"Mas, Bi Ijah kemana ya? Aku cari-cari nggak ada?" tanyaku ke Mas Angga, suamiku. Badanku terasa lelah, ingin sekali minum teh hangat, biar perut dan badan terasa enakan. Tapi, aku tak melihat sosok Bi Ijah, ART yang sudah lama bekerja denganku."Sudah dipecat oleh Ibu," jawabnya santai. Aku terkejut."Apa? Bi Ijah kan aku yang gaji, nggak ada hak Ibu mecat Bi Ijah!" sahutku geram, sangat geram. Lagi-lagi Ibu seenaknya ikut campur rumah tanggaku."Kata Ibu, sayang duitnya, kamu sebagai istri yang harusnya ngerjain seluruh pekerjaan rumah!" lagi-lagi, Mas Angga menjawab dengan entengnya. Mataku mendelik."Aku ini capek Mas, kerja pagi pulang sore, lagian untuk bayar Bi Ijah duitku sendiri, bukan duitmu atau duit Ibu!" jawabku kasar. Nafasku memburu. Semenjak Ibu ikut tinggal dirumahku, semuanya berantakan."Kamu kok malah hitung-hitungan g
“Dewi, kamu bener-bener keterlaluan!” bentak Ibu mertua. Aku baru saja sampai di rumah pulang kerja, sudah dapat bentakan. Ini rumahku, warisan orang tuaku, tapi terasa aku yang numpang di sini, sudah kayak di neraka. Yang kata orang ‘rumahku surgaku’ tidak denganku, semenjak kedatangan Ibu.“Apalagi, sih, Bu? Aku capek, bisa nggak ngomong itu yang lembut?” jawabku melepas sepatu dan kaos kaki.“Bisa-bisanya kamu berangkat kerja, tanpa nyiapin makanan, atau setidakya ninggalin duitlah, biar ibu dan suamimu bisa deliveri order makanan!” lagi-lagi dia merasa nyonya besar di rumahku. Memang, hari ini aku berangkat lebih pagi dan makan di kantin kantor. Sengaja.“Salah siapa, Bi Ijah di pecat? Sudah enak-enak waktu itu ada Bi Ijah, makan tinggal makan, ya sekarang Ibu lah yang masak!” jawabku santai sambil melepas jas ku, bersandar di sofa
“Kayaknya Ibu mending pulang kampung aja, Ga?” ucap Ibu malam ini, minta pendapat kepada anaknya. ‘Syukurlah’ dalam hatiku.“Ibu ngomong apa, sih!” jawab Mas Angga, tak suka ibunya ngomong seperti itu.“Iya, Ibu tak nyaman di sini, walau jelek tetap enak tinggal di rumah sendiri,” sahut Ibu lugu. Aku tak terpancing sedikitpun. Dia pasti inginnya, aku mohon-mohon jangan pergi dan akan menuruti semua keinginannya. Ngimpimu terlalu tinggi Bu.“Ibu tetap di sini ikut aku, karena di kampung rumah kita sudah tidak layak huni. Di sini rumah Dewi bagus banyak kamar kosong,” sahut Mas Angga lagi. Aku hanya menyeringai sinis. Dasar benalu, bisanya hanya numpang.“Biarlah, Nak, bocor sana sini nggak apa-apa!” ehm mencoba mencari simpati anaknya.“Tapi, An
“Dewi! sebelum berangkat kerja beres-beres rumah dulu!” teriak Ibu pagi-pagi, ketika melihatku berdandan rapi, hendak berangkat ke kantor.“Salah siapa, Bi Ijah di pecat?” jawabku dengan nada menyudutkan. Itu kalau benalu tua ini faham.“Harus berapa kali Ibu jelasin! Ibu mecat Ijah, biar kamu ngerti kerjaan rumah! Nggak ngerti-ngerti juga,” bentaknya, sepagi ini sudah ngajak naik darah.“Dewi juga sudah bilang berapa kali, kalau nggak mau gantiin Bi Ijah, keluar aja dari rumahku!” jawabku, masih terlalu pagi untuk ngotot.“Kamu itu di didik sopan santun tidak, sih?” sungutnya. Jleeb, memang bener-bener ngajak duel.“Apa maksud Ibu ngomong kayak gitu?” tandasku pelan melotot. Dia nampak kikuk dengan tatapan mataku.“Dikit
“Mbak Dewi, ini mertua dan suami Mbak, nggak mau mengemas barang, saya harus gimana, Mbak?” tanya Joko lewat sambungan selular. Seseorang yang aku utus, untuk mengawasi Ibu dan Mas Angga saat berkemas. Aku takut mereka membawa barang-barang berharga yang bisa di uangkan. Kalau masalah sertifikat rumah, tanah itu aman. Karena tak aku simpan dalam rumah.“Paksa mereka untuk berkemas!” perintahku dengan nada sedikit membentak.‘Sudah, Mbak. Tapi ...”“Terus mereka masih pada ngapain kalau belum berkemas?” potongku penasaran.“Mereka malah menghina saya, Mbak! Dan sumpah serapah untuk keburukan, Mbak!” tak mau di suruh pergi, tapi menyumpahin yang punya rumah. Memang benar-benar benalu, minta di kick.“Sumpah serapah?” tanyaku menyakinkan. Melipat kening. 
