✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali.
“Bagaimana?” tanya temannya.
“Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.”
“Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.”
“Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.”
“Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?”
“Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.”
“Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.”
“Terserah.”
Perdebatan mereka berakhir di situ.
Aku tidak paham soal kasta, yang pasti Count itu sedikit mendekati keluarga kerajaan. Juga punya sebidang tanah luas dan hubungan akrab dengan istana. Sebuah keberuntungan jika Mariam diterima bekerja di sana, padahal dari penampilannya dia bahkan terlihat tidak memadai, meski kasta kesatria sekalipun.
Aku semakin penasaran dengan sosok itu. Siapa sebenarnya Raja Khidir? Kenapa membutuhkanku?
“Ayo, Kyara!” ajak Mariam. “Kita pergi ke rumah baru kita.”
***
Rumah baru kami ternyata di rumah Count sendiri.
Rumahnya tampak tua dan angker. Mengapa tidak? Bahannya terbuat dari beton, belum lagi catnya yang kelabu tua, menambah kesan seram. Memangnya Count pikir warna seperti itu akan membuat rumah tampak berpenghuni? Ah, sudahlah.
Halaman depannya hanya terdapat gerbang tanpa tanaman hias, hanya ada rumput, sebagian sudah mati. Rumah ini terlihat terbengkalai, meski dihuni salah satu pria terkaya di Aibarab. Mungkin, ini bukti kalau Count sosok yang pelit?
Mariam tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya mengetuk pintu. Satu ketukan saja sudah menggema hingga terdengar dari luar.
Tok! Tok! Tok!
Begitu pintu dibuka, aku melihat wanita paling cantik yang pernah kulihat.
Rambutnya biru pucat dan diikat, mata biru seperti Mariam, tingginya bahkan melampaui kami berdua dan dia bisa saja terbentur pintu kalau tidak hati-hati. Wanita itu mengenakan gaun biru pucat hingga menutupi kedua kakinya. Di tangannya yang seputih susu, terlihat sebuah cincin melingkari jari manisnya. Sudah pasti dia istri Count.
“Aku Countess Wynter, panggil saja Margarita. Kamu yang bernama Hiwaga?” Dia menatap Mariam.
Mariam mengangguk. “Dan ini Reem, muridku.”
Countess Wynter menatapku dari ujung rambut hingga kaki. “Bagus, dia bisa menjadi teman bagi Delisa dan Delina.”
Dalam rumahnya bahkan lebih absurd dari luar, sangat megah dan bersih. Di tengahnya terdapat dua tangga menuju lantai dua. Ada banyak patung dan beragam bunga menghiasi ruangan. Countess Wynter berjalan menyusuri lorong menuju sebuah taman.
Tamannya tak jauh janggal dibandingkan bagian luar. Kalau di luar tidak ada tumbuhan selain rumput, di sini sangat banyak ditemukan tumbuhan indah serta wangi.
Mariam tampak tidak tertarik dan meneruskan langkah mengikuti Countess sementara aku berusaha mendekat dan mencium setiap bunga.
“Ini rumah kalian.” Countess menunjuk sebuah rumah mungil di ujung taman.
Memang tidak luas, tapi cukup untuk ditinggali dua orang. Saat masuk ke dalam, fasilitasnya cukup dan kami hanya tinggal mengisi lemari dengan pakaian dan harta.
Aku keluar untuk mengamati sementara Mariam dan Countess mengobrol.
Aku menyusuri bagian belakang rumah hingga sampai di jalan buntu. Anehnya, ada dinding yang membatasi antara rumah baru kami dengan dunia luar.
“Kenapa ada dinding?” tanyaku berhati-hati.
Countess tersenyum. “Tentu saja untuk keamanan. Kamu kira kami mengabaikan keselamatan kalian?”
“Ada apa di sana?” Aku mulai kepo.
“Hutan, itu saja.” Countess langsung mengalihkan topik. “Jadi, ini rumah kalian. Jadi, tidak repot keluar masuk ke rumah kami.”
“Terima kasih, Nyonya,” kata Mariam. “Apa tugas kami?”
Countess berpikir sejenak. “Kami hanya ingin tukang kebersihan di rumah dan mungkin teman bermain Delisa dan Delina. Oh, Reem juga bersekolah dekat sini?”
Mariam pun menjawab. “Rencananya.”
