"Sebelumnya kenalan dulu, nama saya Nazil." "Kalau saya, Rahman." Kedua pria asing itu memperkenalkan diri pada Atun, begitu juga dengan Atun, walaupun merasa sedikit jijik, Atun menyambut uluran tangan kedua pria itu. "Sepertinya anda punya masalah," ucap Nazil, sorot matanya masih tajam memandang Atun, kadang pandangan itu berhenti di bagian aset Atun di bagian depan, rasa tidak nyaman menghampiri, tapi karena saat ini dia butuh partner untuk membantunya melenyapkan Yati, dia berusaha setenang mungkin. "Jika kalian berhasil melenyapkan wanita ini, imbalan begitu besar, dia istri dari pengusaha sukses, aku ingin kalian melenyapkan nyawa wanita itu." "Perkara yang mudah bagi kami untuk melenyapkan nyawa orang, tapi, semua itu tidak gratis dan butuh strategi yang matang, agar kita semua bisa lolos dari hukum." ucap Nazil, sepertinya pria berkulit tambun itu yang lebih dominan dari pada Rahman."Saya sudah bilang, akan ada imbalan yang gede, 50 juta ringgit? 100 juta ringgit? Semua
Saat Atun lagi bersantai dan memainkan ponselnya di atas kasur, sebuah pesan masuk melalui benda pipih yang sedang Atun mainkan, dengan tidak sabaran wanita itu melihat isi pesan yang masuk. "Atun sayang, coba kirimkan foto Yati, dan besok jam tiga sore kamu saya tunggu di cafe kemarin, kamu ceritakan jadwal dan kegiatan Yati, biar saya bisa atur rencana untuk membunuhnya, setelah itu, besok saya ingin lagi kita melakukan seperti tadi, siapkan stamina." Antara senang dan benci Atun menerima pesan dari Nazil, senang karena ada yang ingin membantunya melenyapkan Yati, dan benci karena pria itu ingin kembali mencicipi tubuhnya. Bukankah untuk mencapai sesuatu, harus ada perjuangan dan pengorbanan. Atun kembali tersenyum, karena dia merasa ini bagian dari tugas, biar saja pria bejat itu mencicipi tubuhnya sesuka hatinya, yang penting tujuannya tercapai, setelah berhasil menjadi istri Ibrahim, cukup mudah bagi Atun melenyapkan Nazil, karena telah mempunyai uang yang banyak, Atun memili
Pak Long berjalan pilu meninggalkan ruang keluarga, begitu juga dengan Ibrahim masuk ke dalam kamarnya setelah Pak Long pergi. Tinggallah Yati dan Atun di ruangan keluarga ini, Yati masih menatap tidak percaya dengan segala ucapan Atun yang menurutnya begitu pedas. "Yati, maafkan aku, aku juga punya perasaan, aku juga punya hati, semua diluar kendaliku, maafkan aku, tidak bermaksud membuat kamu kecewa dengan semua ucapanku," Atun memeluk Yati, berharap sahabatnya itu mengerti. "Minta maaflah sama Pak Long, Atun. Ucapanmu sungguh membuatnya sangat terluka, kamu boleh menolak, tapi tidak menghina seperti itu, ingat Atun, sebelum dihargai orang, belajarlah menghargai orang lain.""Baik Yati, aku akan minta maaf, lagian pria tua itu sungguh tidak tau diri, kalau suka sama orang ya lihat dulu siapa orangnya, kalau Juli, Rima atau Leni sih wajar, sederajat mereka." "Apa maksudmu, Atun?" Yati semakin tidak mengerti dengan sikap sahabatnya ini, semakin tinggi hati saja. "Aku kan teman se
Sepanjang perjalanan ke kantor, Nadya tidak hentinya mengulum senyum, rencana yang telah dia buat sepertinya berhasil, dia sengaja mengcopy sepenggal bait puisi milik sang pujangga yang ternama, lalu di akhir puisi Nadya sengaja memberi inisial nama I M, agar Atun mengira itu Ibrahim, dan sengaja juga dia menyuruh Atun ke kamarnya untuk mengambil flashdisk agar Atun melihat puisi tersebut seolah-olah tanpa sengaja, semua sudah Nadya atur sedemikian rupa. Sudah berulang kali Nadya menangkap basah Atun sedang menatap dalam pada Ibrahim, awalnya dia merasakan ada yang aneh pada diri Atun, perasaan Nadya tidak enak jika melihat gelagat Atun, sampai pada akhirnya Nadya melihat sendiri Atun memandang Ibrahim cukup lama, sengaja dia tidak menegur karena belum memiliki bukti yang cukup kuat. Pernah suatu malam, Atun sengaja membuatkan Ibrahim teh dan hendak mengantarkan ke ruangan kerja Ibrahim, tapi karena kemunculan Yati secara tiba-tiba, Atun berkilah jika ingin membuatkan Yati teh, deng