Setelah drama layaknya film layar lebar kemarin, akhirnya semuanya pergi. Dengan sumpah serapah Ibu dan tangis kesedihan Mas Angga, tak menggoyahkan hatiku untuk ingin mengakhiri. Cukup sampai disini saja berjodoh dengan Mas Angga. Hati terasa kebas karena terlanjur sakit.Rumah sangat berantakan semenjak tak ada Bi Ijah. Piring kotor dan sisa makanan berserak. Ibu dan Mas Angga bener-bener tak mau beberes. Hanya numpang tidur dan makan doang, tapi tak mau membereskan. Akhirnya ku panggil kembali Bi Ijah untuk bekerja denganku. Untung Bi Ijah belum mendapat pekerjaan.Bi Ijah masih beberes rumah. Kuamati kulkas kosong dan kotor. Padahal dulu sebelum ada Ibu, kulkas selalu penuh dan rumah rapi. Walau Mas Angga pengangguran setidaknya tidak membuat sakit hatiku.“Bi, Dewi keluar dulu, ya? Beli makanan untuk ngisi kulkas,” ucapku sedikit berteriak.&ld
POV AnggaSemenjak kedatangan Ibu, aku dan Dewi memang sering bertengkar. Dewi dan Ibu memang tak bisa akur. Ada saja masalah. Aku sampai pusing mendengar keributan mereka. Karena hampir setiap hari mereka ribut.Apalagi Semenjak Ibu mecat Bi Ijah, semuanya semakin runyam. Dewi tak mau menuruti keinginan Ibu. Padahal menurutku niat Ibu baik. Biar Dewi bisa menjalankan tugas istri yang sempurna. Bisa masak dan beberes rumah. Tapi tidak menurut Dewi. Dewi merasa dia hanya di manfaatkan. Dimanfaatkan dari mananya?Dan kemarin Dewi benar-benar mengusir aku dan Ibu. Hanya karena masalah sepele. Dia sampai mengutus bodyguard untuk mengawasi kami berkemas dan mendatangkan pengacara untuk menggugat cerai dariku. Tak segampang itu Dewi. Sampai kapanpun, aku tak akan menceraikanmu.“Bawa masuk ini, Ga!” teriak Ibu di ambang pintu kontrakan. Membuyarkan lamuna
“Bu! Mas! Keluar kalian!” teriakku dengan menggedor pintu kontrakannya. Ya, aku bisa melacak keberadaan kontrakan mereka, dari tetangga yang mengetahui. Aku sangat geram, hutang mereka di mana-mana, mengataskan namaku. Tidak hanya di Mak Wesi, hampir semua warung di hutanginya.“Bisa sopan nggak di rumah orang!” bentak ibu setelah membuka pintu, Mas Angga juga ikut keluar.“Kalian memang nggak bisa di sopanin!” teriakku. Rasanya amarahku sudah di ubun-ubun.“Ada apa, sih, Dek? Kami sudah menjauh dari hidupmu! Apalagi mau mu?” Mas Angga tak kalah membentak. What? Punya otak nggak, sih, dia? Masih nggak mikir kesalahannya? Rasanya pengen tak jambak-jambak gelungan ibu dan mencakar badan Mas Angga dengan kuku panjangku. Geram.“Bener, Ga! Teriak-teriak di rumah orang nggak sopan!” bentak Ibu lagi. Semakin