Share

Wanita Berambut Putih - 5

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Pada tengah malam, kami keluar dari kamar secara mengendap-endap. Beruntung aku bisa berjalan tanpa mengeluarkan banyak suara berkat lantainya yang dilapisi karpet. Kami sengaja berjalan bertelanjang kaki demi mengurangi suara. 

“Dia ada di dapur,” bisik Mariam sambil meneruskan jalannya. 

Aku hanya membuntuti. Meski misi ini tampak mustahil, setidaknya kami berusaha menolong penduduk kota Saghra. 

Dapur letaknya cukup jauh, memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Anehnya, tidak ada Ariya atau suara mencurigakan meski kami jelas-jelas sedang menyelinap. 

Kakiku kesakitan. Aku tidak terbiasa berjalan terlalu lama, dulu hanya beberapa menit sambil menemani Ibu berjualan. Tapi rasa penasaran mengalahkan sakit, aku ingin melihat cara Ariya memasak ramuan. 

Kami menerobos masuk ke sebuah gudang yang terbuat dari kayu, kami akhirnya dapat mengintip di sela lubang-lubang di dinding. 

Mariam yang terlebih dahulu mengintip, lalu membiarkanku mengamatinya sendiri. Aku berusaha agar tidak bernapas terlalu berat akibat perjalanan panjang tadi.

Ariya sedang menjerang air sambil menaburkan sejumlah benda mirip garam kemudian mengaduknya. 

“La LA!  La...! LA–la... La... 💙” 

Kami dapat mendengar senandung penyihir itu. Suaranya sungguh tidak merdu, bahkan menyakitkan telinga. 

Mariam menutup kedua kupingnya dengan telapak tangan sementara aku berusaha mengabaikan suara itu. Ya, Ariya memang cantik, tapi tidak dengan suaranya.

Beberapa detik yang menyiksa akhirnya berakhir. Dia berhenti bersenandung dan aku bisa mengintip lagi. 

Kulihat Ariya menjauh entah untuk mencari sesuatu atau mengulur waktu. Saat semakin jauh, Mariam keluar dan berjalan ke dapur. 

“Hati-hati,” bisikku sepelan mungkin. 

Mariam membuang air yang baru dijarang lalu menggantinya dengan air biasa dari tas kecilnya. Tentu saja dia melakukannya dengan cepat sebelum Ariya datang.

Aku menghela napas lega. 

Di belakangnya berdiri Ariya. 

Mariam berniat berpaling.

Aku membuka mulut. “Ma–” 

“Um, Hiwaga?” sapa Ariya. “Kamu haus? 💙” 

“Ya, aku haus.” Mariam tetap tenang, meski rencananya hampir berantakan. 

Ariya mengambil segelas air lalu menyerahkannya kepada Mariam. 

“Kubawa ke kamar. Boleh?” tanya Mariam. 

“Baiklah.” Ariya jelas heran. Mungkin ini kali pertama dia melihat orang seperti itu.

Mariam kembali masuk ke gudang tanpa ketahuan lalu menjemputku. 

“Ayo,” ajaknya.

“Airnya?” Aku menatap gelas yang dipegangnya. “Kamu ‘kan, haus.” 

“Kamu percaya dengannya?” sahut Mariam. Dia menarik tanganku.

Kami masuk ke kamar, aku sedikit ketakutan sehingga terus menggenggam tangan Mariam. Ariya tampak tidak peduli karena dia tidak tampak ingin mengejar kami hingga ke kamar.

Mariam langsung membuang air itu lewat jendela.

“Baunya seperti teh melati, padahal tampak seperti air biasa,” ketus Mariam. “Untung tidak kuminum.” 

Aku menghela napas. “Hampir saja.” 

“Kita tetap berhasil,” kata Mariam. “Mari istirahat.” 

***

Keesokan paginya, Ariya kembali menatap kami dengan sorot heran. Aku tahu dia berusaha menutupinya dengan senyuman sambil menghidangkan sarapan.

Lagi-lagi, kami memilih makanan dan minuman tertentu. Jelas Ariya tampak semakin heran. Alasannya, kami tidak memilih makanan yang kami makan kemarin, ayam. Saat ayam yang sama dihidangkan, kami justru tidak memakannya. Padahal itu termasuk makanan kesukaanku. 

“Aku ada kejutan untuk kalian 💙” Ariya bangkit lalu pergi.

Ariya menyerahkan dua gelas berisi air yang tampak biasa saja. Aku tahu ini minuman malam itu. Melihat Mariam menegaknya tanpa ragu, aku ikut menegaknya hingga habis. 

Penyihir itu bangkit. “Berubahlah menjadi keledai!” 

Tidak terjadi apa-apa. 

Ariya jelas kebingungan. 

Detik demi detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Kami malah menatap Ariya dengan tatapan heran, dengan meski dalam hati mengejeknya. 

