Share

Bab 5

“Mbak Dewi, ini mertua dan suami Mbak, nggak mau mengemas barang, saya harus gimana, Mbak?” tanya Joko lewat sambungan selular. Seseorang yang aku utus, untuk mengawasi Ibu dan Mas Angga saat berkemas. Aku takut mereka membawa barang-barang berharga yang bisa di uangkan. Kalau masalah sertifikat rumah, tanah itu aman. Karena tak aku simpan dalam rumah.

 

“Paksa mereka untuk berkemas!” perintahku dengan nada sedikit membentak.

 

‘Sudah, Mbak. Tapi ...”

 

“Terus mereka masih pada ngapain kalau belum berkemas?” potongku penasaran.

 

“Mereka malah menghina saya, Mbak! Dan sumpah serapah untuk keburukan, Mbak!” tak mau di suruh pergi, tapi menyumpahin yang punya rumah. Memang benar-benar benalu, minta di kick.

 

“Sumpah serapah?” tanyaku menyakinkan. Melipat kening.

 

“Iya, Mbak, nyumpahin Mbak, hidup Mbak nggak bakal bahagia.” 

 

“Owh, saya segera pulang! Kamu tetap di situ! Awasi mereka!”

 

Ku matikan gawai. Bergegas pulang. Dasar benalu tak tau malu, sudah jelas-jelas di usir tak mau pergi, bukannya berbuat baik, biar yang punya rumah luluh, malah nyumpahin yang punya rumah. Mereka bener-bener keterlaluan.

 

“Hay, Wi! Mau kemana? Kok buru-buru?” tanya Rama, teman sekantorku. Membuatku menoleh ke arahnya.

 

“Mau pulang, Ram.” Jawabku asal sambil terus berjalan. Tapi Rama membuntutiku.

 

“Boleh aku anter?” tanyanya tepat di hadapanku. Menghalang jalanku. Ku kerutkan kening dan kemudian tersenyum. 

 

“Kok, malah senyum-senyum?” tanya Rama lagi, bingung dengan ekspresiku.

 

“Boleh anterin aku pulang tapi dengan satu syarat!” mataku mengerling. Membuat Rama tersipu.

 

“Siap! Apa syaratnya?”

 

“Dosa besar kamu, Dewi! Berani-beraninya kamu mengusir suami dan mertuamu! Sampai nyuruh orang untuk mengawasi,” bentak Ibu ketika kaki baru saja menginjak pintu. Aku sudah terbiasa mendengar bentakan Ibu, tapi Rama tersentak. Seakan tak percaya. Ku lirik Mas Angga, mata dia berkaca. 

 

“Joko!”

 

“Iya, Mbak Dewi?”

 

“Keluarkan semua baju-baju mereka dalam lemari!” perintahku kasar. Joko hanya mengangguk dan memasuki kamar Ibu dan kamarku, yang sudah aku kasih tau, dimana letaknya lewat telpon tadi pagi.

 

“Dewi, kamu bener-bener nggak punya sopan santun!” bentak ibu lagi melotot, matanya memerah. 

 

“Dek! Kita bisa bahas ini dengan kepala dingin, jangan seperti ini!” sahut Mas Angga, pelan seakan meminta pertolongan. Tapi takku hiraukan.

 

“Kamu bisa cari cewek lain lagi, Mas! Bukannya kamu ganteng?” sindirku dengan melipat kedua tanganku di perut, sengaja menekan kata ganteng dan melirik Ibu.

 

“Kamu bakal menyesal, Dewi! Akan ibu viralkan perbuatan kamu ini! Biar tak ada laki-laki yang mau menikahi kamu!” tandas Ibu. Aku hanya menyeringai.

 

“Silahkan aku nggak takut, kita buktikan saja, siapa yang akan menyesal?” balasku dengan sedikit gaya arogan.

 

“Oya! Kenalkan, ini Rama pengacara saya, yang akan segera mengurus surat perceraian kita!” celetukku. Membuat Ibu dan Mas Angga melongo. Membulatkan mata dan melebarkan bibir. Ini syarat yang aku berikan kepada Rama. Untuk mengurus gugatanku. Walau dia bukan bekerja sebagai pengacara, tapi dia sarjana hukum. Awalnya tak percaya kalau aku menggugat suamiku. Ku jelaskan semuanya di dalam mobil, ketika hendak menuju rumah.

 

“Dek! Kamu jangan bercanda tentang perceraian, ini pernikahan yang sakral!” sahut Mas Angga mulai panik. Begitu juga dengan Ibu.

 

“Sakral? Tapi kamu lalai akan tanggung jawabmu, Mas?” bentakku. Membuat wajahnya memerah. Rama hanya tersenyum getir melihat pertengkaran ini. 

 

“Mbak, baju-baju mereka di taruh mana ini?” tanya Joko menyeletuk. Yang sudah menyusun baju ibu dan Mas Angga dalam koper besar. Ibu merebut koper itu.

