“Itu… Bukan bola…”, batinku.
Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi.
“Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!”
Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian!
Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi.
“ Darah?”, lalu cekikikan.
“ Darah?”, lalu cekikikan.
“ Darah?”, lalu cekikikan.
Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku.
Aku mulai menyesali keputusanku. Kenapa aku harus datang kemari?
“Kalau saja aku memilih pulang, aku tidak akan mengalami ini...”
“Kalau saja aku lebih bersabar, maka sekarang aku sudah berbaring di atas futonku.”
“Kalau saja ini hanya mimpi... Mimpi? Benar juga! Ini mimpi! Ya! Setelah minum sampai sebanyak itu, tidak mengherankan jika aku tertidur sebelum sampai di rumah!”
Berkali-kali aku berusaha menyangkal apa yang ada di depan netraku. Padahal, aku sendiri tahu bahwa ini bukan mimpi. Jika kamu yang berada di dalam posisiku, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?
Sungguh... Ini kelewat nyata untuk disebut mimpi. Namun di saat yang bersamaan, ini kelewat fantasi untuk disebut kenyataan.
Kemudian, seakan tidak sabar lagi menunggu aku merampungkan pergolatan batin, kepala bayi itu mulai bergerak.
... Persiapkanlah hatimu ketika kamu membaca ini.
Ratusan kaki kelabang bertumbuh dari bagian patahan leher si bayi. Bersama dengan itu, muncul suara “Ckiiiiiiiiiiiit”, bak suara belalang sembah yang tertindih badannya. Melalui mulut, hidung, serta telinga, muncul ribuan hewan semut dan laba-laba berwarna merah. Mereka semua dengan diiringi alunan lagu “Daraaaah~ Daraaaaah~”, mulai berdatangan menyerbu tubuhku!
Aku cukup beruntung karena aku berhasil membuat kakiku berlari sebelum bendera kematianku berkibar. Aku lari tunggang langgang menghindari para serangga. Akan tetapi, apalah yang diharapkan dari tubuh seorang Kinjo Miki? Aku telah menghabiskan satu tahun penuh bekerja di industri farmasi hingga tak pernah melihat matahari. Tak pernah satu menit pun aku luangkan untuk berolahraga. Alhasil, baru sepuluh hitungan aku berlari, nafasku sudah memburu.
...
Jika terus-terusan seperti ini, aku akan tewas dalam sepuluh hitungan yang selanjutnya. Sepuluh... Sembilan... Delapan...
BRUK!
... Tidak sampai sepuluh rupanya... Kakiku yang kikuk ini tersandung dengan kaki yang lain. Aku terjatuh ke depan, memberikan kesempatan emas bagi si kepala bayi dan pasukannya untuk menyedot habis darah dalam diriku.
Aku menoleh ke belakang. Kedua netraku segera terkunci pada lautan serangga yang siap melahapku. Mulut-mulut mereka menganga lebar. Benar-benar tinggal beberapa meter lagi dan mereka akan dapat mencicipiku.
...
“Ayah... Ibu... Sepertinya aku akan menyusul kalian lebih awal.”
Aku sudah memejamkan kedua netraku dan mengatupkan rahang sekuat mungkin, bersiap menerima rasa sakit yang akan menghujam tubuh. Namun, tampaknya takdir berkata lain. Di antara suara mengerikan para serangga dan tangis horor si setan kepala bayi, sayup-sayup aku mendengar suara yang lain. Itu adalah suara seorang laki-laki bernada bass yang indah dan aku mengenali suaranya. Dia berkata kepadaku, “Tenanglah. Jangan takut. Kamu akan memberikan dia energi tambahan jika kamu takut.”.
“... Hongo-san?”, panggilku.
