Share

Shadow at School

Halo, namaku Kinjo Miki, 25 tahun. Aku menjalani kehidupanku dengan baik sejak bergabung dengan HCO. Kira-kira... Hm... Sebulan yang lalu?

Iya, aku bisa membayar tagihanku, bahkan aku punya cukup uang untuk bisa makan tiga kali sehari. Aku juga bisa membeli kopi yang selama ini hanya ada dalam angan-angan saja. Aku pun bisa istirahat dengan cukup.

...

Cukup, kecuali pagi ini.

Brrrrrrt!

Brrrrrrt!

Brrrrrrt!

Tut.

"Ya… Halo…? Oh… Hongo-san… Ini masih jam lima... Ada apa menelepon pagi-pagi begini? … Eh? Ke kantor sekarang juga?"

Pada suatu pagi yang masih nyaman untuk istirahat, Hongo-san meneleponku agar segera datang ke kantor. Katanya, "Kemasi pakaianmu. Kita akan menginap sampai beberapa hari."

Titah bos adalah absolut. Meski sukma dan ragaku belum bersatu, aku mulai berkemas.

Kami akan pergi ke Prefektur Miyagi bersama klien kami dengan naik mobil. Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi memakan waktu lima setengah jam. Sebuah mobil sport hitam datang tidak lama setelah aku sampai di HCO. Itu adalah mobil milik Hongo-san. Dia turun dari mobil untuk membantuku memasukkan koper ke bagasi.

Dia terlihat rapi seperti biasanya. Rambut hitamnya diberi gel, lalu sedikit disisir ke belakang. Ada sebuah kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya untuk mengatasi sadisnya cahaya mentari selama menyetir. Kemeja putih yang dibalut dengan blazer hitam elegan menempel pada tubuh atletis miliknya dan dasi berwarna hitam mengalungi bagian kerah. Jam tangan Romex kesukaannya tak luput untuk menghias pergelangan tangan kiri. Sedangkan untuk bawahannya, dia mengenakan celana kain berwarna hitam dan sepatu pantofel kulit berwarna senada.

...

Entahlah...

Apakah semua pria tampan sangat mudah membuat netra yang memandang jadi kesilauan?

Apakah semua pria tampan, mau sesimpel apapun yang mereka kenakan, akan membuat mereka tetap tampil seperti pangeran manhwa?

...

Kemudian di sisi lain, aku masih dengan baju tidurku. Aku tidak sempat berganti pakaian karena terlalu terburu-buru. Untuk kakiku, aku hias dengan sepasang sandal jepit.

Hah...

Aku malu.

Sebetulnya, cerita di balik kenapa kami buru-buru adalah seperti ini. Kusumoto Kimiko, seorang ibu guru muda di SMA Sendai no Kibou, datang ke HCO atas utusan dari sekolah. Dirinya diminta untuk menjemput kami ke Prefektur Miyagi. Berhubung dia juga memiliki jadwal mengajar sekitar pukul 11 siang, akhirnya dia datang sepagi itu dan berniat untuk kembali sebelum jam ajarnya dimulai.

Kedatangan klien pukul 04.30 pagi, tentu Hongo-san juga kaget. Beruntung dia sudah terjaga setengah jam sebelumnya untuk jogging. Dia sempat menyarankan agar Kusumoto-san pulang duluan saja, sedangkan kami akan menyusul siang hari.

Namun Kusumoto-san memohon dengan sangat agar kami mau berangkat bersamanya. Rupanya selama di perjalanan, dia telah mendapatkan gangguan mistis. Dia menolak untuk menceritakan apa yang dia alami karena sangat traumatis bagi dirinya. Paling tidak, jika hal ‘itu’ terjadi lagi, dia tidak mau sendiri.

Akhirnya karena tidak tega Hongo-san mengiyakan. Dia menawarkan untuk naik mobilnya saja. Memang lebih lama, tetapi akan lebih aman karena ada pelindung yang sudah ditanamkan di situ.

Dan... yah... Karena kami naik mobil... Waktunya jadi mepet.

Anyway, kami berangkat tidak lama setelah aku sampai di kantor. Hongo-san menyetir, aku duduk di sampingnya dan Kusumoto-san duduk di belakang.

-Prefektur Miyagi-

Kami sampai di sebuah bangunan megah dengan halaman yang sangat luas. Papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou dapat ditemukan di samping gerbang masuknya. Kami menurunkan Kusumoto-san di sana, lalu izin guna mencari tempat kami menginap terlebih dahulu.

“Ya, Hongo-san, Kinjo-san. Kalian dapat menemui Pak Kepala Sekolah ketika sudah jam dua nanti.”, kata Kusumoto-san.

Nah, terjadi sesuatu yang menyenangkan di sini.

Tiga kilometer dari SMA Sendai no Kibou, kami menemukan sebuah hotel bintang empat super mewah, dengan 24 lantai dan konsep western. Tentu aku menyarankan agar bisa menginap di hotel yang lain. Tidak terbayang akan seperti apa nasib rekeningku jika kami betul-betul menginap di situ. Tiba-tiba, si bos Hongo langsung ke resepsionis, lalu membayar uang sewa dua kamar hotel untuk satu minggu. Katanya, “Sekarang kita punya waktu untuk beristirahat sebentar.”.

Ehehe...

Aku tidak dapat menyembunyikan lesung pipiku.

-Dua setengah jam kemudian-

"Oke! Dengan begini, aku tidak terlihat gembel!", tuturku dalam hati, seraya menutulkan taburan bedak di wajahku.

Aku sangat jarang menggunakan make up, tetapi demi tidak 'terbanting' sewaktu berdiri di samping sang pangeran manhwa, ini harus dilakukan. Tenang, aku tidak menggunakan make up tebal seperti yang kalian bayangkan. Hanya bedak tipis untuk kulitku dan lipstik natural untuk memoles bibirku.

Aku segera keluar setelah Hongo-san memintaku untuk bertemu di resepsionis. Dia juga sedikit mengganti tampilannya dengan pakaian yang lebih formal. Kini dia tampil tanpa kacamata hitam dan mengenakan setelan jas hitam di badannya.

...

Sesungguhnya hampir tidak ada bedanya.

Kami langsung berangkat kembali ke SMA Sendai no Kibou untuk menemui kepala sekolah. Hongo-san akan jadi juru bicaranya, sedangkan aku diminta untuk mengikuti alur saja.

"Perkenalkan, saya adalah Murakawa Naoto, Kepala Sekolah SMA Sendai no Kibou. Terima kasih sudah jauh-jauh datang kemari, Hongo-san, dan…"

"Dia adalah asisten baru saya, Kinjo Miki. Suatu kehormatan bagi kami, telah dipercayakan untuk membantu SMA Sendai no Kibou. Yoroshiku onegaishimasu (Mohon bantuan dan kerja samanya).", ujar Hongo-san, sambil membungkukkan badan. Aku pun juga mengikuti.

"Kochira koso, yoroshiku onegaishimasu (Sayalah yang membutuhkan bantuan anda), Hongo-san, Kinjo-san.", balas  Murakawa-san sambil membungkuk ke arah kami.

Formalitas selesai, Murakawa-san langsung menjelaskan kasus yang akan kami tangani.

"Awal tahun lalu, ada seorang siswi kami yang melakukan bunuh diri di sekolah ini. Dia gantung diri di sebuah pohon sakura yang ada di taman sekolah. Sejak saat itu, dua bulan sekali, akan ada siswa yang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama di pohon itu. Menurut perhitungan, bulan ini akan jatuh satu korban lagi. Kami sudah melakukan segala usaha, dari lapor polisi hingga melakukan pembersihan aura, tetapi tetap saja ada korban lagi. Hongo-san, Kinjo-san, kalian adalah satu-satunya harapan kami yang tersisa. Kami bingung harus datang kepada siapa lagi. Kami mohon, hentikan kutukan ini sebelum ada korban berjatuhan lagi."

