Share

The Girl Meets The Guy and The Shadow #2

“Itu… Bukan bola…”, batinku.

Aku beranikan diriku untuk menilik bola itu. Sepasang mata, sepasang telinga, hidung dan mulut yang mungil-mungil selayaknya bayi.

“Oh Tuhan! Itu bukan bola! Itu kepala bayi! Itu setan kepala bayi!”

Detik itu aku merasakan reaksi legendaris yang biasa muncul dalam film-film horor. Otakku berkabut, ditutup rasa takut, panik, stres, yang bercampur menjadi satu. Aku ingin kabur tetapi seujung jari pun tidak bisa kugerakkan. Aku ingin minta tolong, tetapi kepada siapa? Aku sendirian!

Aku bertatapan lumayan lama dengan si setan bayi. Mungkin aku telah melewati beberapa menit? Entahlah. Aku sudah tidak menghitungnya lagi. Selama itu juga aku hanya mendengar kata yang sama dan suara cekikikan bayi.

“ Darah?”, lalu cekikikan.

“ Darah?”, lalu cekikikan.

“ Darah?”, lalu cekikikan.

Itu semua diulang-ulang hingga aku hampir gila. Nafasku mulai tidak beraturan dan jantungku berdegup sangat keras. Keringat dingin sudah seperti sungai mengalir di badanku.

Aku mulai menyesali keputusanku. Kenapa aku harus datang kemari?

“Kalau saja aku memilih pulang, aku tidak akan mengalami ini...”

“Kalau saja aku lebih bersabar, maka sekarang aku sudah berbaring di atas futonku.”

“Kalau saja ini hanya mimpi... Mimpi? Benar juga! Ini mimpi! Ya! Setelah minum sampai sebanyak itu, tidak mengherankan jika aku tertidur sebelum sampai di rumah!”

Berkali-kali aku berusaha menyangkal apa yang ada di depan netraku. Padahal, aku sendiri tahu bahwa ini bukan mimpi. Jika kamu yang berada di dalam posisiku, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?

Sungguh... Ini kelewat nyata untuk disebut mimpi. Namun di saat yang bersamaan, ini kelewat fantasi untuk disebut kenyataan.

Kemudian, seakan tidak sabar lagi menunggu aku merampungkan pergolatan batin, kepala bayi itu mulai bergerak.

... Persiapkanlah hatimu ketika kamu membaca ini.

Ratusan kaki kelabang bertumbuh dari bagian patahan leher si bayi. Bersama dengan itu, muncul suara “Ckiiiiiiiiiiiit”, bak suara belalang sembah yang tertindih badannya. Melalui mulut, hidung, serta telinga, muncul ribuan hewan semut dan laba-laba berwarna merah. Mereka semua dengan diiringi alunan lagu “Daraaaah~ Daraaaaah~”, mulai berdatangan menyerbu tubuhku!

Aku cukup beruntung karena aku berhasil membuat kakiku berlari sebelum bendera kematianku berkibar. Aku lari tunggang langgang menghindari para serangga. Akan tetapi, apalah yang diharapkan dari tubuh seorang Kinjo Miki? Aku telah menghabiskan satu tahun penuh bekerja di industri farmasi hingga tak pernah melihat matahari. Tak pernah satu menit pun aku luangkan untuk berolahraga. Alhasil, baru sepuluh hitungan aku berlari, nafasku sudah memburu.

...

Jika terus-terusan seperti ini, aku akan tewas dalam sepuluh hitungan yang selanjutnya. Sepuluh... Sembilan... Delapan...

BRUK!

... Tidak sampai sepuluh rupanya... Kakiku yang kikuk ini tersandung dengan kaki yang lain. Aku terjatuh ke depan, memberikan kesempatan emas bagi si kepala bayi dan pasukannya untuk menyedot habis darah dalam diriku.

Aku menoleh ke belakang. Kedua netraku segera terkunci pada lautan serangga yang siap melahapku. Mulut-mulut mereka menganga lebar. Benar-benar tinggal beberapa meter lagi dan mereka akan dapat mencicipiku.

...

“Ayah... Ibu... Sepertinya aku akan menyusul kalian lebih awal.”

Aku sudah memejamkan kedua netraku dan mengatupkan rahang sekuat mungkin, bersiap menerima rasa sakit yang akan menghujam tubuh. Namun, tampaknya takdir berkata lain. Di antara suara mengerikan para serangga dan tangis horor si setan kepala bayi, sayup-sayup aku mendengar suara yang lain. Itu adalah suara seorang laki-laki bernada bass yang indah dan aku mengenali suaranya. Dia berkata kepadaku, “Tenanglah. Jangan takut. Kamu akan memberikan dia energi tambahan jika kamu takut.”.

“... Hongo-san?”, panggilku.

“Benar, ini aku, Hongo Satoru. Dengarkan aku baik-baik. Kita bisa keluar dari sini, tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Tolong sebutkan mantera ini, ‘dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk menyegel shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. Segel dan letakkan Jinx dalam dimensi lain, yang hanya Sang Pencipta yang tahu.’. Ucapkan mantera itu usai aku rampung mengucap manteraku. Tanda aku selesai adalah ketika aku mengatakan ‘hancukan’. Kemudian masuklah ke giliranmu. Di akhir, kamu akan tutup mantra dengan kata ‘segel’ bersamaan dengan menepuk tangan satu kali. Mengerti?”