“Benar, ini aku, Hongo Satoru. Dengarkan aku baik-baik. Kita bisa keluar dari sini, tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Tolong sebutkan mantera ini, ‘dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk menyegel shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. Segel dan letakkan Jinx dalam dimensi lain, yang hanya Sang Pencipta yang tahu.’. Ucapkan mantera itu usai aku rampung mengucap manteraku. Tanda aku selesai adalah ketika aku mengatakan ‘hancukan’. Kemudian masuklah ke giliranmu. Di akhir, kamu akan tutup mantra dengan kata ‘segel’ bersamaan dengan menepuk tangan satu kali. Mengerti?”
Dalam benakku, “Hah!? Yang tadi itu harus aku ingat? Hah? Apa tadi katanya? Elemen-elemen-”
“Aku akan mulai.”
“Tunggu! Ulangi sekali lagi mantranya!”
“Tenanglah. Ketika kamu sudah mulai mengucapkan mantera, lirik mantera dari sihir yang akan kamu gunakan akan otomatis mengalir begitu saja. Cukup ikuti alurnya. Aku mulai sekarang.”
Dia memulai mantranya. Berbeda dari suara Hongo-san sebelumnya yang hanya terdengar sayup-sayup, kini suaranya menggema ke berbagai sudut. Tidak hanya menggema, suaranya betul-betul menggetarkan jiwa. Kalau aku tidak salah dengar, mantra itu bunyinya, “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. HANCURKAN!”. Bersamaan dengan akhir alunan mantera itu, dia menepuk tangannya sehingga muncul bunyi nyaring, “PLAK!”. Setelah itu, aku melihat si kepala bayi dan para serangga mulai mengerang kesakitan. Ada sesuatu yang rontok dari si kepala bayi itu. Dia juga mendadak terlihat lemas tidak berdaya.
... Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi di depanku. Segala pertanyaan timbul kembali dalam benakku dan aku berakhir diam terpaku dengan rahang hampir jatuh ke bawah.
“A-apa yang... Terjadi...?”, tanyaku.
Akan tetapi suara Hongo-san kembali terdengar. Suaranya telah menjadi sayup lagi, namun itu cukup menghenyakkan aku, “Jangan berhenti! Lakukan sekarang! Sebutkan mantranya!”.
“A-ah! Baik!”, balasku spontan. Jujur saja otakku masih belum bisa mengolah segalanya. Kendati demikian, aku merasa lebih optimis akan selamat jika aku mengikuti perkataan Hongo-san. Aku pun menarik nafas yang dalam, kemudian dengan mantap hati kulafalkan sederet mantera, “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk menyegel shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. Segel dan letakkan Jinx dalam dimensi lain, yang hanya Sang Pencipta yang tahu. SEGEL!”.
...
Benar apa yang dikatakan pria itu. Detik aku mengucap mantera itu, mulutku bergerak begitu saja melisankan liriknya hingga purna. Aku segera menutup mantera dengan sebuah tepukan tangan yang kencang dan terjadilah sebuah kejadian fantasi yang selanjutnya.
Muncul angin yang sangat besar berhembus dari segala arah dan membuat kekacauan bagi pasukan-pasukan setan itu. Semuanya ditarik paksa dan ikut berkumpul pada satu titik, membentuk sebuah tornado raksasa. Tornado itu terus berhembus dengan kekuatan penuh, bahkan seluruh kegelapan di sekitarku pun ikut ditariknya.
Anehnya, aku sama sekali tidak terhuyung! Aku tetap berdiri tegap tanpa kesulitan, menyaksikan tornado raksasa yang kini telah berevolusi menjadi gumpalan angin yang hitam pekat. Barulah ketika itu, aku mulai bisa melihat benda-benda yang awalnya tidak dapat aku lihat, seperti sofa, meja, jendela, dan seorang laki-laki berperawakan sangat tinggi.
...
Ya, aku tahu semua orang akan terlihat lebih tinggi bagiku karena aku hanya 155 cm, tetapi sungguh dia sangat tinggi! Mungkin sekitar 180 cm.
