Share

Kemuliaan Hati Sari

Dua hari berlalu. Sari merasa sudah lebih baik. Ia menghampiri meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. 

Orang tuanya sama sekali tidak membahas perihal masalah ia dan Jojo. Ibu Ani pun belum bertanya lagi ke Ibu Ning. Jadi orang tuanya belum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Mereka membiarkan Sari untuk menenangkan diri dan bercerita jika sudah siap. 

Namun, hari ini Sari berniat membuka obrolan.

"Mah, Pah. Maafin Sari, ya? Sari nggak bisa lanjut sama Mas Jojo."

Keduanya menatap anak tunggal mereka. Ibu Ani hanya mengangguk. 

"Ternyata kita tidak sejalan. Maaf Sari nggak bisa cerita jelasnya."

Sari tidak mau menceritakan keburukkan Jojo. Bagaimanapun, Jojo adalah sahabatnya. Lelaki baik yang pernah ia kenal. Masalah kesalahan yang dibuatnya, cukup Sari yang merasakan sakit dan Tuhan yang Maha Mengetahui. 

Selesai sarapan, Sari kembali ke kamar untuk mengambil tasnya. Namun, terdengar suara tamu datang di lantai bawah. Suara yang tak asing baginya. 

Sari segera turun dan menghampiri sumber suara. Kedua orang tua Jojo sudah duduk di ruang tamu bersama orang tuanya. Tanpa mengingat rasa sakit yang Jojo tinggalkan, Sari tetap menghormati kedua orang tua Jojo. 

Ia menghampiri, mencium takzim punggung tangan mereka. 

Mata Ibu Ning sudah berkaca-kaca melihat Sari. Ingin ia memeluk gadis itu dan meminta maaf. Bahkan rasa malu pun menyelimuti untuk mengatakan di depan orang tua Sari. 

Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Ibu Ning angkat bicara masalah kedatangannya. Berulang kata maaf terucap yang membuatnya banjir air mata. Seolah tidak ada kata lain lagi yang bisa terucap. Terkunci oleh malu. 

Sari yang duduk di hadapannya, berpindah ke sebelah Ibu Ning. Memeluk. Air mata mengalir deras. Sari paham, wanita paruh baya itu pasti malu dengan apa yang Jojo lakukan. Namun, hati seorang ibu pasti tidak akan meninggalkan anaknya. Mereka selalu berpihak di barisan anak-anaknya. 

"Mungkin Bapak dan Ibu sudah dengar dari Sari mengenai kesalahan Jojo. Saya sebagai ibunya, meminta maaf yang sebesar-besarnya."

Sari memeluk lagi dan berbisik, "Bu, jangan ceritakan keburukan Mas Jojo. Orang tua Sari tidak tahu." 

Sari melepas pelukkan. Tersenyum. Berbeda dengan tatapan Ibu Ning yang tampak terkejut mendengar ucapan Sari.

Ibu Ning semakin kesal oleh sikap Jojo yang tega menyakiti gadis seperti Sari. Ia gadis yang pandai menjaga rahasia rumah tangga, menjaga nama baik suami dan keluarganya. Namun, Ibu Ning sudah tidak menaruh banyak harapan. 

Pasrah dan tahu diri atas kesalahan yang Jojo lakukan. Sudah pasti membuat Sari tidak mau melanjutkan hubungan. Jojo dan keluarga telah berunding, sepakat ikhlas dengan segala keputusan Sari. 

"Ibu, Bapak, Sari juga mau minta maaf. Jika ada salah. Sampaikan juga salam untuk Mas Jojo, bahwa Sari sudah ikhlas dan memaafkannya."

"Nak Sari, apa boleh kita bicara berdua?" tanya Ibu Ning. 

Sari setuju dan mengajak Ibu Ning ke kamarnya untuk berbicara. Ibu Ning hanya ingin memperjelas masalah Erika. Bahwa gadis itu tidak hamil. Sari hanya diam menyimak. Ia tidak bisa memberi jawaban. Sudah terlalu sakit. 

"Sekarang Ibu serahkan semua sama kamu. Jika memang harus berakhir, tidak apa. Kami terima. Semoga kelak kamu mendapatkan jodoh yang terbaik. Kamu gadis baik dan cocok mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Jojo," ucap Bu Ning. 

Tangisnya tak henti. Sari pun ikut sedih dan lukanya terbuka lagi. Baru hari ini ia merasa lebih baik dan cukup melupakan. Namun, kembali semua bayang Jojo terlintas. 

"Bu, apa boleh Sari pikirkan lagi masalah ini? Beri Sari waktu."

"Pasti. Kami menunggu. Apapun jawaban darimu. Tidak usah terburu-buru. Mantapkan saja hatimu dulu."

Tak lama mereka kembali ke ruang tamu dan Sari berpamitan untuk berangkat kerja. 

***

Sari merasa waktu berjalan sangat lambat. Setiap saat ia seperti terjebak oleh waktu yang seolah berhenti. Namun, ia harus segera memberi jawaban. Agar semua selesai dan jelas. 

Sepulang kerja, Sari mendapati ibunya yang sedang merapikan tanaman di teras rumah. 

"As-salamu 'alaikum," ucap Sari

Ibu Ani menjawab salam sambil merapikan tanamannya. Lalu, anak tunggalnya itu mencium takzim punggung tangannya dan duduk di bangku teras.

"Menurut Mama gimana baiknya?" tanya Sari tanpa basa-basi. 

Ibu Ani menghentikan aktivitasnya. Berjalan menghampiri bangku di sebelah Sari. Sejenak menatap mata Sari dengan senyum simpul. 

