Sepanjang perjalanan ke kantor, Nadya tidak hentinya mengulum senyum, rencana yang telah dia buat sepertinya berhasil, dia sengaja mengcopy sepenggal bait puisi milik sang pujangga yang ternama, lalu di akhir puisi Nadya sengaja memberi inisial nama I M, agar Atun mengira itu Ibrahim, dan sengaja juga dia menyuruh Atun ke kamarnya untuk mengambil flashdisk agar Atun melihat puisi tersebut seolah-olah tanpa sengaja, semua sudah Nadya atur sedemikian rupa. Sudah berulang kali Nadya menangkap basah Atun sedang menatap dalam pada Ibrahim, awalnya dia merasakan ada yang aneh pada diri Atun, perasaan Nadya tidak enak jika melihat gelagat Atun, sampai pada akhirnya Nadya melihat sendiri Atun memandang Ibrahim cukup lama, sengaja dia tidak menegur karena belum memiliki bukti yang cukup kuat. Pernah suatu malam, Atun sengaja membuatkan Ibrahim teh dan hendak mengantarkan ke ruangan kerja Ibrahim, tapi karena kemunculan Yati secara tiba-tiba, Atun berkilah jika ingin membuatkan Yati teh, deng
"Yatiii!” Ibu mertua memanggilku dengan suara lantang dan memekik, tergopoh tungkai kaki ini menghampiri. “Dari mana saja kamu, hah?! Ini cepat beresin rumah berantakan semua!” titah Bu Anik– mertuaku dengan wajah bengisnya. “Tadi sudah saya bersihkan, Bu, tapi anak-anak Kak Mila yang berantakin lagi," ucapku gugup sambil meremas ujung baju kaos yang sedang aku kenakan. “Jangan banyak alasan! Ayo, beresin lagi!" Dengan mata melotot Bu Anik berteriak memberi perintah. "Ba … baik, Bu," ucapku lagi dengan nada suara yang masih gugup dan takut. "Kamu itu, udah numpang hidup di sini, harusnya tahu diri, jangan sampai Arjuna menceraikan kamu, dan balik lagi kamu ke kampung lalu jadi kuli di ladang orang! Dasar menantu nggak tahu diri, udah jelek, bodoh, dan mandul lagi!" cecar ibu mertua tanpa perasaan. Gusti Allah. Perih rasanya hati ini ... dengan hati yang terluka, aku membersihkan lagi rumah mertua, iris mata ini membayang dan dalam hitungan detik bulir air mata sudah jatuh ke a
‘Aku harus segera pergi dari sini, sebelum Mas Arjuna memukulku’ batin ku sambil mengemasi barang-barangku.Tangan ini bergerak cepat memasukkan pakaian ke dalam tas yang dulu aku bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, aku kumpulkan rasa berani dari ancaman Mas Arjuna, tapi kalau aku terus-terusan merasa takut, mereka akan terus mengintimidasi mental dan jiwaku. Aku mendengar mertuaku menangis meraung-raung penuh drama. Padahal, masih melekat ingatan di kepalaku, dia juga pernah mencocol mulutku pakai sambal, saat aku ketiduran setelah menyetrika pakaian mereka yang menggunung.Setelah selesai berkemas dan sudah berganti pakaian, aku menuju pintu keluar. Sebelum keluar, tangan yang bekas sambal tadi kusapukan di baju Mas Arjuna yang tersusun rapi di lemari. Biar saat dia memakai baju yang terkena sambal, merasakan sensasi hangat terbakar di kulitnya. Agak konyol, tetapi biar saja karena dia juga sering membuatku sakit hati.Kubuka pintu kamar, seketika semua mata tert
Mas Arjuna dan Bu Anik seolah tidak percaya dengan apa yang barusan aku ucapkan. Mereka berpikir aku wanita yang lemah dan hanya mengandalkan uang pemberian suami, tidak mungkin meminta cerai dari Mas Arjuna. "Aku tidak akan menceraikan kamu, Yati?! Kamu harus balik lagi ke rumah!" teriaknya. Aku bergidik ngeri membayangkan harus balik ke rumah yang sudah seperti ne*aka itu. Seketika diri ini meng*muk, aku menghampiri Mas Arjuna, tanpa terduga olehnya, kukuku sudah tert*ncap di kulitnya, lalu tak lupa, aku pun menghadiahi sebuah tend*ngan telak di daerah terlarangnya.Aku bagaikan monster yang mengamuk bertarung melawan musuh. Warga memegangi kedua tanganku, tetapi aku terus berontak dengan sekuat tenaga. Ingin rasanya menc*bik-c*bik wajah Mas Arjuna, dia ingin aku lebih lama lagi tersiksa di rumah ibunya. "Lihatlah dia ... begitu kurang ajarnya, kepada suaminya!?" teriak Bu Anik "Sudah gila, dia,” lanjutnya lagi sembari mencebikkan bibirnya.Rasanya ingin kuc*kari wajah Bu Anik,
