Share

Shadow at School #3

Tap! Tap!

Tap! Tap!

Tap! Tap!

Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga.

Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian…

Aku tertinggal.

"Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis.

Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. 

Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai.

Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas terlebih dahulu.

“… Tidak apa-apa. Aku akan menyusul secara perlahan.”, gumamku dalam hati, sudah menyerah mengejar Hongo-san dengan tubuh bak besi berkarat.

Saat itu aku masih sampai di antara lantai satu dan dua.

Tidak ada masalah di sana.

Belum.

Di situ aku sempat mengintip ke atas. Derap langkah si pria 180 cm itu sudah tidak terdengar oleh kupingku.

“Apakah Hongo-san sudah sampai? Cepat sekali.”, begitu pikirku, kemudian melanjutkan naik hingga lantai dua.

Nah… Sebetulnya aku sudah mulai ragu mau melangkah. Aku tidak tahu kenapa, tetapi hawanya terasa lebih seram. Hm… Bagaimana menjelaskannya? Aku merasa tempat ini jadi terasa jauh lebih dingin dan gelap. Berbeda dari ketika aku dan Hongo-san datang ke sini untuk menghadap Murakawa-san. Padahal, saat ini pun masih terang dan di luar sama sekali tidak mendung. Bangunan ini juga punya banyak sekali kaca jendela, aneh sekali jika terlihat gelap seperti ini.

Aku berdiri termenung beberapa saat. Aku tidak punya firasat yang baik akan ini.

...

Aku takut.

“Tenanglah, Miki... Ini masih terang. Tidak akan ada apa-apa.”, kataku, berusaha mendoktrin diriku sendiri.

Setelah menarik nafas panjang, akhirnya kubulatkan tekadku untuk tetap melangkah.

“Aku harus cepat bergabung dengan Hongo-san.”

Tap. Tap. Tap. Tap.

Akhirnya aku sampai di lantai dua. Satu lantai lagi, maka aku akan sampai di lantai tiga.

Tapi...

Sungguh…

Hawa semakin terasa tidak enak dan gelap, bahkan lampu otomatis di bangunan ini mulai menyala. Aku pun, entah mengapa, tidak dapat merasakan kehadiran manusia di sini.

Aku tahu saat ini memang masih jam pelajaran. Semua orang ada di kelas masing-masing di lantai satu, tetapi… Apakah mungkin sesunyi ini? Aku sampai bisa mendengar bunyi detak jantungku sendiri.

Sebelum aku berjalan naik lagi, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke lorong.

Tidak ada orang sama sekali. Aku hanya bisa melihat deretan lampu di langit-langit lantai dua. Kemudian pada bagian tengah lorong, mungkin jaraknya sekitar enam meter dari tempatku berdiri, ada satu lampu yang berkedap-kedip aneh. Suara-suara listrik yang korslet juga sesekali terdengar dari arah lampu yang berkedip itu. Kondisi ini betul-betul membuatku meremang dan dorongan untuk segera bergabung dengan Hongo-san semakin kuat. Kupercepat langkahku naik tangga, lalu tiba-tiba…

SRET!

Ada yang menarik rambutku!

Aku ditarik dengan sangat kuat hingga aku jatuh dari anak tangga.

Untunglah aku belum naik terlalu jauh, baru tiga anak tangga dari lantai dua. Namun tetap saja karena kakiku tidak siap menahan tubuhku, aku bisa mendengar “KRAK!” dari kakiku.

Kaki kananku terkilir!

Aku tidak dapat menahan diri untuk mengerang kesakitan. Ini sangat sakit!

“Gila! Siapa sih yang menarikku ke belakang!?”, umpatku dalam batin.

DEG!

Tunggu dulu. Siapa yang menarik…?

...

Bukankah… Aku sendirian…?

...

Gleg! Aku menenggak ludah. Ini belum sampai di lantai tiga, tetapi aku sudah mengalami hal yang seperti ini.

“Jangan pikirkan itu, Miki. Jangan pikirkan. Ayo naik ke atas saja.”, berkali-kali aku ucapkan kalimat itu pada diri sendiri agar tidak takut. Namun tetap saja tubuhku gemetaran. Tidak seperti ketika aku bertemu dengan shadow Jinx, kali ini aku tidak minum alkohol. Aku 100% yakin bahwa tadi memang ada yang menarik rambutku. Tapi siapa!? Aku kan sendirian!

Lalu tahukah kalian apa yang terjadi selanjutnya?

