamu terluka parah,” sanggah seseorang. “Apa anak itu belum juga tahu masa lalunya? Dia bahkan nyaris membunuhmu untuk kedua kalinya–”&ld
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Aku paham mengapa meragukan tindakan kami tadi. Mengapa tidak? Tanaman indah yang menghiasi kuil kini harus hancur lebur akibat tanganku. Yang tersisa hanyalah semak belukar yang acak-acakan."Itu ... Aku terburu-buru." Aku menunduk.Takeshi menghela napas. "Tidak apa-apa." Ia memang tidak marah, tapi aku masih merasa bersalah.Aku menunduk, membiarkannya menatap tanaman malang itu. Telingaku siap mendengar omelan dan hinaan.Takeshi mendehem, "Kita perlu ke Aibarab besok.""Untuk apa?""Selain membeli bunga baru, juga berdagang," jelas Takeshi. "Lagipula, Mariam ingin aku menemuinya di sana."Atau dia yang ingin menemuinya?Aku tahu, ia juga ingin menemui Count Wynter yang juga kakak tirinya, Pangeran Zayd. Kuharap aku akan bertemu Mariam di sana."Lanjutkan tidur kalian," ujar Takeshi. "Besok kita ke sana."***"Ayo, Lian!" Hayya menarik tanganku yang masih