Share

Shadow at School #4

Hari ini... Sudah berapa kali jantungku dipermainkan? Organ itu dipaksa berpacu dengan cepat pada siang hari dan saat ini seperti ada sewujud tangan yang mencengkeram dirinya. Rasa sesak di dadaku ini sampai tidak dapat aku acuhkan.

"Murakawa-san ditemukan tergantung di pohon sakura."

Baik aku maupun Hongo-san, tidak ada yang menyangka akan mendengar kabar ini. Murakawa-san ditemukan tergantung? Sungguh? Selama aku ikut HCO, ini adalah kali pertama ada seseorang yang meninggal selama kami menangani kasus.

Kami berdua dilanda kesunyian hebat dan suasana di kamar menjadi muram.

Aku tidak tahu apa yang Hongo-san rasakan, yang kutahu ia hanya memandangi layar ponsel mati di tangannya. Dahi pria itu mengkerut, seperti tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

Apabila kalian bertanya apa yang aku rasakan, aku dapat menyatakan bahwa aku merasa seperti tercekat. Saking tercekatnya, nafas yang keluar-masuk tubuhku menjadi tidak leluasa, bahkan aku tidak mampu melontarkan sepatah kata pun.

Namun satu hal yang pasti...

Aku tahu ini bukanlah manifestasi dari kesedihanku.

Ini... Mungkinkah karena aku merasa bersalah...?

Ingatan ketika diriku dan Hongo-san hendak keluar dari SMA Sendai no Kibou siang tadi segera menyisip ke dalam batinku. Setelah kami turun dari lantai 2 dan sampai di lantai dasar Gedung C,  kami bertemu dengan Murakawa-san. Orang itu memang berdiri di depan tangga untuk menanti kami, lengkap dengan warna wajah khawatir yang menggebu. Kurasa dia takut jika terjadi sesuatu kepada kami, tetapi di saat yang bersamaan juga takut untuk melangkah naik.

Benar saja, ternyata aku turun dengan kondisi kaki terkilir akibat shadow bermata bolong itu.

Aku ingat Murakawa-san menatapku yang sedang dalam gendongan Hongo-san dengan penuh rasa bersalah. Dia memohon maaf berulang kali, mengatakan bahwa seharusnya dia menahan kami untuk tidak naik ke atas, karena dia tahu apa yang menunggu kami di sana. Dia juga sempat mengatakan keinginannya untuk ikut dengan kami ke rumah sakit. Hanya saja, tiba-tiba ponselnya berdering dan kami mohon izin untuk pergi duluan dengan alasan kakiku harus segera ditangani.

Mengapa saat itu kami tidak menantinya? Jika dia ikut dengan kami, apakah tubuhnya tidak akan berakhir terayun-ayun di dahan pohon sakura? Apakah mungkin jika aku dan Hongo-san adalah orang terakhir yang memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Murakawa-san?

Sesak di dada dan leher yang tercekat...

Benar…

Ini adalah manifestasi dari perasaan bersalahku.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul secara bergantian. Setiap perenunganku itu membawa rasa pahit di hati. Bulir-bulir bening akhirnya mulai jatuh dari indera penglihatanku.

Sedih? Sekali lagi tidak.

Kesedihanku tidak ada bandingannya dengan kekesalan dan rasa kecewa yang menderu batinku. Aku kesal dan kecewa terhadap diriku sendiri. Aku terus menikmati kepahitan hati itu sampai akhirnya terdengar, "Pip!", sekitar kurang lebih tiga puluh menit kemudian.

Pip!

Pip!

Pip!

Itu adalah suara notifikasi dari ponsel Hongo-san. Jemari pria itu otomatis bergerak menekan layar ponsel guna mengecek semua pesan yang masuk. Setelah dia purna membaca seluruh pesan itu...

Bruk!

Dia membanting tubuhnya ke belakang. Setengah tubuh bagian atasnya kini menelentang di atas kasur. Dia meletakkan satu tangannya di atas dahi, bersamaan dengan dadanya terlihat mengempis karena menghela nafas. Katanya, "Murakawa-san tidak meninggal. Untungnya dia cepat ditemukan dan langsung dilarikan ke rumah sakit.".

Ribuan ucapan syukur segera mengisi relung hatiku dan aku turut menghela nafas. Berkali-kali bibirku berujar, “syukurlah!” atau “untunglah!”, seraya menyeka air mata.

Rasa bersalah yang menunjam hatiku sejak tadi berangsur-angsur lenyap, berhasil tergantikan dengan sebuah rasa kelegaan.

"Lalu bagaimana kondisinya sekarang?", tanyaku pada pria yang terbaring di sampingku.

“Dia masih berada di emergency room. Masih belum sadarkan diri.”

Pria itu memutar tubuhya sehingga dia tidur dengan posisi telungkup. Wajahnya dia pendam dalam-dalam pada permukaan kasur. Sebelah tangan yang awalnya bertengger pada dahinya kini ia gunakan untuk memijat bagian tengkuk. Dia melepaskan keluhannya bersamaan dengan itu.

"Hah… Tensiku…”

“Kamu tidak apa-apa?”, tanyaku.

Dia melambaikan tangannya sambil membalas, “Ya, ya. Aku tidak apa-apa.”.

Aku tidak dapat menahan sudut-sudut bibirku untuk naik. Sepertinya bukan hanya aku yang menikmati sensasi jadi manusia paling berdosa sejagad raya. Kutepuk-tepuk punggung pria itu sambil berkata, “Ini masih belum terlalu malam. Sepertinya akan lebih baik jika kita ke rumah sakit sekarang, Hongo-san.”

Aku sempat menelik ke arah jam dinding di atas punggung kasur. Waktu baru menunjuk pada pukul 18.30.

“Kamu benar.”, dia bangkit, kemudian menatapku lama.

“A-ada apa?”, tanyaku, akibat merasa canggung.

Dia terlihat menggelengkan kepala kemudian menjawab, “Tidak ada. Hanya menimbang ini dan itu... Sebelum kita berangkat, aku ingin melakukan sesuatu.”

“Apa itu?”, tanyaku.

Dia tidak menjawab, melainkan beranjak dari kasur menuju ke hadapanku. Dia berlutut dan mengambil salah satu tanganku. Pada punggung tangan itu, dia seperti menggambar garis imaginer berupa lingkaran dan sebuah titik pada tengahnya.

“Apa yang kamu lakukan?”, tanyaku.

“Memasang sebuah pelindung untukmu. Akan tetapi, ini hanya dapat diaktifkan satu kali saja. Gunakan pada saat kamu betul-betul dalam keadaan genting dan kamu sedang tidak berada di dekatku.”

“... Apakah aku akan diserang lagi?”

Mendengar pertanyaanku, dia menjawab, “Shadow adalah makhluk yang obsesif. Ketika dia sudah menentukan target buruannya tetapi gagal untuk mendapatkan, mereka tidak semudah itu untuk berganti mangsa. Usaha selanjutnya akan dilakukan sampai target berada dalam genggamannya.”

Aku terdiam. Otakku otomatis mereview kembali kejadian horor hari ini.

Oh... Darahku berdesir kuat setiap ingatan itu kembali.

Aku sungguh tidak ingin berurusan dengan shadow itu lagi. Pengalaman yang ia berikan hari ini sudah cukup untuk menanamkan sebuah trauma baru. Namun di saat yang sama, aku juga tidak ingin ada korban lain mengalami hal yang serupa denganku.

Percayalah...

Pengalaman itu sangat mengerikan. Tak perlu ada orang lain mencicipi sensasi tersebut. Mereka bisa mati. Aku sendiri hanya beruntung karena Hongo-san datang menyelamatkanku.

Aku tidak mau sampai ada yang nyawa terenggut. Oleh karena itu, aku harus berani berjuang untuk mereka.

Tapi... Aku sangat takut...

...

"Miki."

Aku tehenyak. Pria di hadapanku tiba-tiba saja memanggil nama belakangku. Tak berhenti, selanjutnya dia menggenggam tanganku dengan erat. Sepasang onyx miliknya memandangi kedua irisku dengan begitu dalam dan tenang.

“Kali ini aku tidak akan gagal untuk melindungimu.”

...

Ah...

Apakah yang terpikir olehku tadi tertera jelas di wajahku?

Aku berdehem kecil dan tidak dapat menahan diri untuk memasang seutas senyum. Kalimat yang dilontarkan oleh pria itu telah berhasil meneduhkan ketakutanku. Rasa getir yang hadir di dalamku perlahan luruh dan berubah menjadi sebuah perasaan yang lain. Aku dapat merasakan kehangatan pada kedua pipiku.

Masih dengan senyum bertengger pada wajah, aku menimpali pria itu.

“Terima kasih, Satoru-san.”.

-Rumah Sakit-

Aroma karbol menyeruak masuk ke dalam rongga hidungku. Itu adalah aroma yang biasa tercium oleh indera ketika seseorang berada di sebuah rumah sakit.

Saat ini, aku memang tengah berada di sana bersama Satoru-san. Lebih tepatnya, di depan ruang emergency room. Ini adalah kali kedua aku kemari. Sebelumnya adalah untuk merawat kaki kananku, sedangkan sekarang adalah untuk Murakawa-san.

Sambil menyandarkan punggung pada kursi roda yang baru dibelikan oleh bosku, aku mengedarkan pandanganku. Kami berdua tidak sendiri di situ. Ada pula Goto-san dan manajernya, Kusumoto-san dan beberapa guru lain, serta istri dan putri Murakawa-san yang masih menggunakan seragam SMP.

