Share

Bayangan Dalam Pandang
Bayangan Dalam Pandang
Penulis: Louisa Reign

The Girl Meets The Guy and The Shadow

“Kinjo-san, hari ini kamu lembur lagi?”, tanya seorang rekanku sambil melepaskan baju hazmat yang dia kenakan. Itu adalah baju kebangsaan para manusia yang bekerja di bagian produksi dari sebuah industri farmasi. Aku juga mengenakan baju yang sama.

“Kalau kamu tidak lembur, mau ikut goukon?”, tanyanya lagi.

Aku menghela nafasku dan bergumam kecil, "Goukon lagi…"

Kamu tahu goukon? Goukon dapat disebut kencan buta. Kalau kamu bertemu orang yang kamu suka, kamu boleh mencoba berkencan dengannya. Jika tidak ada yang kamu suka, anggap saja sebagai acara hangout yang menyenangkan.

“Ayolah! Parasmu cantik! Pasti para pria itu akan suka denganmu!", banyak orang mengajakku ikut goukon dengan alasan itu.

Cantik? Aku tidak pernah menyebut wajahku cantik, aku hanya memiliki mata yang lebih lebar dari perempuan lain dengan bulu mata yang lentik. Alisku kebetulan saja lebih tebal dan rapi. Bibirku memang berwarna merah jambu, tetapi semua orang bisa mendapatkan bibir dengan warna yang sama dengan menggunakan lipstik. Kulitku putih dan pada bagian pipi terlihat sedikit kemerahan.

“Jika kamu tidak suka, kamu tidak harus berkencan dengan mereka! Kita hanya akan bersenang-senang!”

Aku terdiam sesaat. Kalimat rekanku terus berputar di dalam benak dan membuat hatiku mempertanyakan, "Di mana letak senangnya?". Aku bukan orang yang gemar mengeluarkan uang dengan percuma demi menjadi saksi para laki-laki yang membesar-besarkan dirinya agar terlihat keren atau para perempuan yang berlaga imut demi memikat hati pujaannya. Kecuali ada seseorang yang menutup semua biaya yang akan kukeluarkan, baru akan kukatakan aku bersenang-senang. 

"Aku lebih baik menggunakan waktuku untuk mencari uang dibanding datang ke acara seperti itu.", celetukku dalam hati.

Keengganan yang begitu kental segera mengisi relung hati, sehingga aku tidak begitu sulit untuk menolak ajakan tersebut. Sambil melontarkan sebuah senyum, aku berkata, “Wah, sepertinya asyik. Sayang sekali hari ini aku lembur.”.

“Yah… Padahal kamu pasti populer...”

“Hahaha… Kamu bisa saja. Have a good time!”

Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, aku buru-buru keluar dari ruang ganti perempuan.

...

Jika boleh jujur, awalnya aku bukanlah orang yang seperti sekarang. Aku bukan orang yang sangat berhati-hati dengan keuanganku. Namun sejak enam tahun yang lalu, semuanya berubah.

Hm? Ada apa? Apakah kamu penasaran? Baiklah… Sambil lanjut lembur, akan aku ceritakan. Kebetulan aku butuh teman mengobrol.

Enam tahun yang lalu, waktu aku masih menjadi mahasiswa, aku mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal. Mobil yang dikendarai ayah dan ibu menabrak pembatas jalan lalu jatuh dari tebing. Seperti orang tua pada umumnya, ayah dan ibuku memberikan warisan kepadaku. Akan tetapi bukan berupa harta, seperti yang mungkin kalian bayangkan, melainkan hutang senilai seratus juta yen.

Tepat pada acara pemakaman kedua orang tuaku, tiba-tiba ada dua orang yakuza yang menerobos masuk ke dalam ruang duka. Mereka berkata di hadapan orang banyak bahwa orang tuaku punya hutang raksasa dan memintaku untuk melunasi semuanya. Reaksi pertamaku saat itu adalah,“Hah? Lelucon macam apa ini?”.

