Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Kinjo-san, hari ini kamu lembur lagi?”, tanya seorang rekanku sambil melepaskan baju hazmat yang dia kenakan. Itu adalah baju kebangsaan para manusia yang bekerja di bagian produksi dari sebuah industri farmasi. Aku juga mengenakan baju yang sama.“Kalau kamu tidak lembur, mau ikut goukon?”, tanyanya lagi. Aku menghela nafasku dan bergumam kecil, "Goukon lagi…"Kamu tahu goukon? Goukon dapat disebut kencan buta. Kalau kamu bertemu orang yang kamu suka, kamu boleh mencoba berkencan dengannya. Jika tidak ada yang kamu suka, anggap saja sebagai acara hangout yang menyenangkan. “Ayolah! Parasmu cantik! Pasti para pria itu akan suka denganmu!", banyak orang mengajakku ikut goukon dengan alasan itu.Cantik? Aku tidak pernah menyebut wajahku cantik, aku hanya memiliki mata yang lebih lebar dari perempuan lain dengan bulu mata yang lentik. Alisku kebetulan saja lebih tebal dan rapi. Bibirku memang berwarna merah jambu, tetapi semua orang bisa mendapatkan bibir dengan warna yang sama dengan
“Itu… Bukan bola…”, batinku. Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi. “Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!” Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian! Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku. Aku mul
“Aduh…” Aku terbangun karena rasa sakit di seluruh badanku. Ini seperti habis dipakai untuk lari maraton 10 km. Sangat lelah dan otot-ototku seperti ditusuk jarum kalau mau digerakkan. But that aside, aku baru sadar kalau aku tidak bangun di kamarku. Cat tembok kamarku itu berwarna biru muda, tetapi ini warna putih. "Aku ada di mana?", tanyaku dalam hati. Aku paksakan badanku untuk duduk agar aku dapat melihat ruangan itu dengan lebih baik. Ruangan itu lumayan luas dengan beberapa perabot bertema vintage. Penataannya tidak asal-asalan sehingga sangat nyaman untuk dipandang. Pada bagian atap dan beberapa sudut kamar terdapat kaca jendela super besar sehingga memudahkan cahaya matahari untuk menyisip masuk dan menambah kesan hangat dari ruangan itu. “Apakah aku ada di hotel?” Aku melakukan sedikit peregangan agar badanku tidak terlalu sakit kemudian berjalan ke arah pintu. Ada dua pintu di sana, yang satu adalah kamar mandi dan yang satu membuka jalan untuk turun ke bawah. Aku tur
Halo, namaku Kinjo Miki, 25 tahun. Aku menjalani kehidupanku dengan baik sejak bergabung dengan HCO. Kira-kira... Hm... Sebulan yang lalu? Iya, aku bisa membayar tagihanku, bahkan aku punya cukup uang untuk bisa makan tiga kali sehari. Aku juga bisa membeli kopi yang selama ini hanya ada dalam angan-angan saja. Aku pun bisa istirahat dengan cukup. ... Cukup, kecuali pagi ini. Brrrrrrt! Brrrrrrt! Brrrrrrt! Tut. "Ya… Halo…? Oh… Hongo-san… Ini masih jam lima... Ada apa menelepon pagi-pagi begini? … Eh? Ke kantor sekarang juga?" Pada suatu pagi yang masih nyaman untuk istirahat, Hongo-san meneleponku agar segera datang ke kantor. Katanya, "Kemasi pakaianmu. Kita akan menginap sampai beberapa hari." Titah bos adalah absolut. Meski sukma dan ragaku belum bersatu, aku mulai berkemas. Kami akan pergi ke Prefektur Miyagi bersama klien kami dengan naik mobil. Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi memakan waktu lima setengah jam. Sebuah mobil sport hitam datang tidak lama setelah aku sampai
SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain. Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis. Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka tam