Pria itu mengeluarkan sebuah gulungan kecil kemudian dilemparkannya ke arah gumpalan angin hitam di hadapannya. Dalam sekejap mata, angin yang membawa si setan kepala bayi, seluruh serangga dan energi kegelapan-atau apa pun sebutannya, digiring masuk ke dalam gulungan. Gulungan tersebut menggulung dengan sendirinya ketika sudah tidak ada yang disedot.
“Huh… Akhirnya selesai juga. Aku sudah terkurung di dalam kegelapan selama tujuh jam. Untung kamu datang.”, kata pria itu. Melalui suara bass miliknya, aku segera mengetahui bahwa dirinyalah sang Hongo Satoru. Pria yang sejak tadi berkomunikasi denganku di antara hidup dan matiku.
...
Sudah terkurung berapa lama dia bilang? Tujuh jam? Bagaimana caranya dia bisa tetap santai setelah terkurung di tempat gelap dengan setan menyeramkan yang haus darah selama tujuh jam?
“Hah... Sudahlah... Aku sudah tidak mengerti lagi...”
Nyuuuuut! Tiba-tiba saja kepalaku menjadi sangat sakit dan pandanganku berputar. Perlahan tubuhku menjadi ringan dan aku jatuh dalam kegelapan untuk yang kedua kalinya.
Itu adalah ingatanku yang pada malam itu.
“Aduh…” Aku terbangun karena rasa sakit di seluruh badanku. Ini seperti habis dipakai untuk lari maraton 10 km. Sangat lelah dan otot-ototku seperti ditusuk jarum kalau mau digerakkan. But that aside, aku baru sadar kalau aku tidak bangun di kamarku. Cat tembok kamarku itu berwarna biru muda, tetapi ini warna putih. "Aku ada di mana?", tanyaku dalam hati. Aku paksakan badanku untuk duduk agar aku dapat melihat ruangan itu dengan lebih baik. Ruangan itu lumayan luas dengan beberapa perabot bertema vintage. Penataannya tidak asal-asalan sehingga sangat nyaman untuk dipandang. Pada bagian atap dan beberapa sudut kamar terdapat kaca jendela super besar sehingga memudahkan cahaya matahari untuk menyisip masuk dan menambah kesan hangat dari ruangan itu. “Apakah aku ada di hotel?” Aku melakukan sedikit peregangan agar badanku tidak terlalu sakit kemudian berjalan ke arah pintu. Ada dua pintu di sana, yang satu adalah kamar mandi dan yang satu membuka jalan untuk turun ke bawah. Aku tur
Halo, namaku Kinjo Miki, 25 tahun. Aku menjalani kehidupanku dengan baik sejak bergabung dengan HCO. Kira-kira... Hm... Sebulan yang lalu? Iya, aku bisa membayar tagihanku, bahkan aku punya cukup uang untuk bisa makan tiga kali sehari. Aku juga bisa membeli kopi yang selama ini hanya ada dalam angan-angan saja. Aku pun bisa istirahat dengan cukup. ... Cukup, kecuali pagi ini. Brrrrrrt! Brrrrrrt! Brrrrrrt! Tut. "Ya… Halo…? Oh… Hongo-san… Ini masih jam lima... Ada apa menelepon pagi-pagi begini? … Eh? Ke kantor sekarang juga?" Pada suatu pagi yang masih nyaman untuk istirahat, Hongo-san meneleponku agar segera datang ke kantor. Katanya, "Kemasi pakaianmu. Kita akan menginap sampai beberapa hari." Titah bos adalah absolut. Meski sukma dan ragaku belum bersatu, aku mulai berkemas. Kami akan pergi ke Prefektur Miyagi bersama klien kami dengan naik mobil. Perjalanan dari Tokyo ke Miyagi memakan waktu lima setengah jam. Sebuah mobil sport hitam datang tidak lama setelah aku sampai
SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain. Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis. Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka tam
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga. Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian… Aku tertinggal. "Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis. Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai. Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas ter
Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan. "Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura." Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus. Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram. Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun. Nam
Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini
Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk
“WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A