 

“Saya nggak akan keluar dari rumah ini!” sungut ibu, menarik kasar kopernya. Membuatku semakin geram. Joko bingung mau bagaimana. Mungkin mau di lawan juga orang tua. Serba salah dia. 

 

“Dek, aku kan tidak melakukan kesalahan yang fatal? Kecuali aku selingkuh, jadi wajar kalau kamu menggugatku, aku ini setia sama kamu!” celetuk Mas Angga membuatku cukup terkejut. Bisa-bisanya dia ngomong seperti itu? Dia tak merasa bersalah? Atau memang nggak mengerti kesalahannya? Heran.

 

“What? Kamu mikir nggak, sih, Mas? Punya otak nggak, sih, kamu?” reflek saja aku menjawab seperti itu. Ibu mendelik tidak terima. Joko terdiam, Rama tersenyum, yang aku sendiri tidak bisa membaca arti senyuman itu. Ku pijit lembut kepalaku. Terasa tak bisa berputar ini otak. Aku benar-benar tak mampu membaca jalan fikir Mas Angga dan Ibunya. Kenapa mereka tetap merasa tak bersalah?

 

“Dewi! Angga masih suamimu! Kualat kamu! Ingat Dewi kamu nggak bakal hidup bahagia!” sungut ibu dengan ekspresi mengerikan. Siap menerkam musuh. Dadaku terasa bergemuruh hebat. Orang seperti masih pantaskah di pertahankan?

 

“Ehm,” Rama berdehem, mencoba mengambil perhatian. Semua mengarah ke asal suara.

 

“Pak Angga, memang anda tidak selingkuh dan mungkin sangat setia, tapi di sini, Bu Dewi menggugat bapak, karena bapak tidak menafkahi Bu Dewi, selama satu tahun pernikahan,” ucap Rama pelan terkontrol dan berwibawa. 

 

“Sebelum menikahpun Dewi sudah tahu, kalau saya nggak kerja, jadi saya tak berbohong kan? Tak ada yang saya tutup-tutupi. Anda jangan sok tau dan jangan ikut campur!” rasanya malu banget mendengar  jawaban Mas Angga. Jawaban anak kecil, nampak sekali tidak berpendidikan. Di tambah lagi Rama menjawab dengan senyum menjatuhkan. Ish 

 

“Iya, Pak Angga, coba baca lagi di akhir buku nikah! Di sana ada keterangan salah satunya, tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan, jika istri tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada pengadilan agama, maka apabila gugatan diterima oleh pengadilan dan istri membayar sepuluh ribu rupiah sebagai pengganti, jatuhlah talak satu,” ucap Rama selow. Tak membuat suasana semakin runyam. Tapi yang namanya benalu tetap saja tak mau tau.

 

“Halah ... sebelum resmi bercerai,  saya dan anak saya akan tetap di sini!” celetuk Ibu dengan gaya ngototnya.

 

“Dan ingat! harus adil pembagian harta ini!” celetuk ibu lagi, cukup membuatku melongo tak percaya. Kulirik Rama melipat keningnya. Mungkin dia berfikir, kok ada manusia macam ini kolotnya?

 

“What? Ini harta saya. Pemberian orang tua saya, tak ada hak sepeserpun atas Mas Angga,” geram, terasa di ubun-ubun.

 

“Pokoknya sidang cerai akan berjalan, kalau harta ini di bagi ADIL!” bentak Ibu, menekan kata adil. Ku atur nafasku yang terengah-engah. Benalu memang tak bisa di kasih hati. Melunjak. Dalam harta ini, tak ada setetespun keringat Mas Angga. Berani-beraninya minta pembagian harta. Kupegang dadaku, rasanya sudah benar-benar ingin meletus bom waktu ini.

 

“Jangan harap! Silahkan keluar dari rumah saya!” bentakku menghentakkan kaki kananku. Seraya tangan kananku menunjuk ke arah pintu.

 

“Nggak!” sungut Ibu tak kalah membentak.

 

“Joko! Seret mereka!!!” 

 

Joko dengan cepat mengangguk menjalankan tugasnya. Kesabaranku memang benar-benar sudah memuncak. Joko berusaha menyeret mereka. Di mulai dengan mengeluarkan koper mereka terlebih dahulu. Ibu teriak-teriak nyaris kesetanan. Sumpah serapah dia ucapkan. Ku langkahkan kakiku menuju pintu. Menegaskan agar mereka segera keluar dari rumahku. Tiba-tiba ...

 

“Dek, maafin Mas, Mas akan kerja, Mas akan berubah, jangan gugat Mas seperti ini, Mas nggak bisa hidup tanpa kamu, Mas sangat mencintaimu,”

 

Mas Angga memelukku dari belakang. Terisak. Seketika aku terdiam. Menikmati pelukan itu. Tapi hati ini terlanjur menjadi kepingan yang berserakan. Mungkinkah bisa bersatu kembali? Ku lirik Ibu yang masih melotot memandangku. Joko masih menarik Ibu, walau ibu mati-matian menolaknya.  Rama? Menatatapku nanar.

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wiro Sableng
benar² suami dan mertua gak tau malu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status