Tentu saja aku tidak percaya! Orang tuaku tidak pernah terlihat seperti punya hutang sebesar itu. Bahkan sehari sebelum kejadian naas menimpa mereka, keduanya masih makan malam di sebuah restoran yakiniku dengan wajah sumringah. Apakah kemewahan mereka berasal dari uang hutang? Tidak! Kedua orang tuaku adalah orang yang bertanggung jawab! Mereka tidak akan melakukan itu!

Aku masih sangat ingat hingga detik ini bagaimana mereka memandangiku dengan ekspresi bengis. Seorang dari mereka berkata, "Kami membantu orang tuamu ketika mereka kesusahan, lalu lihat sekarang? Sampai mati pun mereka tak pernah membayar kemurahan hati kami! Kamu sebagai anak mereka harus membayar!", lantas ditambah oleh seorang yang lain, "Ya! Jangan menjadi orang yang tidak tahu terima kasih!".

Darahku mendidih ketika mendengar kalimat itu terlontar dari bibir mereka. Ini adalah acara pemakaman kedua orang tuaku. Bisa-bisanya mereka mempermalukan aku seperti ini. Aku sampai membentak, "Memangnya mana bukti yang menyatakan mereka memiliki hutang itu!? Tidak ada kan!? Andaikan mereka memang membutuhkan pertolongan uang, mereka tidak akan datang pada yakuza! Mau ditunggu sampai langit runtuh pun tidak mungkin!".

Mendengar aku berkata begitu, mereka malah cekikikan. Tentu itu membuat aku emosi, begitu pula dengan orang-orang di sekitar karena mereka mengenal kedua orang tuaku dengan baik. Riak wajah mereka semua ikut kecut. Namun tidak ada satu orang pun yang berani membantuku mengusir mereka karena mereka berdua membawa pistol.

Sepertinya ada yang sudah berusaha menelepon polisi, tapi respon mereka berdua malah balik menantang. Seakan tidak ada hal yang dapat membuat mereka takut. Kemudian duo yakuza itu mengeluarkan surat perjanjian hutang piutang dan tanda tangan Ayah memang ada pada surat itu.

"Saksikan saja sendiri! Biar surat ini yang berbicara padamu."

Barulah ketika dihadapkan dengan lembaran surat tersebut, kedua mataku dibuat membelalak. Rasa-rasanya rahangku pun hampir jatuh ke lantai. Namun hati kecilku masih berusaha menolak fakta yang begitu menampar itu, "Apakah ini sungguhan? T-tentu saja tidak! Itu pasti palsu! Aku harus melaporkan ini kepada polisi!".

Esok hari aku datang ke kantor polisi dan melaporkan segalanya. Mereka langsung menindaklanjuti laporanku. Aku terus menunggu kelanjutan dari proses mereka hingga pada sore hari. Seorang polisi memberiku sebuah pemberitahuan melalui telepon. Katanya, “Kami sudah melakukan pengecekan dan kami menemukan bahwa ayahmu memang benar memiliki pinjaman sebesar seratus juta yen. Surat perjanjian hutang piutang itu memang asli dan ditandatangani sendiri oleh ayahmu. Kami tidak bisa melakukan apa-apa, Kinjo-san.”

“Itu tidak mungkin! Ayah tidak mungkin-”

Tuuuuut.

Telepon sudah diputus sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Otot-otot yang menempel di badanku langsung lunglai. Aku limbung hingga hanya mampu bersandar di tembok dalam hening.

"Ini bohong... Apakah polisi telah dibeli oleh para yakuza itu...?", begitu pikirku.

Tak lama, ponselku bergetar lama, tanda ada seseorang yang menelepon. Itu adalah telepon dari nomor asing, tetapi aku seperti sudah bisa menebak siapa orang yang berada di seberang. Ketika kuangkat telepon itu, ya memang benar tebakanku.

“Hei, kamu lapor ke polisi ya? Hahaha! Buang-buang waktu sekali. Kamu pikir kamu bisa kabur dari hutang-hutangmu dengan lapor polisi? Yang ada malah kami yang bisa balik melaporkan kamu, bang***!”, katanya.

