SMA Sendai no Kibou berbentuk seperti sebuah lukisan dengan bingkainya. 'Bingkai' dibangun dari empat gedung yang saling berhadapan. Pada sisi utara ada Gedung D, yaitu tempat siswa kelas 10 dan 11 menuntut ilmu. Pada sisi barat terdapat Gedung C, letak kelas siswa kelas 12, kantor guru, ruang kepala sekolah, dan perpustakaan berada. Pada sisi timur adalah Gedung B yang merupakan gedung olahraga. Terakhir, pada sisi selatan ada Gedung A, sebagai gedung serba guna, lengkap dengan aula dan lain-lain.
Tepat di antara keempat gedung tersebut, dibangun sebuah taman yang megah. Inilah yang bertindak sebagai ‘lukisan’. Berbagai macam tumbuhan yang tak melulu hijau hadir di sana, seakan menyumbang guratan molek pada bidang kanvasnya. Melihat keindahan tersebut tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa tempat ini menyimpan kisah tragis.
Aku pun merupakan salah satu orang yang nyaris tidak percaya, saking indahnya taman ini. Sungguh, jika ada predikat taman sekolah terindah di Jepang, maka taman inilah yang akan menang. Namun ketika kakimu melangkah semakin dalam ke jantung taman, kamu akan tersadar pada sebuah realita bahwa tempat itu menyeramkan.
Ada sebuah pohon sakura yang berdiri kokoh di tengah taman. “Tentulah pohon sakura itu elok rupanya.”, apakah begitu yang terlintas dalam benak kalian? Ya, tentu pohon tersebut terlihat elok. Ditambah lagi, pohon sakura milik SMA Sendai no Kibou dilengkapi dengan fitur tambahan berupa tali-tali tambang yang menggantung pada dahan-dahannya. Total tali tambang yang menggantung di sana ada enam, sesuai dengan jumlah korban yang meninggal sejak tahun lalu.
…
Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa tali-tali itu tidak dicopot? Sebagai pengingat? Mengapa tidak menggunakan cara yang lain saja? Ini hanya membuat bulu kuduk merinding.
“Kinjo-san.”, suara bass Hongo-san menghenyakkan aku dari pikiranku.
“Y-ya?”
"Jangan tegang."
…
Tidak akan ada orang normal yang tidak tegang melihat ini, Hongo Satoru-san! Terutama kalau tahu tali tambang yang gelantungan di sana asli bekas ‘sesuatu’!
Lagipula, AKU DUDUK TEPAT DI BAWAH POHON INI!
Aku menghela nafas panjang untuk mengatur kembali emosiku, kemudian memulai percakapan.
“Hongo-san, boleh aku bertanya?”.
“Boleh.”, timpalnya.
“Apa yang kita lakukan di sini?”
Aku bertanya karena sejak kami turun tangga, dia belum menjelaskan apapun kepadaku. Dia hanya mengatakan kalau dia tahu cara paling cepat untuk menuntaskan masalah SMA Sendai no Kibou, kemudian memintaku untuk mengikutinya dan sampailah kami di pohon sakura ‘legendaris’.
“Kita sudah di sini sejak satu setengah jam yang lalu. Selama itu, kita hanya duduk dalam keheningan. Hongo-san... Sebetulnya apa yang kita lakukan di sini?”
“... Pertanyaan yang bagus.”
…
Kupikir dia akan melanjutkan kalimatnya, akan tetapi tidak. Dia diam setelah itu.
...
Aku sudah tidak tahan.
Bolehkah aku curhat sedikit kepada kalian?
Sesungguhnya, aku mengakui bahwa orang ini tampan- Tidak. Sangat tampan. Bahkan jika ada satu tingkat lagi di atas ‘sangat tampan’, akan kuberikan kepadanya. Seumur hidup aku belum pernah menemukan orang yang lebih tampan dari orang ini. Ditambah lagi, sebetulnya dia sangat perhatian dengan orang di sekitarnya.
Aku pernah dengan bodohnya mengenakan rok terbalik ketika menemui klien di sebuah perusahaan besar. Bagian ritsleting yang harusnya di belakang malah ada di sisi depan. Aku masih belum sadar akan kebodohanku itu. Tiba-tiba, dia meletakkan jasnya di atas pangkuanku. Kupikir itu adalah salah satu tugasku sebagai asisten, maka aku membiarkan jas Hongo-san bertengger di pahaku. Aku baru meyadari bahwa rok yang kukenakan terbalik ketika kami berada di mobil untuk kembali ke kantor HCO.
Kemudian secara ekonomi, aku yakin kasta orang ini melejit ke langit tingkat tujuh. Buktinya saja dia dapat memberiku upah dua kali lipat gajiku di industri farmasi. Itu juga setiap selesai satu kali permintaan klien, bukan tiap bulan. Selain itu, dia mampu membayar uang sewa dua kamar hotel bintang empat untuk tujuh hari. Setelah mengeluarkan uang sebanyak itu pun dia masih tampil dengan ekspresi datar, seperti tidak pernah mengeluarkan uang sama sekali. Belum lagi mobil sport miliknya yang harganya pasti sangat fantastis.
Tampan, perhatian, dan bergelimang harta. Bukankah dia sempurna?
Sayangnya...
Hah...
Setelah aku bergabung dengan HCO selama satu bulan, akhirnya aku menyadari sebuah fakta baru. Sebesar apapun misteri yang dihadapkan kepadaku, sebutlah itu shadow, hantu, aura, apapun itu. Tidak ada yang bisa mengalahkan Hongo Satoru.
Apa sebutan yang paling cocok untuknya? Raja Misteri?
Tidak.
Hongo Satoru adalah misteri itu sendiri. Mungkin jika kepalanya dibuka, kita akan melihat ratusan ribu atau bahkan jutaan keping puzzle. Waktu kepingan puzzle bagian luar diambil, potongan puzzle di bawahnya akan mencuat. Sesering apapun aku berusaha menerka apa yang ada dalam pikirannya, aku hanya akan menemukan sebuah teka-teki baru.
Sungguh...
Hongo Satoru, pemuda yang super tampan, perhatian, dan bergelimang harta, tetapi mistis, misterius, dan jauh dari jangkauan otak manusia normal.
Aku menghela nafasku sekali lagi. Kali ini bibirku sudah kelihatan maju beberapa sentimeter.
“Hongo-san, Kusumoto-san sudah mengirimkan data-data korban kepadaku. Daripada membuang waktu, bukankah akan lebih baik jika kita mulai investigasi kita sekarang?", tanyaku.
Biasanya, kami akan melakukan investigasi singkat terlebih dahulu. Fungsinya adalah untuk mendapatkan informasi tambahan atau sekedar menentukan apakah itu perbuatan shadow, arwah, maupun hal lain. Penanganan yang akan kami lakukan bisa berubah tergantung siapa musuh yang kami hadapi.
"Tidak. Itu akan terlalu lama. Kali ini kita akan bekerja dengan cara yang berbeda.", timpalnya.
"Kalau begitu, bisakah kamu menjelaskan padaku, apa yang kita lakukan di sini? Aku tidak akan tahu, jika kamu tidak menjelaskan kepadaku, Hongo-san", tanyaku lagi, dengan nada yang sedikit tinggi.
Aku bisa merasakan emosiku sudah hampir sampai di puncak Gunung Fuji. Akan tetapi orang ini, malah tertawa nyaring melihatku begini. Ini adalah poin minus lain dari Hongo Satoru. Selera humornya agak berbelok dari jalur. Dia selalu tertawa terbahak-bahak ketika melihat aku emosi. Entah lucunya ada di sebelah mana.
“Biar kujelaskan.”, katanya, kemudian tertawa terbahak-bahak lagi.
…
Beruntung dia atasanku.
Masih sambil terkekeh, dia berkata kepadaku, “Penjelasanku akan panjang. Dengarkan baik-baik, ya.”
Dia menarik nafas panjang, lalu membuangnya untuk menenangkan dirinya, kemudian dia mulai menjelaskan.