“Aku bisa langsung mendaftarkannya, tenang saja.” Countess lalu menatapku. “Kedua anak kembarku ingin bermain denganmu, umurnya sama sepertimu–oh, kamu cocok jadi pelayannya saja.”
Dua belas tahun? Tidak buruk.
“Baik, Reem, keduanya akan tiba beberapa jam lagi,” ujar Countess. “Kalian yang akrab, ya.”
***
Aku disuruh menunggu di ruang tamu sesuai perintah, sementara Mariam membersihkan rumah baru kami, meski sudah bersih dan rapi.
Sayup-sayup terdengar suara saling menyahut.
“Umi bilang bakal ada teman sekelas dan serumah untuk kita.”
“Aku bisa melihatnya kemarin. Dia gadis berambut hijau dan sedikit lebih rendah dari kita.”
“Umi memang perhatian, ya. Aku lihat di masa lalu ibunya anak itu dimakan monster.”
“Kasihan ya, berarti wanita berambut putih itu bukan ibunya.”
“Kulihat dia sedang duduk di ruang tamu.”
“Ayo, sambut!”
Di depanku berdiri dua gadis yang sangat mirip. Yang membedakan hanyalah warna rambut ; satu hitam campur biru dan saudarinya punya rambut lebih dominan biru pucat. Jelas itu perpaduan warna dari kedua orangtua mereka.
“Aku Delisa,” ujar yang berambut dominan hitam.
“Aku Delina,” sahut yang rambutnya dominan biru.
“Aku meramal masa depan,” ujar Delisa.
“Aku membaca masa lalu,” timpal Delina.
Si kembar memiliki postur dan penampilan yang sangat mirip. Rambut pendek, dengan poni dijepit jepitan rambut berbentuk berlian. Keduanya mengenakan pakaian sama, putih dengan rok pendek hitam, tapi juga memakai celana yang hitam hingga menutupi seluruh kaki.
Kini, giliranku memperkenalkan diri. “Aku Reem.”
“Kamu baru sekolah?” tanya Delina.
“Kamu jadi pelayan kami, ya,” timpal Delisa. “Kata Umi.”
Aku mengiakan. “Sekolah di mana?”
“Dekat sini,” balas Delisa.
“Pelajarannya seru!” timpal Delina.
“Pulangnya siang.”
“Kita bakal bermain sepulang sekolah, Pelayan.” Delisa menatapku sambil menyipitkan mata, seakan mengintimidasi.
“Hei, panggil dengan nama!” tegur Delina.
Aku diam saja. Jelas menjadi budak kedua anak ini.
Keduanya dengan kompak berseru, “Ayo, main!”
***
Seharian hanya ada ocehan si kembar yang memusingkan. Aku berusaha mengabaikan mereka tapi suara mereka selalu menghantui. Keduanya seakan tidak mau melepaskan, sok akrab, mengira kalau aku ingin bermain terus menerus.
Delina tidak berhenti mengoceh tentang masa laluku yang bahkan tidak penting untuk diceritakan, sementara Delisa ... Dia jauh lebih suram ketika menceritakannya.
“Kuperingati aja, ya, Reem. Wanita berambut putih itulah sumber hidupmu. Mending jaga jarak aja dengannya daripada nanti jadi budaknya. Aku sarankan kamu jangan mudah percaya.”
“Apa maksudmu?” sahutku skeptis.
“Wanita itu ingin menjadikanmu sebagai alat. Kamu sendiri tahu, kalau dia tidak mungkin menyelamatkanmu tanpa alasan.”
Aku menyanggah. “Tapi, itu perintah Raja–”
“Ah, dia bisa saja bohong! Intinya, menjauhlah dari orang seperti Mariam–ups.”
Aku terkejut. “Mariam? Siapa?” Aku berpura-pura tidak tahu demi melindunginya.
Delisa terengah. “Lu-lupakan–pokoknya menjauh darinya!”
“Bagaimana bisa?” sahutku. Dia yang menyelamatkan nyawaku selama ini. Masa ditinggalkan langsung?
Dari mana Delisa tahu bahwa namanya Mariam, bukan Hiwaga?
Pipi Delisa menggelembung. “Pokoknya, kamu jangan terlalu dekat dengannya. Kalau dia sampai menyukaimu, tamat sudah. Jadilah kamu budak wanita tua!”
“Memangnya kenapa?” sahutku. “Dia baik, kok.”
Ucapan Delisa membuat bulu kudukku meremang.