Melalui obrolan mereka, kami mengetahui bahwa yang menemukan Murakawa-san pertama kali adalah Goto-san. Namun bukan dalam posisi tergantung, melainkan hampir tergantung.

Murakawa-san dengan tatapan kosong membawa kursi ke bawah pohon sakura terkutuk itu, lalu meraih salah satu tali tambang, bersiap menggantungkan dirinya. Beruntung semua adegan itu disaksikan oleh Goto-san yang berniat membersihkan aura di sana. Detik Goto-san menyentuh tubuh Murakawa-san, pria paruh baya tersebut langsung jatuh pingsan.

Kusumoto-san berkali-kali memohon maaf kepadaku dan Satoru-san. Sepertinya dia mengalami shock yang dalam, sehingga dia gagal menyampaikan pesan yang seharusnya. Pada akhirnya kami pun baru mengetahui kabar bahwa Murakawa-san tidak meninggal dari Goto-san. Yah...

Itu tidak masalah, yang penting kami telah mengetahui yang sesungguhnya.

Setelah perbincangan itu, Goto-san mengajak Satoru-san untuk berbincang empat mata. Tidak jauh, aku masih dapat melihat mereka berdua. Mereka hanya menyingkir ke depan vending machine minuman di ujung bangunan rumah sakit, sekitar 10 meter dari pintu masuk emergency room.

“Miki, jika nanti muncul lingkaran pada punggung tangan kananmu, katakan ‘pertemukan langit dan bumi, aku Kinjo Miki, lindungi aku yang berada di dalamnya’. Nanti akan terbentuk barier pelindung untukmu. Kemudian jika muncul titik di tengah lingkaran, segera panggil ‘Hongo Satoru’ dengan lantang. Mengerti?”, katanya kepadaku sebelum pergi mengikuti Goto-san.

Aku menanggapi kepergian mereka dengan santai. Tidak ada rasa takut sama sekali, sebab kondisi emergency room memang sangat ramai.

“Dengan orang sebanyak ini, mungkin akan aman.”, begitu pikirku.

Berbeda cerita ketika kondisinya tidak ramai. Mungkin aku akan...

Tidak... Mari tidak pikirkan itu.

Pada deretan bangku di depan emergency room, meski terdapat banyak orang, sayangnya aku hanya mengenal dua orang. Mereka adalah Kusumoto-san dan manajer Goto-san. Berhubung aku tidak pernah berbincang dengan si manajer, aku pun lebih luwes berbincang dengan Kusumoto-san.

“Kinjo-san, bagaimana kakimu?”, tanya Kusumoto-san.

“Tidak terlalu buruk, tapi rasanya lumayan sakit.”

“Saya dengar itu disebabkan karena terjatuh di Gedung C?”

“Benar. Bagaimana anda tahu?”

Ibu guru itu tersenyum kecut. Suaranya menjadi sedikit serak ketika menjawab, “Murakawa-sensei memberitahu saya. Saya sempat menelepon beliau sebelum mau menggantung diri.”

Semakin aku berbincang dengan Kusumoto-san, aku semakin menyadari bahwa orang ini sangat peduli dengan Murakawa-san. Rupanya mereka berdua adalah teman sejak masih kecil. Tak heran jika Kusumoto-san mengalami shock berat ketika tahu Murakawa-san mengalami hal itu. Kemudian, pikiranku tiba-tiba teralih kepada istri dan anak dari Murakawa-san.

Aku mengalihkan pandang ke arah mereka berdua. Berbeda dengan reaksi Kusumoto-san, mereka berdua hanya menatap kosong ke arah emergency room. Tidak menangis, tidak juga memasang ekspresi khawatir. Wajah mereka sangat datar. Namun aku tidak menganggap anak dan istri Murakawa-san aneh.

...

Maaf. Aku berbohong.

Aku hanya berusaha menghormati anggota keluarga Murakawa-san. Sesungguhnya, jauh di lubuk hatiku, aku merasa mereka sangat janggal. Aku tidak mengerti bagaimana caranya mereka tetap memasang poker face di hadapan anggota keluarga yang nyaris meninggal.

Ya... Aku memang tidak langsung menangis ketika mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal, tetapi shock itu tetap ada. Aku ingat hal pertama yang kurasakan saat aku mendengar berita orang tuaku meninggal adalah shock dan tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

Saat ini, aku berusaha berpikir positif. Mungkin mereka terlalu shock atau masih belum bisa menerima kenyataan, karena yang namanya shock manifestasinya bisa bermacam-macam.

...

Meski wajah mereka memang terlalu datar bagi orang dalam keadaan shock sih...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status