Menyadari kesalahan, Ariya langsung berdalih. “Kalian tidak pernah mendengar dongeng seperti itu?” 

“Belum,” jawabku. “Tolong ceritakan!” 

“Um, itu tentang seorang pemuda yang masuk ke area para penyihir lalu dikutuk menjadi keledai.” Ariya duduk. Dari wajahnya jelas dia gugup. Sepertinya Ariya tidak menduga kalau kutukannya gagal.

Mariam menatapnya dengan dingin. “Apa-apaan ini?” 

“Aku hanya ingin mendongeng!” kilahnya. “Biasanya kuceritakan pada tamu-tamuku💙” 

“Jadi ini yang kamu lakukan pada tamumu?” Mariam bangkit dari duduknya. “Mengubah mereka menjadi batu?” 

Ariya mengepalkan tangan sambil menatapnya tajam. 

Mariam menatapku demi menghindari sihirnya. “Ceritakan!” desaknya. “Atau aku yang mengubahmu!” 

Mariam pegang sebuah gelas dengan air merah.

Ariya menatapnya tajam. “Untuk apa? Bukan urusanmu!” 

Mariam mendekat sambil membawa gelas itu. “Ceritakan atau kamu yang jadi keledai!” 

Ariya mundur beberapa langkah. “Aku hanya bersenang-senang, itu saja. Apa salahnya?” 

Mariam berpikir sejenak. 

Mariam menyiram Ariya dengan gelas itu. “Jadilah gelas!” 

Aku menutup mata, membayangkan transformasi mengerikan.

Aneh. 

Tidak ada suara selain benda jatuh. 

Begitu kubuka mata, terlihat sebuah gelas berlapis emas dengan beragam ukiran. Ariya telah menjadi gelas.

Mariam meraih gelas itu. “Kyara, kita ambil hartanya!” 

***

Kami mengambil harta yang disimpan di istana sebanyak-banyaknya. Aku yang kurang paham soal barang mewah hanya memilih beberapa uang perak dan emas sementara Mariam mengambil banyak batu mulia. 

“Ambil semua, Kyara!” seru Mariam. “Kita tidak mungkin menemukan uang sebanyak ini nanti!” 

Aku langsung mengambil apa yang bisa kuraih lalu memasukkannya ke tas wanita itu. Kami mengemas barangnya di tas Mariam yang terlihat menyimpan lebih banyak barang. Entah apa yang disimpan.

Begitu keluar, penuh dengan seruan suka cita. Kutukan Ariya telah patah dan rakyatnya terbebas.

“Jadilah pemimpin baru kami!” 

“Kau pahlawan kami!” 

“Jangan pergi!” 

Mariam mengabaikan mereka sambil terus memacu kuda. Aku jelas heran dengan tingkahnya. 

Kami semakin jauh dari Kota Saghra tanpa pemimpin. Aku tidak keberatan jika Mariam menjadi pemimpin barunya. 

Kami semakin jauh dari Kota Saghra. Mariam masih bergeming, sementara kudanya terpaksa harus mengangkut beban tambahan. Berapa jumlah hartanya? 

“Mariam,” panggilku. “Kenapa tidak tinggal di sana? Rakyatnya jelas menyukaimu.” 

“Aku tidak peduli dengan mereka. Yang penting tugasku selesai,” ujar Mariam santai. 

“Tapi, kamu barusan berbuat baik!” kilahku. 

“Ya, dengan merampas harta orang jahat, aku tidak akan dianggap jahat oleh mereka.” 

Balasannya jelas membungkam mulutku. 

“Kalau begitu.” Aku mengubah topik. “Kita akan ke mana?” 

“Mungkin ke Aibarab menemui Khidir. Kita akan hidup di sana. Dengan uang ini, akan kubeli rumah baru dengan sekolah yang layak untukmu.” 

Aku terkejut sekaligus mendengarnya. Kukira hidupku hanya tentang perjalanan tanpa kepastian bersamanya. Apa jadinya jika Mariam meninggal di tengah jalan? Aku pasti tidak akan bertahan lama. Barangkali sudah dimangsa binatang liar. 

“Terima kasih,” ucapku tulus. “Aku belum pernah sekolah sebelumnya.” 

“Kamu beruntung bisa sekolah sedini ini,” sahut Mariam. “Rata-rata pendidikan di Shyr mahal. Mungkin hanya para pejabat yang bersekolah.” 

Mariam terus memacu kuda. Aku duduk di belakangnya sambil memeluk pinggangnya.

Tidak dapat kubayangkan apa jadinya aku tanpa Mariam. Kalau saja aku menolaknya sejak awal, mungkin tubuhku sudah dilahap kadal raksasa itu. Kini, dia tidak hanya penyelamatku. Tetapi juga ...

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status