Aku tidak menjawab. Otakku masih terlalu sibuk untuk mengolah semuanya.

"Ayah, Ibu, aku tersandung kasus apa ini...? Aku harus minta tolong siapa? Apakah ini mimpi? Mungkin ketika aku bangun, aku masih bertemu Ayah dan Ibu yang bersenda gurau di ruang keluarga. Ini hanya mimpi buruk!", aku terus-terusan mengulang kalimat itu dalam kepalaku.

Aku menoleh ke arah dua bingkai foto yang terpajang di belakangku. Satu adalah foto ayah, satu adalah foto Ibu. Perlahan bulir-bulir bening mulai mengucur dari ujung mataku. Aku terisak tanpa suara di dalam rumah yang masih meninggalkan bekas kehangatan kedua orang tuaku.

...

Aku tahu ini bukan mimpi... Jika memang hanya bermimpi, mengapa aku tidak kunjung bangun? Ini bukan mimpi, melainkan kenyataan yang berusaha aku tolak.

Mungkin karena aku diam terlalu lama, si yakuza berkata lagi, “Jangan coba-coba kabur dari tanggung jawabmu atau main lapor-lapor seperti tadi. Sekarang kamu masih aman, tapi nanti kamu akan tanggung akibatnya. Kami tahu di mana kamu tinggal!”.

Aku memejamkan mataku, dalam hati aku berdoa pada Tuhan. Sekedar meminta petunjuk apa yang harus kukatakan pada yakuza ini. Hatiku tergerak untuk mengatakan, “Baiklah, aku akan membayar, tapi beri aku waktu sampai aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Barulah aku mulai membayar hutang orang tuaku secara berkala.”

Entah bagaimana, aku mendengar dia menjawab, “Oke.”

Sebenarnya sebagian dalam diriku seperti ingin membuat laporan lagi kepada polisi. Akan tetapi, sebagian yang lainnya berkata kalau yakuza itu sudah membeli polisi. Aku jadi tidak tahu harus datang ke polisi yang mana. Salah-salah aku malah akan membawa petaka terhadap diriku sendiri.

Tidak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Aku tidak mau melakukan hal yang membahayakan diriku. Si yakuza itu hanya menjawab 'Oke' dan tidak mengamuk atas syarat yang kuajukan saja sudah merupakan sebuah keajaiban.

Singkat cerita, aku melanjutkan kuliahku dengan baik lulus dengan cepat. Aku pun mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus di sebuah industri farmasi sejak satu tahun yang lalu dan ya, gaji-gajiku langsung lari ke yakuza mulai dari tahun yang sama. Tidak apa lah... Toh gajiku sebetulnya lumayan besar. Mungkin bekerja sampai sepuluh tahun lebih sedikit juga sudah lunas, dengan catatan setiap hari aku lembur.

Jadi... Begitulah kisahku sebelumnya.

-Lima hari kemudian-

Aku datang ke industri seperti biasanya, tetapi aku tidak bisa masuk ke dalam karena kerumunan pekerja di depan gerbang. Kurasa mereka juga tidak bisa masuk ke dalam.

“Apa yang terjadi?”, tanyaku dalam hati.

Aku menepuk pundak salah satu pekerja yang ada di dekatku dan bertanya padanya. Dia dengan wajah pucat, menjawab, “Mereka bilang perusahaan sudah bangkrut. Semua pekerja diberhentikan tanpa santunan karena mereka tidak punya cukup uang.”

Aku membisu. Cobaan apa lagi ini?

Ah! Aku tahu. Ini masih pagi. Siapa tahu aku memang masih tidur di futon*. Mungkin yang satu ini adalah mimpi!

*kasur tradisional Jepang

Aku mendaratkan tamparan yang begitu keras pada pipi kananku hingga berbunyi nyaring, "PLAK!".

Satu detik, dua detik, tiga detik… Pipi kananku terasa panas.

...