"Setiap orang yang mau menikah pasti ada saja cobaannya. Orang bilang, ini baru permulaan dari awal sebuah hubungan. Mengapa? Karena rintangan berikutnya akan dimulai lagi setelah menikah. Mungkin jauh lebih menguras hati." Sari mengangkat satu alisnya. Mencoba memahami maksud perkataan ibunya.

"Tapi, Mama dan Papa tidak pernah terlihat memiliki masalah selama ini. Rumah tangga kalian sangat harmonis."

"Itukan yang kamu lihat. Papamu itu, lelaki sabar yang selalu mengalah pada Mama. Ia selalu bilang, Mama boleh marah tapi jangan pernah di depan kamu." Ibu Ani tersenyum. 

Sari tidak habis pikir dengan keharmonisan orang tuanya yang ternyata juga memiliki masalah. Ia selalu merasa beruntung memiliki orang tua seperti mereka, saat ada teman atau orang lain menceritakan tentang orang tuanya yang bertengkar, atau sudah berpisah. Namun, Sari baru tahu semua sekarang. Itu hanya cara orang tuanya menjaga anaknya dan memberikan contoh. 

"Lalu waktu Mama sama Papa mau menikah, apa kalian punya masalah juga?" Ibu Ani mengangguk. Lalu, memiringkan tubuhnya, menghadap Sari yang duduk di sebelahnya terbatas oleh meja. 

"Mama punya mantan pacar, cinta pertama. Dia datang melamar Mama. Eyang Kakung sangat suka dengan kepribadiannya dan mau Mama menerima lelaki itu. Tapi, Eyang Putri marah. Mereka bertengkar hingga saling diam selama empat hari."

"Kenapa Eyang Putri nggak setuju, Ma?"

"Karena Papa kamu sudah lebih dulu melamar. Tiga minggu sebelum lelaki itu. 'Pamali! Kita sudah menerima lamaran orang lain, lalu membatalkannya dan menerima yang lain!' Eyang Putri teriak begitu ke Eyang Kakung. Mama cuma bisa diam saja."

"Jadi, pamali, Ma, menolak atau membatalkan pernikahan?"

"Beda kisah, beda jawaban. Kalau Mama sama Papa jelas, karena sudah dilamar duluan. Kalau kamu, Mama tidak tahu masalah jelasnya," ucap Ibu Ani memancing Sari agar mau bercerita. 

Namun, anaknya kekeh. Ia tetap menutupi kesalahan Jojo. Bukan karena masih cinta. Akan tetapi, ia tidak mau orang tuanya ikut sedih mengetahui Jojo memiliki wanita lain dan telah berhubungan layaknya pasangan suami-istri. 

Perkataan Ibu Ani semakin membuat Sari bingung. Antara melanjutkan hubungan atau tidak. Sungguh, ia tidak tega melihat wajah kedua orang tua Jojo tadi. Tangisnya tertahan dengan malu yang menyelimuti. Mengapa mereka harus tersakiti, padahal tidak berbuat apapun. Jojo yang harusnya malu. 

"Mama dan Papa setuju dengan apapun keputusan Sari?" Bu Ani mengangguk. Ia mengelus punggung tangan Sari. 

"Sar, kalau kamu mau batalkan, jangan khawatir masalah deposit ini-itu yang akan hangus jika kita batal mengadakan acara. Uang bisa dicari lagi. Tetapi kebahagiaan tidak bisa dibeli. Begitu pun ketika memilih lanjut, kamu harus terima dengan ikhlas kesalahan yang Jojo lakukan lalu. Berdoa meminta sama Tuhan agar Jojo diberi jalan yang lurus. Bisa menjadi imam yang baik. Apapun keputusan yang kamu ambil, pesan Mama, jangan pernah menyesal."

Sari menahan tangisnya. Sedangkan Bu Ani, mengelus punggung tangan Sari. Mencoba menguatkan putri tunggalnya. 

"Ma, makasih, ya. Selalu mendukung Sari."

Tangis Sari tak tertahan lagi. Segera tumpah di pelukan Bu Ani. Setidaknya sekarang ia lega, mendengar ucapan ibunya yang sudah ikhlas dengan apapun keputusannya. Tinggal menunggu waktu, untuk berserah diri lagi kepada Tuhan. 

"Oh, ya, Ma, terus mengapa Mama mau menikah dengan Papa? Kalian sempat pacaran?"

Sari menghapus bulir bening yang tertinggal di pipi. Lalu dengan semangat mendengarkan kisah orang tuanya. Mungkin dari pengalaman orang tuanya ia bisa belajar mengambil keputusan yang tepat. 

"Ya, pacaran. Tidak sampai tiga bulan lalu Papa melamar. Mantan Mama tidak tahu, dipikirnya Mama masih jomlo. Makanya dia mau ajak balikan dengan menikah. Disini, kali pertama Mama melihat kedua orang tua Mama bertengkar hingga tak bicara. Betapa dilemanya."

"Terus, Ma?"

"Mama mulai jatuh cinta sama Papa. Tetapi, cinta pertama begitu banyak meninggalkan kenangan manis. Jadi, Mama cuma bisa berdoa. Hanya Tuhan yang mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Begitu pun dengan kamu, tanyakan pada hati dan diskusikan masalah ini kepada yang Maha Mengetahui. Nanti, yang akan menjalani kamu. Mama tidak mau salah ucap dengan pendapat Mama sendiri. Tenangkan diri, lalu memohon," ucap Bu Ani sambil menunjuk ke arah atas. 

Bersambung…. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status