"Yatiii!” Ibu mertua memanggilku dengan suara lantang dan memekik, tergopoh tungkai kaki ini menghampiri. “Dari mana saja kamu, hah?! Ini cepat beresin rumah berantakan semua!” titah Bu Anik– mertuaku dengan wajah bengisnya. “Tadi sudah saya bersihkan, Bu, tapi anak-anak Kak Mila yang berantakin lagi," ucapku gugup sambil meremas ujung baju kaos yang sedang aku kenakan. “Jangan banyak alasan! Ayo, beresin lagi!" Dengan mata melotot Bu Anik berteriak memberi perintah. "Ba … baik, Bu," ucapku lagi dengan nada suara yang masih gugup dan takut. "Kamu itu, udah numpang hidup di sini, harusnya tahu diri, jangan sampai Arjuna menceraikan kamu, dan balik lagi kamu ke kampung lalu jadi kuli di ladang orang! Dasar menantu nggak tahu diri, udah jelek, bodoh, dan mandul lagi!" cecar ibu mertua tanpa perasaan. Gusti Allah. Perih rasanya hati ini ... dengan hati yang terluka, aku membersihkan lagi rumah mertua, iris mata ini membayang dan dalam hitungan detik bulir air mata sudah jatuh ke a
‘Aku harus segera pergi dari sini, sebelum Mas Arjuna memukulku’ batin ku sambil mengemasi barang-barangku.Tangan ini bergerak cepat memasukkan pakaian ke dalam tas yang dulu aku bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, aku kumpulkan rasa berani dari ancaman Mas Arjuna, tapi kalau aku terus-terusan merasa takut, mereka akan terus mengintimidasi mental dan jiwaku. Aku mendengar mertuaku menangis meraung-raung penuh drama. Padahal, masih melekat ingatan di kepalaku, dia juga pernah mencocol mulutku pakai sambal, saat aku ketiduran setelah menyetrika pakaian mereka yang menggunung.Setelah selesai berkemas dan sudah berganti pakaian, aku menuju pintu keluar. Sebelum keluar, tangan yang bekas sambal tadi kusapukan di baju Mas Arjuna yang tersusun rapi di lemari. Biar saat dia memakai baju yang terkena sambal, merasakan sensasi hangat terbakar di kulitnya. Agak konyol, tetapi biar saja karena dia juga sering membuatku sakit hati.Kubuka pintu kamar, seketika semua mata tert
Mas Arjuna dan Bu Anik seolah tidak percaya dengan apa yang barusan aku ucapkan. Mereka berpikir aku wanita yang lemah dan hanya mengandalkan uang pemberian suami, tidak mungkin meminta cerai dari Mas Arjuna. "Aku tidak akan menceraikan kamu, Yati?! Kamu harus balik lagi ke rumah!" teriaknya. Aku bergidik ngeri membayangkan harus balik ke rumah yang sudah seperti ne*aka itu. Seketika diri ini meng*muk, aku menghampiri Mas Arjuna, tanpa terduga olehnya, kukuku sudah tert*ncap di kulitnya, lalu tak lupa, aku pun menghadiahi sebuah tend*ngan telak di daerah terlarangnya.Aku bagaikan monster yang mengamuk bertarung melawan musuh. Warga memegangi kedua tanganku, tetapi aku terus berontak dengan sekuat tenaga. Ingin rasanya menc*bik-c*bik wajah Mas Arjuna, dia ingin aku lebih lama lagi tersiksa di rumah ibunya. "Lihatlah dia ... begitu kurang ajarnya, kepada suaminya!?" teriak Bu Anik "Sudah gila, dia,” lanjutnya lagi sembari mencebikkan bibirnya.Rasanya ingin kuc*kari wajah Bu Anik,
"Yati ...Yati ...."Aku sudah setengah sadar, ketika mendengar ada suara yang memanggil namaku. Kurasakan juga, sebuah tangan lembut membelai rambut. Dengan mata yang masih berat, aku memaksa mataku terbuka."Bu ... aku di mana?" ucapku berbisik, setengah memicingkan mata karena silau.Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Aku bingung dengan suasana yang masih asing, lalu mencoba untuk duduk di pinggiran kasur, dengan dibantu oleh Bu Sarti.“Kamu istirahat dulu, Nak, kamu lagi di rumah Ibu. Sementara kamu di sini dulu,” ucapnya ramah sambil menyunggingkan senyum."Ini ada teh dan bubur, kamu makanlah dulu tadi kamu pucat sekali," ucap Bu Sarti penuh dengan kasih sayang.Aku teringat belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam lambung. Karena kalau aku kedapatan makan sebelum acara arisan selesai, Bu Anik pasti sudah berteriak dengan sadis dan brutal.Segala caci maki lepas bebas dari mulutnya untukku.Walau dengan rasa malu, aku menghabiskan semangkuk bubur ayam dan teh hangat