Oh Tuhan… Jangan lagi... Apa yang harus kulakukan?

-Malam harinya-

“Nona… Nona, ayo bangun. Kami sudah mau tutup.”, kata seseorang, sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Itu adalah pemilik warung gyoza langgananku.

Setelah kejadian di depan tempat kerjaku, aku datang kemari. Makan gyoza dan pesan bir bergelas-gelas. Aku minum dan menangis sepuasnya sampai aku ketiduran.

Ini adalah kali pertama aku menghambur-hamburkan uang setelah enam tahun... Otakku begitu diselimuti oleh stres.  Bagaimana tidak? Bayangkan! Aku diputus hubungan kerja sebelum mendapatkan gaji bulan ini dan aku juga tidak mendapatkan uang santunan. Sedangkan dua hari lagi adalah tanggal jatuh tempo cicilan hutangku. Hah…

Aku bangkit untuk membayar lalu berjalan agak sempoyongan keluar warung. Bapak pemilik warung sempat menawarkan bantuan untuk memanggilkan taksi untukku. Aku berterima kasih, hanya saja aku sedang ingin berjalan malam itu sehingga aku menolaknya.

“Kamu yakin, Nona? Ini sudah sangat larut loh.”

“Ya, ya… Aku sangat ingin berjalan. Sekalian untuk membuang stres. Terima kasih atas tawarannya, pak.”

“Baiklah… Aku tidak tahu apa yang nona alami hari ini… Semoga nona bisa melewatinya dengan baik. Nona harus semangat!”

“Hahaha… Ya, Pak. Nanti waktu saya kembali lagi, saya sudah semangat!”

Si pemilik warung menyerukan padaku untuk berhati-hati di jalan sambil melambaikan tangannya.

Hanya ini yang bisa sedikit meleburkan beban jiwaku hari ini.

“Setelah menangis berjam-jam sampai mata sembab, ternyata obatku adalah ucapan semangat dari bapak penjual gyoza.”, ucapku dalam hati, sambil terkekeh geli.

Tidak bertahan lama sih. Alisku kembali berkerut sekalinya aku mengingat masalah hutang dan sebangsanya.

Aku menghela napas panjang seraya mendongak ke atas. Aku menatap kosong hamparan langit bertabur bintang yang saling beradu gemerlapnya. Dalam hati aku berkeluh kepada Tuhan, “Oh, Tuhan, aku sedang kesusahan. Apakah Tuhan tidak mau membantuku? Sekali saja... Tolonglah aku.”.

Detik aku berkata begitu, tiba-tiba saja angin kencang berhembus dan… 

Wuuuuushhhh!

SRAAAAAAAK! PLAK!

Ada selembar koran yang terbang bebas hinggap di wajahku.

Aku yang sedang dalam sendu berubah menjadi emosi. Yah... Mohon maklumi aku. Aku hanyalah perempuan yang sedang mabuk akibat minum alkohol.

“Hih! Apa lagi sih! Aku itu sudah cukup sial! Kamu jangan tambah kesialanku, hei koran! Sini aku baca kamu! Awas kalau tidak penting. Kubakar kamu!”, kataku, mengomel sendiri pada koran.

Aku melihat tanggal koran itu, tertulis 1 Januari 2023. Itu baru dua hari yang lalu. Bunyinya kurang lebih, "Dibutuhkan segera, asisten serba bisa. Gaji besar. Hubungi 0000 atau datang langsung ke kantor Hongo-San’s Odd Cases.".

Lowongan kerja...? Apakah Tuhan ingin menjawab doaku dengan ini? Tapi... Mau dilihat dari sudut mana pun, ini sangat mencurigakan. Ditambah lagi dengan nama kantornya…

“Apa yang mesti aku lakukan? Ini kesempatan atau kesesatan?”, tanyaku dalam hati.

-Tidak lama kemudian-

Hongo-San’s Odd Cases. Aku bisa membaca papan nama itu dari dekat sekarang. Itu terletak di seberang jalan tempat aku berdiri.