“Kinjo-san, setiap tempat, di mana pun itu berada, memiliki kemampuan untuk menyimpan suatu memori. Memori itu biasanya berisi kepingan-kepingan kejadian yang pernah berlangsung di situ. Mengingat pohon sakura ini bukan pohon biasa, tentu dia memiliki memori yang sangat bernilai. Maka sejak kita sampai di tempat ini, aku berusaha mengintip ke dalam memori itu. Ini disebut metode investigasi retrokognisi.
Tempat ini... Tidak salah lagi adalah tempat terkutuk. Aku melihat banyak sekali hal buruk terjadi di tempat ini. Penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, dan masih banyak lagi. Memang semuanya terjadi pada masa lampau, jauh sebelum SMA Sendai no Kibou didirikan, tetapi hal-hal buruk tersebut terus menerus diulang sampai akhirnya tercipta energi kutukan.
Masalahnya, energi kutukan adalah energi yang nikmat bagi shadow yang tidak baik. Mereka akan semakin ganas setelah menyerap energi itu. Aku sama sekali tidak heran jika ada shadow yang akhirnya cukup kuat untuk merayu manusia agar menggantung dirinya di pohon ini.”
Dia memberi jeda sejenak, lalu melanjutkan berkata, “Itu adalah infomasi pertama. Informasi kedua... Hm... Kinjo-san biar aku bertanya lebih dahulu. Kamu tahu mitologi Banshee?”.
“… Tidak. Apa itu?”
“Banshee adalah makluk mitologi dari Irlandia, berwujud wanita muda berwajah sedih atau wanita tua dengan pakaian compang-camping. Dia sering disebut-sebut sebagai pembawa pesan kematian.
Konon, dia suka datang dan meraung-raung pada setiap rumah yang anggota keluarganya akan meninggal. Namun sejatinya, Banshee sebagai pembawa pesan kematian tidak bertindak sebatas meraung-raung di rumah orang. Khususnya di tempat-tempat terkutuk seperti di pohon sakura ini, Banshee bisa saja muncul untuk menunjukkan di mana jiwa-jiwa dari korban kutukan terikat.
Maka dari itu, Kinjo-san, setelah ini kita akan menunggu sampai Banshee muncul di depan kita.”
“… Tunggu dulu. Hongo-san, katamu Banshee adalah makluk mitologi Irlandia? Irlandia, kan?”
"Betul."
"Tapi bukankah kita sekarang ada di Jepang? Bagaimana caranya dia muncul di sini?"
“Dia akan naik pesawat dari Irlandia kemari.”
…
Aku memilih diam seribu bahasa.
Aku merasa bodoh menunggu jawabannya.
Sekali lagi, Hongo-san tertawa. Aku tidak ingin mencari tahu kenapa dia tertawa. Aku yakin alasannya masih di seputar ekspresiku. Aku memang melongo mendengar jawabannya tadi.
“Kamu pikir Banshee tidak ada di Jepang? Kita juga punya Banshee hanya saja wujudnya berbeda. Kebanyakan yang aku lihat mengenakan kimono tua.”, ujarnya lagi sambil tertawa.
Aku mendengkus kesal sambil menjawab, “Aku sudah menduganya, Hongo Satoru-san.”.
Pria itu betul-betul membiarkan dirinya tertawa sampai puas. Setelah itu, dia masuk kembali ke dalam mode serius. Dia memberikan jeda lumayan panjang sebelum melanjutkan percakapan. Aku bisa melihat ada sendu pada kedua bola mata Hongo-san.
“Para korban... Mereka masih bocah. Tidak seharusnya jiwa mereka terikat di tempat busuk seperti ini. Aku sungguh berharap bahwa Banshee akan cepat muncul dan membawa kita ke tempat jiwa mereka diikat. Setelah itu, kita akan melepaskan mereka, sekalian mencari tahu nama shadow kepa**t itu. Mereka pasti tahu namanya.”, katanya.
…
Kenapa kita harus tahu nama shadow?
Aku sempat menanyakan hal itu kepada Hongo-san. Katanya, untuk menyegel shadow akan lebih baik jika kita tahu siapa yang kita segel.
Dengan nama, kekuatan dan efektifitas dari mantra penyegel akan menjadi berkali-kali lipat dibandingkan ketika menyegel shadow semudah kita sebut ‘shadow’. Selain hanya membuang energi, para shadow juga akan kabur dengan mudah dalam beberapa hari saja.
Oleh karena itu, aku mengerti mengapa kami harus repot-repot mencari nama shadow.
Kali ini aku lebih tergelitik dengan metode investigasi retrokognisi. Metode itu… Aku rasa jauh lebih efektif dibandingkan dengan proses investigasi yang biasa kami lakukan. Lalu mengapa selama ini dia tidak pernah menggunakannya?
Baru aku mau membuka mulut hendak bertanya kepadanya, tiba-tiba saja darah segar mengucur dari hidungnya.
"E-eh!? Hongo-san, kamu tidak apa-apa!?"
Aku buru-buru mengeluarkan sapu tanganku untuk menyeka darah di hidungya.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih, Kinjo-san.”, ujarnya sambil mengambil alih sapu tangan agar aku bisa menarik tanganku.
...
“Kamu sungguh tidak apa-apa? Darah yang mengalir lumayan deras. Mengapa tiba-tiba begini? Apakah kepalamu pusing?”
Aku membombardir Hongo-san dengan banyak pertanyaan. Mau bagaimana pun, aku pernah berkuliah jurusan farmasi. Jiwaku tetap bergetar setiap melihat orang sakit. Aku mengeluarkan parasetamol yang selalu kubawa di dalam kantong bajuku, lalu kuberikan kepadanya bersama sebotol air dari dalam tasku.
“Ya. Aku tidak apa-apa, hanya pusing sedikit. Kurasa aku terlalu banyak mencari informasi.”, jawabnya, sambil menenggak parasetamol dan air yang kutawarkan kepadanya.
...
“Lain kali... Mari kita lakukan metode investigasi yang biasa. Aku lebih suka bermain detektif.”, ucapku.
Dia membalas kalimatku dengan tawa kecil. Sepertinya kali ini aku menebaknya dengan benar. Metode investigasi retrokognisi yang dia gunakan memiliki dampak bagi tubuhnya.
Aku meminta Hongo-san untuk beristirahat seraya menunggu kehadiran Banshee.
Setelah beberapa saat, warna wajahnya menjadi cerah kembali.
-Setengah jam kemudian-
Kami masih menunggu di bawah pohon sakura. Tiba-tiba terlihat pada ujung pandang kami, ada sesosok yang mendekat.
Bukan Banshee, itu adalah Murakawa-san.
Badan tambunnya seperti dipaksakan untuk berjalan secepat yang dia bisa untuk mendatangi kami berdua. Akhirnya, kami ambil inisiatif untuk jadi yang mendekati Murakawa-san.
“Ada apa, Murakawa-san?”, tanya Hongo-san.
Wajah Murakawa-san sangat putih, seperti habis melihat sesuatu. Dia berusaha mengucapkan apa yang ingin dia sampaikan, tetapi hanya ungkapan terbata-bata yang tidak jelas. Akhirnya, dia hanya mengarahkan telunjuknya.
Kami mendongakkan kepala kami ke arah yang ditunjuk Murakawa-san, di lantai tiga Gedung C.
“Hongo-san, di sana ada apa?”, tanyaku, karena aku tidak melihat apapun.
“Aku juga tidak melihat apapun. Kinjo-san, kita akan mengecek ke sana.”
Kami bergegas menyusuri lorong tangga hingga ke lantai tiga.
Dan jujur…
Itu adalah penyesalanku.
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Derap langkah kaki milik dua orang yang saling bersaut-sautan membelah kesunyian di sepanjang lorong tangga. Itu adalah bunyi langkah kakiku dan Hongo-san. Kami berjalan secepat mungkin untuk bisa mencapai lantai tiga. Kami masih bersama saat melewati lantai satu, sampai kemudian… Aku tertinggal. "Astaga… Ini baru lewat satu lantai, tahu...?", ujarku, dengan dada yang sudah kembang-kempis. Tinggi satu anak tangga di bangunan sekolah ini lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mungkin ini tidak menjadi masalah bagi kaum tiang listrik seperti Hongo-san, tetapi ini cukup ampuh untuk membasmi kaum kurcaci sepertiku. Ditambah lagi, aku adalah kurcaci yang tidak pernah berolahraga. Meskipun aku dan Hongo-san sama-sama berjalan cepat, aku dapat dengan mudahnya tertinggal. Pada awalnya aku hanya tertinggal tiga anak tangga saja, lalu lima, lalu tujuh, dan lama kelamaan, aku tertinggal satu lantai. Aku menghentikan langkahku untuk mengumpulkan nafas ter
Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan. "Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura." Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus. Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram. Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun. Nam
Sesekali target pandang kedua netraku teralih kepada dua objek di ujung bangunan rumah sakit. Dua pria jakung itu, Satoru-san dan Goto-san, berbincang empat mata cukup lama. Sepertinya hampir 30 menit mereka di sana. Aku pun bertanya-tanya dalam batin, “Kira-kira apa yang mereka perbincangkan ya? ... Pasti membicarakan hal yang di luar akal sehat manusia.” Ah, berbicara mengenai hal di luar akal sehat... Ketika aku tertahan oleh shadow, apakah Satoru-san juga mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan? Pria itu sama sekali belum mengatakan apapun kepadaku. “Kurasa aku akan bertanya setelah pulang dari sini.” -Beberapa saat yang lalu- Eiji, si burung beo, tiba-tiba meminta waktuku untuk berbicara empat mata. Dia mengajak aku untuk berbincang hanya berdua? Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rasanya seperti menemukan keajaiban dunia yang kedelapan. “Apa yang ingin dia bicarakan?”, otakku secara otomatis menerka-nerka topik apa yang ingin dia bahas. Apakah ini
Aku bernafas lega ketika mendapati bahwa sosok yang mendatangiku bukanlah sosok-sosok yang wujudnya kelewat mengerikan dengan sifat agresif, melainkan sosok yang begitu elegan. Akan tetapi… Mau secantik apapun perwujudan di depan sana, kewaspadaanku tidak dapat hilang seutuhnya. Cara datangnya gadis itu saja telah membuat aku gamang. Dentingan geta yang ia ciptakan selagi berjalan kemari itu begitu menyeramkan. “Ke mana?”, tanyaku kepada sosok yang saat ini membungkuk sopan di depan pintu ruang kelas. Dia hanya menjawab pertanyaanku menggunakan gestur tubuh. Ia menegakkan badan, lalu mengarahkan sebelah tangannya ke pintu keluar. “Dia bukan anak Murakawa-san. Hanya wujudnya saja yang sama.”, kuulangi terus kalimat itu berkali-kali dalam kepalaku. Tidak hanya gadis itu saja yang membuat aku tidak ingin lengah begitu saja. Variabel lainnya adalah kemunculanku di ruang kelas ini yang cukup absurd. Aku sangat yakin, aku hanya memejamkan mata selama beberapa detik. Seketika aku membuk