“Dia pencuri, penipu juga pembunuh. Jangan bilang nanti kamu bakal jadi budaknya tanpa paksaan.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Pikiranku tercampur aduk gara-gara Delisa. Memangnya benar? Apa Mariam selama ini berbahaya? Semua kebaikannya selama ini hanya demi dirinya sendiri? “Reem?” Mariam memanggilku dengan nama kedua. “Hei!” Lamunanku membuyar. Aku waktu itu tidak mendengar ucapannya, kukira dia bertanya apakah aku mulai dekat dengan para majikanku. “Tidak.” “Tidak apanya?” Mariam selesai melipat pakaian sementara aku yang membantunya justru ketinggalan. Duh, malunya! “Kalau diam terus, kapan selesainya?” Mariam terdengar kesal. “Cepat selesaikan bagianmu!” Aku bergegas merapikan baju. Meski terkesan ala kadar, setidaknya Mariam dengan sabar mengajariku cara melipatnya dengan rapi. Memerlukan waktu lebih dari setengah jam bagiku untuk melipat. Terpaksa Mariam turun tangan. “Malam ini, Count akan datang,” ujar Mariam. “Jaga sikap!” “Baik.” ***
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Reem ...!” Jeritan si Kembar menyakiti telingaku. Aduh, mereka lagi! “Ayo! Ayo! Sekolah!” Delina menyeretku. “Ayo, bawa tas kami!” Delisa melempar dua buah tas ke arahku. Buk! Aku menyambutnya, meski nyaris jatuh. Seberapa kuat mereka ini? “Ayo, Pelayan!” seru Delina. “Namanya Reem!” balas Delisa. “Nanti tersinggung dia!” Aduh, dua-duanya sama saja! “Ayo, Reem! Kamu makhluk hidup, ‘kan? Bisa berjalan? Ayo!” Aku ikuti arah jalan mereka. Aku teringat dengan pria berambut putih kemarin. Siapa dia? Kenapa kalungku memancarkan cahaya biru? “Reem?” Delina tampak menyadari sesuatu. “Kamu bertemu dengannya?” Dia terdengar geram. “Siapa pria berambut putih itu?” tanyaku. “Kenapa kalungku jadi bercahaya? Padahal ini hanya batu biasa.” Si Kembar saling tatap. “
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Nisma apa?!” Countess terdengar kaget mendengar kabar terbaru dari si Kembar. Mariam yang baru selesai menyapu menatap kami. Namun, tidak berkomentar. “Kalian tadi membentak Idris?” Pertanyaan itu tidak dibalas si Kembar. Countess pun mendekat dan menatap tajam si Kembar. “Siapa yang menyuruh Nisma bermain-main di depan umum?” “Nisma yang mau,” sahut Delisa. “Kami tadi hanya beli manisan,” timpal Delina. “Lalu, Reem disuruh diam di tempat.” “Kemudian Paman Idris datang.” “Lalu, entah kenapa ...” Delisa menggantung kalimatnya. “Nisma datang.” Delina menyambung. “Terus merusak suasana.” “Akhirnya terjadi kekacauan tadi.” “Maaf, Umi.” Si Kembar berkata sambil memeluk paha sang Ibu dengan suara memelas. Lalu, terdengar suara pelan Delisa. “Sepertinya Nisma mau bunuh Paman Idris.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku bertemu Ariya pagi itu. “Kamu anak baru?” sapanya. “Aku Ariya~ senang berjumpa denganmu💙” Rupanya, senjata makan tuan. Dia jelas lupa apa yang terjadi, bahkan barangkali melupakan Kota Saghra. “Aku Reem,” balasku. “Kamu ingat liontin yang kemarin Arsya kasih?” tanyanya. “Aku membutuhkannya, sekarang.” Aku hendak menolak. “Aku akan membelikanmu apa pun💙” ujarnya. “Bagaimana?” Apa pun? Ariya melanjutkan. “Bahkan, kalau mau, aku bisa mengajakmu ke tempat yang ajaib💙” Kalau yang itu, aku jelas tertarik. “Baiklah, Nona.” *** “Jadi, wanita berambut putih itu yang bernama Hiwaga?” Calvacanti membiarkanku duduk di ekornya yang melingkar. Ia menawar untuk mengobrol setrlah aku menyerahkan liontin milik Arsya. Aku mengangguk. “Berhati-hatilah,” pesannya. “Kamu jangan lengah.”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan. *** Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. “Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” “Pangeran
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer