“Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu-” KRAK! Sebuah pola yang membentuk jaring laba-laba telah muncul pada kubah pelindung, mulai dari bagian barat, melebar hingga separuh bagian kubah. Munculnya pola tersebut disertai dengan suara “Krak!”, bak tembikar yang meretak dindingnya. “A-apakah ini ilusi juga?” tanya Miki. Aku hanya bungkam ketika mendengar pertanyaan itu. Sekedar menoleh pun tidak, demi menyembunyikan senyum kecut yang terbit pada bibirku. “Aku tahu shadow ini adalah shadow yang kuat dan berumur sangat tua. Aku pun sudah memprediksikan, dari antara shadow-shadow yang pernah kuhadapi, shadow ini mungkin memiliki kekuatan yang paling dekat dengan kekuatan Ouroboros. Namun tetap saja, melihatnya merusak dinding kubah pelindung terkuat, membuat bulu di sekujur tubuh berdiri.”, gumamku dalam hati. Shadow itu, seakan menyadari bahwa aku sedik
“... Ayo mulai, Shadow! Hitung sampai sepuluh!”, seruku.Shadow menyeringai, dan dengan penuh semangat, dia mulai berhitung. Aku pun tak buang-buang waktu, segera memasukkan tangan ke saku jas, mengeluarkan sebuah cermin bundar seukuran telapak tangan, dengan empat buah batu kaca tertanam pada bingkainya. Tentunya bukan cermin biasa, melainkan alat supranatural yang dapat digunakan untuk memindahkan tubuh penggunanya ke suatu tempat.Aku memejamkan mata, lalu memusatkan konsentrasi untuk membentuk sebuah visual dalam pikiran, mengenai satu bagian di dimensi ini yang sempat kulewati. Setelah visual terbentuk, aku mengalirkan energi ke dalam salah satu batu pada cermin itu, sehingga sebuah gambar yang aku pikirkan muncul pada cermin. Selanjutnya, aku hanya perlu menjentikkan jari agar tubuhku dapat berpindah seutuhnya.CTIK!...Sunyi.Suara shadow yang tidak mengenakkan di telinga itu sudah tak lagi terdengar.Aku kembali membuka mata, mendapat area di sekelilingku
“Hah...” aku melepas napas panjang sambil mengupas buah apel yang kubeli tadi pagi. Bukan untukku, tapi untuk pria yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Kalian bertanya siapa pria itu? Oh, kalian pasti tahu... Pria itu adalah orang sinting yang berhasil memenangkan permainan petak umpet dengan shadow. Tak lain dan tak bukan, Hongo Satoru.Ya, kami semua—aku, Satoru, Yuma-san, Shiroyama-san, dan tiga polisi—berhasil keluar dari dimensi shadow dengan selamat. Lebih dari itu, kami—atau lebih tepatnya Satoru—berhasil membawa pulang bagian kepala yang selama ini dicari-cari oleh semua orang.Mukjizat... bisakah aku bisa menyebutnya seperti itu? Entahlah... Satoru sudah mempersiapkan alat-alat yang dia bawa sebelum berangkat ke rumah terbengkalai. Dia bisa saja sudah memiliki suatu rencana, yang lagi-lagi, tidak dia bagikan kepadaku maupun Yuma-san....Kurasa dia tidak akan membagikan idenya. Jika tahu endingnya akan seperti ini, aku jelas tidak akan se
Dalam satu malam, kondisi tubuhku membaik dengan sangat pesat sampai dokter mengatakan bahwa aku sudah bisa keluar rumah sakit. Ditambah dengan penglihatanku yang sudah hampir pulih seutuhnya, aku pun memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah bersiap untuk pulang. Di tengah persiapan itu, ponselku bergetar singkat, tanda seseorang mengirimkan pesan kepadaku.[Satoru, Shiroyama-san memberi kabar gila hari ini! Gawat! Ketika kita bertemu, kamu harus mendengarnya!]Brrrrrrrt! Ponselku bergetar lagi, sebab Miki mengirimkan pesan lanjutan.[Tapi sebelumnya, aku perlu pergi ke makam terlebih dahulu. Hanya sebentar saja kok! Setelah itu, aku akan segera meluncur ke rumah sakit!]...Benar juga. Aku lupa memberi tahu Miki kalau aku akan pulang.[Aku sudah berkemas untuk keluar rumah sakit. Jika kamu ingin bertemu denganku, langsung saja ke kantor.]Brrrrrrrt![EH!? Kamu sudah diperbolehkan keluar rumah sakit!? Usai dua hari kamu ti
“Uh... ada apa...?” tanyaku ketika melihat reaksi Satoru dan Paman Yuma. “Mengapa ekspresi kalian seperti itu?” Satoru diam sebentar, kemudian menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa.” Paman Yuma di sisi lain, hanya tertawa dan berkata, “Takdir memang bekerja secara misterius, Toru.” Aku yang tanpa ide di tengah-tengah mereka berdua, sekadar bisa bertanya-tanya dalam benak, “Apa yang mereka bicarakan?” Aku melirik kepada amplop merah yang aku genggam. Jelas, benda tersebut merupakan sumber masalahnya. Apakah seharusnya aku tidak menerima surat undangan ini? “Jika boleh tahu, undangan apa ini?” Satoru menatapku seperti orang ganar. Pria itu lantas menarik napas dalam dan menjawab, “Undangan untuk menghadiri acara hari jadi Serikat Spiritualis Dunia.” “EH!? Serikat Spiritualis Dunia!? Buat apa mengundang amatiran sepertiku!?” “Memangnya kamu tahu organisasi apa itu?” Satoru bertanya balik. “Tidak, tapi dari namanya kedengaran penting.” “Yah... tidak salah,” bala
Langit-langit polos yang begitu familiar. Pemandangan yang selalu menyambutku setiap kali terbangun dari tidur. Bersama itu, seberkas cahaya matahari akan mencoba menerobos masuk melalui celah yang terdapat pada tirai, demi menerangi setiap sudut ruanganku.Aku mengedipkan mata beberapa kali secara perlahan, memberikan kesempatan bagi netraku untuk menyesuaikan diri.“Ponselku di mana ya...?”Aku meregangkan badanku sebentar, kemudian bangkit dan meraih ponsel yang ada di samping bantal.Tuk, tuk, tuk. Aku mencoba menyalakan ponsel dengan mengetuk lembut layarnya dengan jari telunjuk. Namun, ponselku tetap saja bergeming. Layar hitamnya tidak kunjung memproyeksikan tampilan yang lain.“Aduh... Baterainya mati. Aku lupa lagi untuk mengisi dayanya.”Aku pun bergerak untuk menyambungkan ponselku dengan kabel charger. Sambil menunggu daya ponselku terisi, aku melirik ke arah jam dinding.“Masih jam empat pagi... Berarti aku bisa tidur lagi, tapi... kenapa rasanya ada yang tidak beres? Sep
“Kinjo-san, hari ini kamu lembur lagi?”, tanya seorang rekanku sambil melepaskan baju hazmat yang dia kenakan. Itu adalah baju kebangsaan para manusia yang bekerja di bagian produksi dari sebuah industri farmasi. Aku juga mengenakan baju yang sama.“Kalau kamu tidak lembur, mau ikut goukon?”, tanyanya lagi. Aku menghela nafasku dan bergumam kecil, "Goukon lagi…"Kamu tahu goukon? Goukon dapat disebut kencan buta. Kalau kamu bertemu orang yang kamu suka, kamu boleh mencoba berkencan dengannya. Jika tidak ada yang kamu suka, anggap saja sebagai acara hangout yang menyenangkan. “Ayolah! Parasmu cantik! Pasti para pria itu akan suka denganmu!", banyak orang mengajakku ikut goukon dengan alasan itu.Cantik? Aku tidak pernah menyebut wajahku cantik, aku hanya memiliki mata yang lebih lebar dari perempuan lain dengan bulu mata yang lentik. Alisku kebetulan saja lebih tebal dan rapi. Bibirku memang berwarna merah jambu, tetapi semua orang bisa mendapatkan bibir dengan warna yang sama dengan
“Itu… Bukan bola…”, batinku. Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi. “Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!” Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian! Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. “ Darah?”, lalu cekikikan. Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku. Aku mul