Tiba-tiba semua lampu yang ada di lantai dua mati. Hanya satu yang masih menyala, yaitu lampu yang awalnya kulihat berkedip. Kali ini dia menjadi satu-satunya lampu yang menyala dengan sangat terang. Langsung setelah itu, aroma anyir darah menyeruak masuk ke hidungku.

Aduh…

Apa lagi ini…

Sontak aku memanggil Hongo-san, berharap dia akan turun dan sewaktu melihatku begini, dia akan langsung membantuku. Akan tetapi sudah kupanggil berkali-kali dia tidak kunjung datang.

Saat itu instingku mengatakan bahwa aku harus segera pergi. Ada yang salah di sini!

Sambil menahan rasa takut, aku berusaha berdiri, bertumpu pada satu kaki saja. Kaki kananku tetap terasa sakit, tetapi aku sudah tidak peduli. Pokoknya aku mau pergi dari sini.

Kemudian…

“Hihihi. Sakit? Hihihi.”

Darahku berdesir. Aku tahu hal ini akan terjadi padaku. Aku menenggak ludahku sekali lagi dalam ketakutan.

Itu suara siapa…?

Samar-samar, aku melihat ada siluet seseorang dari bagian ekor mata kananku. Perlahan, aku menoleh ke arah sana.

DEG!

Apa yang aku lihat itu!?

Ada seorang gadis berseragam SMA Sendai no Kibou. Ia berdiri terhuyung-huyung di tengah lorong lantai dua, tepatnya di bawah lampu yang masih menyala. Cahaya lampu menyoroti sosok itu, sehingga aku bisa melihat dengan jelas kedua matanya yang bolong dan berdarah-darah. Lidahnya sangat panjang menjulur sampai ke bagian lehernya. Badannya sangat kurus, seperti tinggal kulit dan tulang saja. Warna kulitnya bukan putih, tetapi ungu.

Aku gemetaran dengan sangat hebat. Sudah jelas dia bukan manusia!

Masih dengan mata yang terkunci pada gadis itu, aku bergerak seperti siput untuk menaiki tangga. Semakin aku naik ke atas, kepala gadis itu juga semakin mendongak. Seakan-akan dia dapat melihat aku dengan sepasang mata bolong itu.

Kemudian yang terjadi selanjutnya betul-betul membuat aku ingin lompat langsung ke lantai dasar. Dia mengeluarkan sebuah tali tambang dari dalam mulutnya. Tali yang kasar permukaannya melukai bagian dalam rongga mulutnya. Alhasil, tali tambang yang seharusnya berwarna kuning, kini berubah menjadi warna merah karena terkena darah.

Lalu sambil tertawa-tawa...

DIA BERLARI KE ARAHKU!

Aku menjerit sejadi-jadinya!

Aku mencoba berlari sambil berpegangan pada pegangan tangga. Namun apa yang bisa dilakukan dengan kaki yang terkilir? Mau aku bergerak cepat pun, tidak akan sulit untuk dikejar.

Si gadis makin kegirangan dan berlari mengerikan seperti zombie.

Lamban? Tidak! Dalam waktu lima detik, dia sudah berjarak satu meter di belakangku!

HIHIHIHIHI! MATI!

Aku panik!

Aku panik!

Aku panik!

Apa yang harus kulakukan!?

Benar saja, tangan gadis itu menjangkau dan menarik rambutku. Dia hendak menjatuhkan aku lagi seperti sebelumnya. Untungnya aku berpegangan pada pegangan tangga dengan sangat kuat.

Selanjutnya dia berusaha melingkarkan tali tambangnya pada leherku. Apa yang mau dia lakukan terhadapku!?

Tidak! Aku tidak mau mati!

Saat itu yang terlintas di kepalaku hanya nama orang itu.

"HONGO-SAN TOLONG AKU!", teriakku, dengan suara tinggi melengking. Kemudian...

Wuuuuush!

Tubuh gadis itu terpental jauh ke lantai dua akibat hembusan angin yang sangat kencang, entah dari mana asalnya. Angin itu berhembus seakan memberi tembok pembatas agar gadis itu tidak dapat menyentuhku lagi. Setelah itu, aku mendengar namaku dipanggil dari arah lantai tiga. Aku mendongak dan menemukan Hongo-san sedang berlari turun.

Isak tangisku pecah. Ah… Akhirnya datang juga!