“Tidak kusangka tempatnya sedekat ini dengan apartemenku… Sekarang apa yang harus kulakukan? Masuk? Telepon?”, gumamku dalam batin. Usai menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk melakukan panggilan lewat telepon terlebih dahulu. Tidak pakai lama, telepon diangkat oleh seorang laki-laki dengan suara bass yang indah. Namun, kalimat yang diutarakan tidak seindah suaranya.

“Kamu diterima. Kutunggu kamu di kantor Hongo-San’s Odd Cases. Jangan lama-lama ya. Aku sudah tidak tahan.”

Tuuuuuuuuut.

Telepon terputus.

...

Hahaha… Sudah tidak tahan? Tidak tahan apa maksudnya…? Betulkah ini bantuan yang Tuhan kirimkan padaku?

Aduh… Masuk atau tidak…?

Ah! Sudahlah!

Aku mengumpulkan keberanian kemudian melangkah maju. Ketika sudah sampai tepat di depan pintu kantornya, aku tidak pakai berpikir lagi dan langsung membukanya, tetapi yang kutemukan adalah… Ruangan kosong- Tidak. Ini lebih cocok disebut dengan ruang hampa yang gelap.

Di depan mataku, ini betul-betul hanya warna hitam. Entah karena efek alkohol atau bagaimana, terlihat seperti aliran-aliran energi hitam mencuat dari situ. Kemudian suara bass yang tadi berbicara denganku lewat telepon terdengar kembali, “Aku tahu kamu sudah sampai. Dengarkan aku. Masuklah dan katakan ‘segel’ dengan lantang.”.

Sungguh. Berbagai macam pertanyaan menyeruak masuk ke dalam sukmaku, tetapi anehnya aku tetap menuruti arahannya. Ya, aku adalah perempuan yang sedang masuk. Aku masuk ke dalam kegelapan itu, berjalan beberapa langkah kemudian aku menyerukan kata itu dengan lantang.

“Segel!”

...

Tidak ada yang terjadi... Namun entah mengapa, tempat ini menjadi sangat... Aneh. Bagaimana caranya aku menjelaskan...? Aku seperti sedang menyelam di dalam air. Telingaku menjadi terasa agak kedap suara dan mendadak ada hawa dingin yang begitu menusuk kulit. Bulu kuduk di sekujur tubuhku pun naik tanpa ada alasan yang jelas. Pada saat itulah aku yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus keluar dari sini! Aku segera berbalik badan dan...

“Di mana pintunya?”

Betapa kagetnya aku ketika melihat pintu keluar yang seharusnya ada tepat di belakangku, tiba-tiba lenyap.

Ya, aku mabuk. Namun, apakah aku semabuk itu sampai tidak bisa mencari pintu? Sekelilingku sekarang hanya kegelapan! Pintunya ke mana? Dalam keteganganku, tiba-tiba aku mendengar, sesuatu berbisik di telingaku.

“Bedebah…”

Aku tersentak dan refleks bertanya “Siapa itu!?”, sambil celingak-celinguk, mencari sumber suara.

Aku tetap tidak melihat apapun. Hanya kegelapan di sana sini. Kemudian aku mendengar suara yang sangat mengerikan. Ada banyak suara bercampur menjadi satu mengatakan hal yang sama berulang kali.

“DARAH! DARAH! AHHAHAHAHA! DARAH! DARAH!”

“DARAH! DARAH! DARAH!”

“DARAAAAAAAAAAAH!”

Dan puncaknya, semua suara itu berhenti. Tercipta sebuah keheningan yang sangat tidak nyaman sampai beberapa saat sampai ada sebuah bola menggelinding ke arahku. Kini terdengar lagi suara anak kecil berkata, “Darah?”.

Aku sempat celingak-celinguk lagi untuk mencari sumber suara, tetapi entah kenapa aku yakin suaranya muncul dari bola itu. Ketika kuperhatikan lagi, barulah aku sadar itu bukan bola.

Itu…

Kepala bayi!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nana Mitsuke
ya ampun.... merinding
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status