"Pembersihan aura? Jika boleh tahu siapa yang didatangkan untuk melakukan itu?"

"Namanya adalah Goto Eiji. Dia melabelkan dirinya sebagai ahli supranatural. Saya dengar hari ini Goto-san juga ada di sekolah. Mungkin nanti kalian bisa berbincang-bincang dengannya."

“Baik, kami akan lakukan itu jika memang kami bertemu dengan dia.", riak wajah Hongo-san menunjukkan ada ketidaksukaan di sana. Entahlah, apakah dia mengenal Goto Eiji?

"Lalu terkait siswa-siswi yang meninggal, apakah kami boleh meminta data diri mereka?", tanya Hongo-san, melanjutkan percakapan.

"Tentu saja. Kalian boleh minta data apapun yang kalian butuhkan. Saya akan menitipkan data-data tersebut kepada Kusumoto-sensei."

"Baiklah. Sebelumnya kami juga ingin memohon izin untuk bisa berkeliling area sekolah meskipun sudah di luar jam operasional dan untuk melakukan wawancara langsung pada peserta didik di sini."

"Ya, silahkan lakukan apa yang kalian butuh lakukan. Saya telah memberitahukan kepada staf dan karyawan sekolah. Selama kalian mengenakan ID CARD tamu, mereka akan bertindak kooperatif dan tidak akan menegur kalian. Yang penting kalian tidak mengganggu siswa dalam belajar. Apabila kalian membutuhkan bantuan lagi, kalian bisa sampaikan melalui Kusumoto-sensei."

"Terima kasih banyak, Murakawa-san. Kalau begitu, kami akan mulai melaksanakan tugas kami. Kami mohon pamit, shitsurei shimasu (permisi)."

Hongo-san lebih dulu melangkah melewati ambang pintu, kemudian aku menyusul di belakangnya. Dia menungguku hingga menutup pintu dengan baik, lalu kami berjalan bersama menuju tangga yang ada di ujung lorong. Belum jauh kami berjalan, kami mendengar ada orang yang berbincang. Sumber suaranya terdengar dari arah tangga. Pada awalnya, kami acuh saja. Akan tetapi ketika para sumber suara masuk ke dalam jarak pandang kami, aku bisa mendengar Hongo-san mendengkus.

Aku secara otomatis mengintip ke arah Hongo-san. Wajahnya nampak datar, seperti orang tidak punya emosi. Namun ketika aku melihat matanya, aku tahu orang ini sangat tidak menyukai orang di depan kami. Pupil yang seharusnya bulat pada sepasang mata onyx Hongo-san menjadi tajam, mirip seperti kucing ketika terkena silaunya mentari. Itu adalah reaksi alami yang Satoru-san tunjukkan ketika dia tidak suka dengan sesuatu. Memang aneh, aku pun pada mulanya mengira bahwa dia telah kerasukan hantu. Namun katanya, dia memang memiliki kelainan sejak lahir.

Kami berpapasan dengan dua orang. Satu orang adalah pria flamboyan berumur kurang lebih 20 tahunan. Rambutnya blond panjang dan setengah bagian atasnya diikat. Dia mengenakan kacamata hitam besar yang dia pasang agak turun. Tak ketinggalan sepasang anting berbentuk bulat kecil hitam tertempel pada kedua telinganya. Pakaian yang dia pilih tergolong heboh, dengan setelan jas berwarna magenta penuh glitter, kemeja kuning dan dasi hitam, plus syal bulu berwarna putih. Sedangkan yang satu orang adalah pria 30 tahunan yang tampilannya berkebalikan dengan yang lebih muda. Hanya mengenakan kemeja putih berlengan pendek dan celana kain berwarna hitam.