Namun gadis itu tidak berhenti. Dia bangkit lagi, kemudian berlari sambil mengayun-ayunkan tali tambangnya seperti koboi yang mau mengikat targetnya. Itu adalah pemandangan yang mengerikan! Apakah dia ingin mengikat leherku untuk yang kedua kalinya!?

Sama seperti sebelumnya, dia mampu melejit begitu jauh hanya dalam hitungan detik, mendahului larinya Hongo-san. Tembok angin yang memisahkan antara aku dan gadis itu juga seakan menjadi tidak bernilai, karena gadis itu tetap mampu menerobos secara paksa.

Melihat ini, Hongo-san tidak tinggal diam.

Dengan seluruh elemen dan energi abadi Sang Pencipta itu sendiri, gunakanlah itu untuk memberikan cahaya untuk melindungi kami.

PLAK!

Setelah pria itu menyebut mantra dan menepuk tangannya, tubuhku tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang silau. Kali ini gadis itu nampak kesakitan akibat terkena siraman cahaya. Raungannya memenuhi seluruh bangunan. Tinggi melengking dan mengerikan. Lalu dalam satu hitungan dia lenyap menembus tembok.

Hawa yang awalnya dingin kini mulai menjadi lebih hangat dan semua jadi terlihat jauh lebih terang.

Seperti itulah hari pertama kami bertugas di SMA Sendai no Kibou. Hongo-san memutuskan untuk mengakhiri aktivitas kami hari itu karena kakiku terkilir dan membawaku ke rumah sakit.

Setelah dilakukan penanganan, kami kembali ke hotel.

-Hotel-

"Hongo-san, aku sudah tidak apa-apa. Kamu boleh istirahat di kamarmu."

"Iya sebentar."

...

Kurasa huru-hara yang menimpaku di sekolah telah membuat pria ini merasa sangat tidak enak hati. Sejak kembali ke hotel, Hongo-san tidak mau kembali ke kamarnya dan ngotot untuk ikut masuk ke kamarku dulu, jaga-jaga kalau aku perlu bantuan. Beberapa kali dia juga  meminta maaf kepadaku.

"Maafkan aku. Seandainya aku tidak meninggalkanmu, kakimu tidak akan terkilir.", begitu katanya.

Sebetulnya, aku cukup kaget. Hongo-san yang selama ini aku tahu sangat datar, ternyata bisa sensitif juga. Ya, mungkin sebagian disebabkan karena dia telah berjanji akan melindungiku.

Aku hanya bisa menghela nafas dan tersenyum pasrah. Akan kubiarkan dia melakukan apapun yang bisa meringankan rasa tidak enak di hatinya.

...

Hanya saja…

Aku nervous! 

Ini adalah kali pertama ada laki-laki masuk ke kamarku! Bukan pula sembarang laki-laki, dia adalah bosku yang super tampan! Kenapa juga dari semua tempat yang bisa diduduki, dia memilih untuk duduk di sampingku dengan jarak hanya satu jengkal jari!? Lengan kami sering sekali bersinggungan!

"Ya Tuhan, kenapa jantungku berdebar tidak karuan? Mohon kuatkan jantungku!", jeritku dalam batin.

Brrrrrrrt!

Brrrrrrrt!

Brrrrrrrt!

Ponsel pria di sebelahku bergetar cukup lama, tanda ada telepon yang masuk. Dia segera meraih ponsel yang ada di dalam saku bajunya, lalu mengangkat telepon.

"Halo."

Mengingat jarak antara aku dan pria itu duduk sangat dekat, aku juga bisa mendengar orang yang menelepon Hongo-san berbicara. Dari suaranya, itu adalah Kusumoto-san.

Aneh…

Kenapa suaranya terdengar seperti sedang menangis?

"Hongo-san…! Huuu! Hongo-san…! Saya Kusumoto… Huuu! Hongo-san…!"

"Tenangkan dirimu, Kusumoto-san. Bicaralah perlahan-lahan… Ada apa?"

"Hongo-san… Murakawa-sensei… Huuuuu…"

Aku kaget mendengar kelanjutan kalimat Kusumoto-san, begitu pula dengan Hongo-san. Terlihat dari matanya yang terbelalak.

Setelah telepon ditutup, aku mencoba bertanya kembali pada Hongo-san. Aku berharap apa yang aku dengar tadi itu salah, meskipun aku bisa menilai sendiri dari raut wajahnya, aku tidak salah dengar.

Dan memang benar, aku tidak salah dengar.

"Murakawa-san... Ditemukan tergantung di pohon sakura."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status