“WAA!” Aku tersentak, seperti orang yang terbangun dari mimpi buruk. Nafasku agak kacau dan degup jantungku berpacu dengan cepat. “Apa yang barusan terjadi...?”, tanyaku dalam hati, sambil menyeka dahi yang sudah basah kuyub karena keringat. Yang kuingat terakhir kali adalah Si Gadis Banshee menjentikkan jari, kemudian telingaku menjadi sangat sakit akibat suara yang dihasilkan. Setelah itu... Aku hanya melihat kegelapan. Tapi telingaku, entah karena jentikan jari Banshee atau bukan, aku jadi mendengar berbagai ungkapan sumpah serapah yang entah dari mana sumbernya. Semuanya serapah itu mengharapkan bahwa aku mati. Tak berselang lama, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. ... Tarik nafas... Buang... Bebarengan dengan permainan napas, kupaksa batinku untuk berulang kali mengucapkan,“Tenanglah, Miki... Suara itu sudah tidak terdengar lagi.”. Usai lewat beberapa waktu, aku baru mulai berada dalam kendali. Kini aku baru menangkap bahwa aku sudah tidak lagi ada di rumah sakit. “A
Aku menceritakan segala yang terkait pertemuanku dengan Banshee pada Satoru-san. Tidak ada satu pun yang aku tutupi. Usai kuceritakan, Satoru-san langsung kembali ke kamarnya untuk bersiap. Aku juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa cepat. Butuh waktu yang lebih lama bagiku untuk bersiap karena kakiku yang masih sakit. Untungnya Satoru-san sangat tolerir dengan itu. Dia bahkan membawakan sarapan ke kamarku dan kami makan bersama terlebih dahulu. Kami berdua menggunakan meja dan sofa mewah yang berada tepat di depan ranjang. ... Aku jadi tidak enak hati... Dalam batin aku berkata, “Harusnya aku yang membawakan makanan-makanan ini padanya, bukan sebaliknya.”. Aku adalah asistennya, tapi selama 30 hari bersama Satoru-san, aku sangat jarang memberikan bantuan yang berarti. Sebaliknya, kurasa aku lebih sering merepotkan dirinya. Lihat yang belakangan ini saja, berapa banyak uang dan perhatian sudah dia keluarkan hanya untuk mengurusku? Kamar hotel bintang 4, biaya rumah saki
Mobil sport hitam yang ditumpangi olehku dan Satoru-san telah sampai di depan bangunan sekolah megah dengan papan nama bertuliskan SMA Sendai no Kibou. Kali ini bukan Satoru-san yang menyetir, tapi seorang pria paruh baya berkemeja biru terang. Perawakannya tidak begitu tinggi dan ekspresinya secerah kemeja yang ia kenakan.“Toru tidak tidur semalaman ya?”, tanya pria itu, sambil menatap Satoru-san yang terlelap di kursi belakang. Pria itu memiliki hubungan dekat dengan Satoru-san, sampai dirinya memanggil Satoru-san dengan sebutan ‘Toru’. Tak heran, rupanya pria paruh baya itu adalah paman Satoru-san yang kebetulan sedang berada di Sendai. Namanya adalah Hongo Yuma.“Apakah kalian sedang menangani kasus yang sulit hingga dia kerepotan seperti ini?”, tanyanya lagi.Aku ingin sekali menjawab dengan, “Yuma-san, yang merepotkan itu aku, bukan kasusnya.”. Namun aku memilih untuk mengangguk saja, kemudian menambahkan, “Terima kasih sudah mengantar kami sampai di sini, Yuma-san. Kuharap kam
Hari ini begitu cerah. Matahari nampak menggantung di langit biru tanpa ada sedikit pun kapas yang menghalangi. Beberapa burung saling beradu lagu dan kupu-kupu asyik melintas mencari bunga termanis di taman sekolah milik SMA Sendai no Kibou. Alam seakan tidak sudi bersimpati meski seseorang telah diculik di depan mataku dan Yuma-san....Ya?Aku ada di mana?Aku ada di taman terkutuk itu. Aku berada tepat di jantung taman, di bawah pohon sakura yang terkenal horor di SMA Sendai no Kibou. Makanya aku bisa tahu aktivitas satwa-satwa yang kusebutkan tadi, karena semuanya aku lihat di taman ini. Aku dan Yuma-san sedang beristirahat sebentar di sana. Kami habis berkeliling mengitari lingkungan SMA Sendai no Kibou yang super luas.Tenang, kali ini aku berjalan sendiri kok. Aku tidak enak hati jika terus merepotkan orang tua. Kami sempat mendatangi UKS, dan untungnya mereka memiliki krak dan bersedia meminjamkannya kepadaku sampai aku selesai berkeliling sekolah.Aku duduk di bangku yang ad