Tatapan Hongo-san yang tajam itu lebih ditujukan kepada pria yang flamboyan. Aku sungguh tergelitik untuk bertanya, sebetulnya ada apa? Namun sepertinya, aku tak perlu melakukan itu.

“Hei! Lihat ada siapa di sini? Siapa sangka ada Satoru si serba bisa di sini. Lama sekali kita tidak berjumpa! Apa yang kamu lakukan di sini?”, sapa si pria flamboyan.

Mendengar kalimat yang dilontarkan, Hongo-san menyeringai, kemudian menjawab, “Hahaha... Konbanwa (selamat siang), Eiji dan manajer. Ya... Mereka mengundangku kemari untuk menyelesaikan kasus yang tidak bisa kamu selesaikan. You see, karena aku serba bisa. Oh, omong-omong, perkenalkan. Dia asistenku, Kinjo Miki. Dia adalah spiritualis baru, tapi dia juga lebih bisa diandalkan dibanding seseorang.”

Hahaha! Kamu bisa saja. Hei, bagaimana jika dia dibandingkan denganmu? Siapa yang lebih baik? Setahuku kamu serba bisa karena kamu punya banyak sekali alat-alat magis. Enak sekali ya? Aku juga ingin menjadi anak orang kaya.”

“Haha. Apalah artinya itu semua? Meskipun aku punya banyak aset, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan orang yang banyak koneksi. Andai saja aku punya, saat ini aku pasti sudah terkenal sepertimu.”

“KAMU-! E-ehem! ... Satoru, kalau kamu ingin sekali terkenal, bagaimana kalau kita lakukan ini? Kita akan adu cepat untuk menyelesaikan masalah SMA Sendai no Kibou. Jika kamu bisa selesai duluan, aku akan promosikan agensi mungilmu kepada dunia. Kebetulan, aku yang ahli supranatural ini, sedang bekerjasama dengan media internasional, CMM!”

“Tidak terdengar begitu menggiurkan. Terakhir kali acaramu diputus kontrak oleh televisi setelah lima hari tayang-”

HEI! E-ehem! ... Kali ini itu tidak akan terjadi. Kamu tenang saja. Akan tetapi jika aku yang bisa menyelesaikan duluan, kamu tidak boleh muncul di hadapanku lagi!”

“Kedengarannya menarik. Menang atau kalah, aku tidak rugi. Ayo, Kinjo-san. Waktunya bekerja dengan santai.”

Hongo-san menggandeng tanganku, menarikku agar bisa segera pergi. Aku masih bisa dengar Goto Eiji berteriak-teriak di belakang kami, tetapi Hongo-san sudah enggan menanggapi.

“Hei! Hei tunggu! Hei! Kamu tidak bisa bertemu dengan aku selamanya! Kau dengar aku? HEI, SATORU!

Setelah itu Hongo-san menceritakan bahwa 24 tahun yang lalu, Goto Eiji merupakan anak tetangga sebelah apartemennya. Dia selalu iri dengan mainan atau buku bacaan yang dimiliki oleh Hongo-san. Mereka selalu berkelahi dan itu terbawa hingga mereka dewasa.

Sekali lagi aku mendengar dia mendengkus, lalu berkata, “Dari semua orang, kenapa harus bertemu dengan dia?”

“Bagiku kalian terlihat sangat akrab.”

“Berhenti bercanda. Aku tidak bisa akrab dengannya.”

Aku hanya bisa membalas dengan senyum simpel, kemudian berkata, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?”

Dia hening sesaat sambil memandang ke bawah.

“Aku tidak ingin menjawab tantangan Eiji... Itu sangat tidak penting. Tapi di sisi lain, aku merasa kasus di sekolah ini memang harus kita tangani secepat mungkin. Nasib satu nyawa bergantung di sini.”

Saat itu kami telah berada di lantai dasar. Sebuah taman megah terbentang di hadapan kami.

Hongo-san memejamkan mata kurang lebih lima detik, kemudian berkata kepadaku.

“Aku tahu cara tercepat untuk menuntaskan kasus ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status