"Yati ...Yati ...."Aku sudah setengah sadar, ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku. Kurasakan juga, sebuah tangan lembut membelai rambut. Dengan mata yang masih berat, aku memaksa mataku terbuka."Bu ... aku di mana?" ucapku berbisik, setengah memicingkan mata karena silau.Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Aku bingung dengan suasana yang masih asing, lalu mencoba untuk duduk di pinggiran kasur, dengan dibantu oleh Bu Sarti.“Kamu istirahat dulu, Nak, kamu lagi di rumah Ibu. Sementara kamu di sini dulu,” ucapnya ramah sambil menyunggingkan senyum."Ini ada teh dan bubur, kamu makanlah dulu tadi kamu pucat sekali," ucap Bu Sarti penuh dengan kasih sayang.Aku teringat belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam lambung. Karena kalau aku kedapatan makan sebelum acara arisan selesai, Bu Anik pasti sudah berteriak dengan sadis dan brutal.Segala caci maki lepas bebas dari mulutnya untukku.Walau dengan rasa malu, aku menghabiskan semangkuk bubur ayam dan teh hangat
Isi dalam perut ini keluar semua, aku merasa mual sekali, kepalaku pusing mencium aroma sambal tadi.Bu Sarti menghampiri dan memapahku ke sofa di bantu oleh Mbok Darmi"Kamu kenapa, Nak?" Bu Sarti menatapku dengan ekspresi prihatin."Tidak tahu, Bu, tiba-tiba aku mual mencium bau sambal tadi, biasanya tidak pernah seperti ini, Bu.”Aku memijit pelan kepala yang terasa pusing. Mbok Darmi membuatkan teh, lalu memijat kaki ini.Diperlakukan sangat istimewa seperti itu, membuat aku merasa sungkan padahal keadaanku saat ini memang butuh pertolongan."Atau jangan-jangan, Yati hamil," ucap Mbok Darmi.Degh. Ada perasaan yang menjalar di hati saat Mbok Darmi berkata seperti itu. Entahlah perasaan apa, aku juga masih meraba. "Nanti siang kita coba ke klinik dokter.Ibu juga khawatir kemarin kamu pingsan dan sekarang muntah-muntah," ucap Bu Sarti.Walaupun khawatir dengan kondisi diri sendiri, tapi melihat kepedulian keluarga ini, terasa damai. Hangat sekali keluarga ini, aku begitu nyaman
Bu Sarti menggenggam tanganku untuk menguatkan, lalu dia berjalan menuju pintu dan membukanya. “Silakan masuk, Bu Anik,” ucap wanita yang telah banyak berjasa padaku.Bu Anik pun memasuki ruang tamu diikuti oleh Kak Mila.“Ada apa datang ke sini, Bu?" Dengan sedikit rasa takut, aku memberanikan diri untuk bertanya terlebih dahulu.“Ini rumah Bu Sarti, tidak seharusnya kau bertanya, Buluk!” bentaknya.“Eh, Yati, baru sebentar saja di sini sudah seperti tuan rumah gayamu, ya,” sambung kak Mila.“Hati-hati, Bu Sarti, mending anak ini diusir saja daripada bikin beban di rumah ini.” Sepertinya tidak puas mungkin rasanya, kalau kedua orang itu tidak menyakiti perasaanku.Astagfirullah, apalagi mau mereka. Tidak bisakah aku lepas dari mereka dan hidup dengan tenang? batinku menggerutu.“Sudah, jangan ribut di sini!” sentak Bu Sarti menghentikan ejekan mereka terhadapku."Ayo, duduk dulu, Bu Anik, ada apa gerangan datang ke rumah saya malam-malam begini?” tanya Bu Sarti setelah keduanya dudu
Aku bersiap pulang ke kampung halaman, Bu Sarti sudah memesan travel menuju kampung ku, butuh waktu tujuh jam perjalanan."Yati sebelum travelnya datang, sebaiknya kita makan dulu," ajak Bu SartiSetelah sarapan dan meminum vitamin penguat kandungan kami menunggu mobil yang akan membawaku ke kampung halaman, datang.Tin. Tin. Suara klakson berbunyi, aku mengintip dari jendela, mobil travel sudah parkir di halaman rumah Bu Sarti, kami segera menaiki minibus tersebut."Hei, tunggu!" teriak Bu Anik dia menyambar tanganku dan menariknya. Aku hampir terjatuh untung saja tangan ini dengan cepat berpegangan pada besi dekat pintu travel tersebut."Apa-apaan, sih, Bu!" teriakku kesal. "Pokoknya kamu tidak boleh pulang," ucapnya sambil memegangi pergelangan tanganku."Bu ... tolonglah, apalagi yang Ibu inginkan, izinkan aku pergi, Bu," ucapku memelas."Setelah melahirkan baru kamu boleh pulang dan bayimu tidak boleh kau bawa ke kampung," ucapnya lagi. "Bu, aku tidak ingin berdebat, travel i