Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk
“WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A
Aku menceritakan segala yang terkait pertemuanku dengan Banshee pada Satoru-san. Tidak ada satu pun yang aku tutupi. Usai kuceritakan, Satoru-san langsung kembali ke kamarnya untuk bersiap. Aku juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa cepat. Butuh waktu yang lebih lama bagiku untuk bersiap karena kakiku yang masih sakit. Untungnya Satoru-san sangat tolerir dengan itu. Dia bahkan membawakan sarapan ke kamarku dan kami makan bersama terlebih dahulu. Kami berdua menggunakan meja dan sofa mewah yang berada tepat di depan ranjang. ... Aku jadi tidak enak hati... Dalam batin aku berkata, “Harusnya aku yang membawakan makanan-makanan ini padanya, bukan sebaliknya.”. Aku adalah asistennya, tapi selama 30 hari bersama Satoru-san, aku sangat jarang memberikan bantuan yang berarti. Sebaliknya, kurasa aku lebih sering merepotkan dirinya. Lihat yang belakangan ini saja, berapa banyak uang dan perhatian sudah dia keluarkan hanya untuk mengurusku? Kamar hotel bintang 4, biaya rumah saki
Mobil sport hitam yang ditumpangi olehku dan Satoru-san telah sampai di depan bangunan sekolah megah dengan papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou. Kali ini bukan Satoru-san yang menyetir, tapi seorang pria paruh baya berkemeja biru terang. Perawakannya tidak begitu tinggi dan ekspresinya secerah kemeja yang ia kenakan.“Toru tidak tidur semalaman ya?”, tanya pria itu, sambil menatap Satoru-san yang terlelap di kursi belakang. Pria itu memiliki hubungan dekat dengan Satoru-san, sampai dirinya memanggil Satoru-san dengan sebutan ‘Toru’. Tak heran, rupanya pria paruh baya itu adalah paman Satoru-san yang kebetulan sedang berada di Sendai. Namanya adalah Hongo Yuma.“Apakah kalian sedang menangani kasus yang sulit hingga dia kerepotan seperti ini?”, tanyanya lagi.Aku ingin sekali menjawab dengan, “Yuma-san, yang merepotkan itu aku, bukan kasusnya.”. Namun aku memilih untuk mengangguk saja, kemudian menambahkan, “Terima kasih sudah mengantar kami sampai di sini, Yuma-san. Kuharap kam
Hari ini begitu cerah. Matahari nampak menggantung di langit biru tanpa ada sedikit pun kapas yang menghalangi. Beberapa burung saling beradu lagu dan kupu-kupu asyik melintas mencari bunga termanis di taman sekolah milik SMA Sendai no Kibou. Alam seakan tidak sudi bersimpati meski seseorang telah diculik di depan mataku dan Yuma-san....Ya?Aku ada di mana?Aku ada di taman terkutuk itu. Aku berada tepat di jantung taman, di bawah pohon sakura yang terkenal horor di SMA Sendai no Kibou. Makanya aku bisa tahu aktivitas satwa-satwa yang kusebutkan tadi, karena semuanya aku lihat di taman ini. Aku dan Yuma-san sedang beristirahat sebentar di sana. Kami habis berkeliling mengitari lingkungan SMA Sendai no Kibou yang super luas.Tenang, kali ini aku berjalan sendiri kok. Aku tidak enak hati jika terus merepotkan orang tua. Kami sempat mendatangi UKS, dan untungnya mereka memiliki krak dan bersedia meminjamkannya kepadaku sampai aku selesai berkeliling sekolah.Aku duduk di bangku yang ad
SRAAAAK!BRAK!Rasa sakit segera menghunjam bagian punggung dan belakang kepalaku. Usai tubuhku ditarik paksa oleh shadow ke dalam ruang kebersihan, bagian belakangku berbenturan dengan sesuatu yang keras hingga aku sempat hilang kesadaran.…Aku terbangun kembali dan mendapati bahwa tubuhku masih terjerat tali tambang. Tubuhku diseret menembus lorong sebuah sekolah yang terlihat kotor dan berantakan. Tak jarang aku bertabrakan dengan benda-benda seperti kayu atau runtuhan plafon di sepanjang lorong. Kurasa itu yang membantuku untuk siuman.…Ada cahaya bernada kehijauan yang memancar dari kaca jendela di sepanjang lorong. Itu artinya aku telah berpindah ke alam supranatural.“Oh? Kamu terbangun?”Bangunku saat itu diketahui oleh shadow yang menyeretku. Wujud shadow itu berbentuk seperti kumpulan awan hitam. Dia hadir tanpa wajah, tetapi aku dapat merasakan dia tengah memandangiku sambil memajang seringaian bengis. Dari bagian sentral tubuhnya menjulur tali-tali t
Sebuah kaca jendela di lantai tiga Gedung C telah pecah. Suaranya begitu nyaring, sehingga tidak mungkin tidak didengar oleh orang yang berada di sekolah, apalagi yang memang berada di gedung tersebut. Tidak heran ketika aku dan Yuma-san ke sana, banyak siswa kelas 12 yang harusnya sedang dalam proses ajar di lantai dua, ingin menelik apa yang terjadi di lantai tiga. Namun akibat dihalangi oleh segelintir guru, mereka tidak dapat ke sana dan tertumpuk pada tangga yang menuju lantai tiga. “Sudah! Sudah! Bubar! Kembali ke kelas kalian!”, ucap seorang guru laki-laki, meminta para siswa untuk kembali. Aku dan Yuma-san dengan susah payah menembus barisan para siswa yang masih menggerombol di tangga. Seraya berteriak, “Permisi! Permisi! Kami mau lewat!”, akhirnya kami pun sampai juga di depan guru laki-laki itu. Yuma-san menjadi yang pertama melayangkan pertanyaan kepadanya. “Sumimasen*, Sensei. Apa yang telah terjadi di ini?”, tanya Yuma-san. *Permisi Guru itu mempe
Aku telah berpindah ke sebuah ruangan kelas bernuansa putih. Sebelumnya, Satoru-san sempat memberitahuku kalau ada Banshee yang muncul di hotel. Aku juga sudah mulai merasakan kantuk yang sama persis dengan yang aku rasakan ketika berada di rumah sakit. Oleh karena itu, aku sudah tahu kepindahanku kali ini merupakan ulah dari Banshee, bukan shadow. Itu artinya, aku tidak dalam kondisi yang membahayakan. ... Ya, tapi... Tetap saja, kepindahanku yang sekonyong-konyong bukanlah sesuatu yang dapat aku biasakan dengan mudah. Aku sangat kaget sewaktu lingkungan sekitarku berubah menjadi sebuah ruang kelas dalam hitungan detik. Saking kagetnya, aku terkinjat dan jatuh ke belakang. “Hahaha. Kinjo-oneesan, kalau oneesan terus-terusan kaget setiap bersinggungan dengan hal-hal supranatural, jantung oneesan tidak akan tahan lama lho.”, terdengar seseorang melantingkan kalimat tersebut sambil diselingi dengan tawa kecil. Siapa itu? Ya, tentu ia adalah gadis Banshee yang kemarin bertemu dengan