Dalam benakku, “Hah!? Yang tadi itu harus aku ingat? Hah? Apa tadi katanya? Elemen-elemen-”

“Aku akan mulai.”

“Tunggu! Ulangi sekali lagi mantranya!”

“Tenanglah. Ketika kamu sudah mulai mengucapkan mantera, lirik mantera dari sihir yang akan kamu gunakan akan otomatis mengalir begitu saja. Cukup ikuti alurnya. Aku mulai sekarang.”

Dia memulai mantranya. Berbeda dari suara Hongo-san sebelumnya yang hanya terdengar sayup-sayup, kini suaranya menggema ke berbagai sudut. Tidak hanya menggema, suaranya betul-betul menggetarkan jiwa. Kalau aku tidak salah dengar, mantra itu bunyinya, “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk meruntuhkan barrier yang melingkupi shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. HANCURKAN!”. Bersamaan dengan akhir alunan mantera itu, dia menepuk tangannya sehingga muncul bunyi nyaring, “PLAK!”. Setelah itu, aku melihat si kepala bayi dan para serangga mulai mengerang kesakitan. Ada sesuatu yang rontok dari si kepala bayi itu. Dia juga mendadak terlihat lemas tidak berdaya.

... Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi di depanku. Segala pertanyaan timbul kembali dalam benakku dan aku berakhir diam terpaku dengan rahang hampir jatuh ke bawah.

“A-apa yang... Terjadi...?”, tanyaku.

Akan tetapi suara Hongo-san kembali terdengar. Suaranya telah menjadi sayup lagi, namun itu cukup menghenyakkan aku, “Jangan berhenti! Lakukan sekarang! Sebutkan mantranya!”.

“A-ah! Baik!”, balasku spontan. Jujur saja otakku masih belum bisa mengolah segalanya. Kendati demikian, aku merasa lebih optimis akan selamat jika aku mengikuti perkataan Hongo-san. Aku pun menarik nafas yang dalam, kemudian dengan mantap hati kulafalkan sederet mantera, “Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk menyegel shadow yang ingin melukai kami. Nama shadow itu adalah Jinx. Segel dan letakkan Jinx dalam dimensi lain, yang hanya Sang Pencipta yang tahu. SEGEL!”.

...

Benar apa yang dikatakan pria itu. Detik aku mengucap mantera itu, mulutku bergerak begitu saja melisankan liriknya hingga purna. Aku segera menutup mantera dengan sebuah tepukan tangan yang kencang dan terjadilah sebuah kejadian fantasi yang selanjutnya.

Muncul angin yang sangat besar berhembus dari segala arah dan membuat kekacauan bagi pasukan-pasukan setan itu. Semuanya ditarik paksa dan ikut berkumpul pada satu titik, membentuk sebuah tornado raksasa. Tornado itu terus berhembus dengan kekuatan penuh, bahkan seluruh kegelapan di sekitarku pun ikut ditariknya.

Anehnya, aku sama sekali tidak terhuyung! Aku tetap berdiri tegap tanpa kesulitan, menyaksikan tornado raksasa yang kini telah berevolusi menjadi gumpalan angin yang hitam pekat. Barulah ketika itu, aku mulai bisa melihat benda-benda yang awalnya tidak dapat aku lihat, seperti sofa, meja, jendela, dan seorang laki-laki berperawakan sangat tinggi.

...

Ya, aku tahu semua orang akan terlihat lebih tinggi bagiku karena aku hanya 155 cm, tetapi sungguh dia sangat tinggi! Mungkin sekitar 180 cm.

Pria itu mengeluarkan sebuah gulungan kecil kemudian dilemparkannya ke arah gumpalan angin hitam di hadapannya. Dalam sekejap mata, angin yang membawa si setan kepala bayi, seluruh serangga dan energi kegelapan-atau apa pun sebutannya, digiring masuk ke dalam gulungan. Gulungan tersebut menggulung dengan sendirinya ketika sudah tidak ada yang disedot.

“Huh… Akhirnya selesai juga. Aku sudah terkurung di dalam kegelapan selama tujuh jam. Untung kamu datang.”, kata pria itu. Melalui suara bass miliknya, aku segera mengetahui bahwa dirinyalah sang Hongo Satoru. Pria yang sejak tadi berkomunikasi denganku di antara hidup dan matiku.

...

Sudah terkurung berapa lama dia bilang? Tujuh jam? Bagaimana caranya dia bisa tetap santai setelah terkurung di tempat gelap dengan setan menyeramkan yang haus darah selama tujuh jam?

“Hah... Sudahlah... Aku sudah tidak mengerti lagi...”

Nyuuuuut! Tiba-tiba saja kepalaku menjadi sangat sakit dan pandanganku berputar. Perlahan tubuhku menjadi ringan dan aku jatuh dalam kegelapan untuk yang kedua kalinya.

Itu adalah ingatanku yang pada malam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status