Share

Keluarga Wynter – 2

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Mariam datang begitu temannya itu selesai mengucapkannya. Meski Mariam hanya pergi dalam waktu beberapa jam saja, aku bersyukur kalau dia lekas kembali. 

“Bagaimana?” tanya temannya. 

“Tidak buruk,” balas Mariam. “Aku bekerja sebagai pelayan keluarga penyihir.” 

“Bagus! Tepat sasaran!” Wanita itu menepuk bahu Mariam. “Itu lumayan untuk dua orang seperti kalian.” 

“Masalahnya, dia seorang bangsawan yang kita cari, Count Wynter.” 

“Lalu, kenapa diterima?” tanya Temannya Mariam. “Bukannya upah dari Safar sudah cukup?” 

“Ini bagian dari tugasku.” Mariam menatapnya dingin. “Kamu baru saja menyebut Raja dengan nama depan seakan dekat? Sahabat karibnya saja masih memanggil dengan nama belakang.” 

“Dia terlalu formal,” balas Temannya Mariam. “Lagi pula, toh, Safar itu gaul. Tidak pandang kasta.” 

“Terserah.” 

Perdebatan mereka berakhir di situ. 

Aku tidak paham soal kasta, yang pasti Count itu sedikit mendekati keluarga kerajaan. Juga punya sebidang tanah luas dan hubungan akrab dengan istana. Sebuah keberuntungan jika Mariam diterima bekerja di sana, padahal dari penampilannya dia bahkan terlihat tidak memadai, meski kasta kesatria sekalipun. 

Aku semakin penasaran dengan sosok itu. Siapa sebenarnya Raja Khidir? Kenapa membutuhkanku? 

“Ayo, Kyara!” ajak Mariam. “Kita pergi ke rumah baru kita.” 

***

Rumah baru kami ternyata di rumah Count sendiri. 

Rumahnya tampak tua dan angker. Mengapa tidak? Bahannya terbuat dari beton, belum lagi catnya yang kelabu tua, menambah kesan seram. Memangnya Count pikir warna seperti itu akan membuat rumah tampak berpenghuni? Ah, sudahlah. 

Halaman depannya hanya terdapat gerbang tanpa tanaman hias, hanya ada rumput, sebagian sudah mati. Rumah ini terlihat terbengkalai, meski dihuni salah satu pria terkaya di Aibarab. Mungkin, ini bukti kalau Count sosok yang pelit? 

Mariam tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya mengetuk pintu. Satu ketukan saja sudah menggema hingga terdengar dari luar. 

Tok! Tok! Tok! 

Begitu pintu dibuka, aku melihat wanita paling cantik yang pernah kulihat. 

Rambutnya biru pucat dan diikat, mata biru seperti Mariam, tingginya bahkan melampaui kami berdua dan dia bisa saja terbentur pintu kalau tidak hati-hati. Wanita itu mengenakan gaun biru pucat hingga menutupi kedua kakinya. Di tangannya yang seputih susu, terlihat sebuah cincin melingkari jari manisnya. Sudah pasti dia istri Count. 

“Aku Countess Wynter, panggil saja Margarita. Kamu yang bernama Hiwaga?” Dia menatap Mariam. 

Mariam mengangguk. “Dan ini Reem, muridku.” 

Countess Wynter menatapku dari ujung rambut hingga kaki. “Bagus, dia bisa menjadi teman bagi Delisa dan Delina.” 

Dalam rumahnya bahkan lebih absurd dari luar, sangat megah dan bersih. Di tengahnya terdapat dua tangga menuju lantai dua. Ada banyak patung dan beragam bunga menghiasi ruangan. Countess Wynter berjalan menyusuri lorong menuju sebuah taman. 

Tamannya tak jauh janggal dibandingkan bagian luar. Kalau di luar tidak ada tumbuhan selain rumput, di sini sangat banyak ditemukan tumbuhan indah serta wangi. 

Mariam tampak tidak tertarik dan meneruskan langkah mengikuti Countess sementara aku berusaha mendekat dan mencium setiap bunga. 

“Ini rumah kalian.” Countess menunjuk sebuah rumah mungil di ujung taman.

Memang tidak luas, tapi cukup untuk ditinggali dua orang. Saat masuk ke dalam, fasilitasnya cukup dan kami hanya tinggal mengisi lemari dengan pakaian dan harta.

Aku keluar untuk mengamati sementara Mariam dan Countess mengobrol.

Aku menyusuri bagian belakang rumah hingga sampai di jalan buntu. Anehnya, ada dinding yang membatasi antara rumah baru kami dengan dunia luar.

“Kenapa ada dinding?” tanyaku berhati-hati.

Countess tersenyum. “Tentu saja untuk keamanan. Kamu kira kami mengabaikan keselamatan kalian?” 

“Ada apa di sana?” Aku mulai kepo. 

“Hutan, itu saja.” Countess langsung mengalihkan topik. “Jadi, ini rumah kalian. Jadi, tidak repot keluar masuk ke rumah kami.” 

“Terima kasih, Nyonya,” kata Mariam. “Apa tugas kami?” 

Countess berpikir sejenak. “Kami hanya ingin tukang kebersihan di rumah dan mungkin teman bermain Delisa dan Delina. Oh, Reem juga bersekolah dekat sini?” 

Mariam pun menjawab. “Rencananya.” 

“Aku bisa langsung mendaftarkannya, tenang saja.” Countess  lalu menatapku. “Kedua anak kembarku ingin bermain denganmu, umurnya sama sepertimu–oh, kamu cocok jadi pelayannya saja.” 

Dua belas tahun? Tidak buruk. 

“Baik, Reem, keduanya akan tiba beberapa jam lagi,” ujar Countess. “Kalian yang akrab, ya.” 

***

Aku disuruh menunggu di ruang tamu sesuai perintah, sementara Mariam membersihkan rumah baru kami, meski sudah bersih dan rapi. 

Sayup-sayup terdengar suara saling menyahut. 

“Umi bilang bakal ada teman sekelas dan serumah untuk kita.” 

“Aku bisa melihatnya kemarin. Dia gadis berambut hijau dan sedikit lebih rendah dari kita.” 

“Umi memang perhatian, ya. Aku lihat di masa lalu ibunya anak itu dimakan monster.” 

“Kasihan ya, berarti wanita berambut putih itu bukan ibunya.” 

“Kulihat dia sedang duduk di ruang tamu.” 

“Ayo, sambut!” 

Di depanku berdiri dua gadis yang sangat mirip. Yang membedakan hanyalah warna rambut ; satu hitam campur biru dan saudarinya punya rambut lebih dominan biru pucat. Jelas itu perpaduan warna dari kedua orangtua mereka.

“Aku Delisa,” ujar yang berambut dominan hitam. 

“Aku Delina,” sahut yang rambutnya dominan biru. 

“Aku meramal masa depan,” ujar Delisa. 

“Aku membaca masa lalu,” timpal Delina. 

Si kembar memiliki postur dan penampilan yang sangat mirip. Rambut pendek, dengan poni dijepit jepitan rambut berbentuk berlian. Keduanya mengenakan pakaian sama, putih dengan rok pendek hitam, tapi juga memakai celana yang hitam hingga menutupi seluruh kaki. 

Kini, giliranku memperkenalkan diri. “Aku Reem.” 

“Kamu baru sekolah?” tanya Delina. 

“Kamu jadi pelayan kami, ya,” timpal Delisa. “Kata Umi.” 

Aku mengiakan. “Sekolah di mana?” 

“Dekat sini,” balas Delisa. 

“Pelajarannya seru!” timpal Delina. 

“Pulangnya siang.” 

“Kita bakal bermain sepulang sekolah, Pelayan.” Delisa menatapku sambil menyipitkan mata, seakan mengintimidasi.

“Hei, panggil dengan nama!” tegur Delina.

Aku diam saja. Jelas menjadi budak kedua anak ini. 

Keduanya dengan kompak berseru, “Ayo, main!” 

***

Seharian hanya ada ocehan si kembar yang memusingkan. Aku berusaha mengabaikan mereka tapi suara mereka selalu menghantui. Keduanya seakan tidak mau melepaskan, sok akrab, mengira kalau aku ingin bermain terus menerus.

Delina tidak berhenti mengoceh tentang masa laluku yang bahkan tidak penting untuk diceritakan, sementara Delisa ... Dia jauh lebih suram ketika menceritakannya. 

“Kuperingati aja, ya, Reem. Wanita berambut putih itulah sumber hidupmu. Mending jaga jarak aja dengannya daripada nanti jadi budaknya. Aku sarankan kamu jangan mudah percaya.” 

“Apa maksudmu?” sahutku skeptis. 

“Wanita itu ingin menjadikanmu sebagai alat. Kamu sendiri tahu, kalau dia tidak mungkin menyelamatkanmu tanpa alasan.” 

Aku menyanggah. “Tapi, itu perintah Raja–” 

“Ah, dia bisa saja bohong! Intinya, menjauhlah dari orang seperti Mariam–ups.” 

Aku terkejut. “Mariam? Siapa?” Aku berpura-pura tidak tahu demi melindunginya. 

Delisa terengah. “Lu-lupakan–pokoknya menjauh darinya!” 

“Bagaimana bisa?” sahutku. Dia yang menyelamatkan nyawaku selama ini. Masa ditinggalkan langsung?

Dari mana Delisa tahu bahwa namanya Mariam, bukan Hiwaga? 

Pipi Delisa menggelembung. “Pokoknya, kamu jangan terlalu dekat dengannya. Kalau dia sampai menyukaimu, tamat sudah. Jadilah kamu budak wanita tua!” 

“Memangnya kenapa?” sahutku. “Dia baik, kok.” 

Ucapan Delisa membuat bulu kudukku meremang. 

“Dia pencuri, penipu juga pembunuh. Jangan bilang nanti kamu bakal jadi budaknya tanpa paksaan.”

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status