Share

Bab 6

Setelah drama layaknya film layar lebar kemarin, akhirnya semuanya pergi. Dengan sumpah serapah Ibu dan tangis kesedihan Mas Angga, tak menggoyahkan hatiku untuk ingin mengakhiri. Cukup sampai disini saja berjodoh dengan Mas Angga. Hati terasa kebas karena terlanjur sakit.

 

Rumah sangat berantakan semenjak tak ada Bi Ijah. Piring kotor dan sisa makanan berserak. Ibu dan Mas Angga bener-bener tak mau beberes. Hanya numpang tidur dan makan doang, tapi tak mau membereskan. Akhirnya ku panggil kembali Bi Ijah untuk bekerja denganku. Untung Bi Ijah belum mendapat pekerjaan.

 

Bi Ijah masih beberes rumah. Kuamati kulkas kosong dan kotor. Padahal dulu sebelum ada Ibu, kulkas selalu penuh dan rumah rapi. Walau Mas Angga pengangguran setidaknya tidak membuat sakit hatiku.

 

“Bi, Dewi keluar dulu, ya? Beli makanan untuk ngisi kulkas,” ucapku sedikit berteriak. 

 

“Iya, Mbak!” sahut Bi Ijah, masih dengan alat pel.

 

Aku segera bergegas keluar menstarter motorku. Menuju ke warung terdekat dari rumah.

 

“Mbak, tadi mertua Mbak belanja kesini,” ucap Mak Wesi. Pemilik warung. Aku tersenyum.

 

“Tapi ...” lanjutnya lagi dengan kalimat menggantung. Ku lirik Mak Wesi dengan melipat kening.

 

“Tapi apa?” tanyaku penasaran. Masih dengan memilih-milih telur ayam.

 

“Tapi utang, katanya Mbak Dewi yang akan bayar.” Tegasnya. Cukup membuatku mendelik.

 

“Utang?” tanyaku mengulang kata itu.

 

“Iya, Mbak.” Tegas sang pemilik warung. Kuusap dadaku yang terasa sesak. Ternyata setelah keluar dari rumah masih bisa mengganggu hidupku.

 

“Berapa utang belanjanya?” tanyaku penasaran. Sambil mengatur nafas.

 

“Banyak, Mbak. Ini notanya,” Mak Wesi menyodorkan notanya. Mataku mendelik  Saat melihat tulisan nominal pada nota tersebut. Hampir satu juta. Beras satu karung dua puluh kilo, telur satu karpet, gula, kopi, teh, mie instan satu kardus, aqua satu kardus, sarden lima, susu dua kaleng, minyak sayur lima kilo dan beberapa camilan. 

 

“Maaf, Mak Wesi, ini bukan urusan saya! Ini urusan Mas Angga, ya! Jadi tagih aja Mas Angga!” ucapku sopan. Tapi Mak Wesi malah mendelik tak suka.

 

“Gimana, sih, Mbak? Saya bisa bangkrut kalau kayak gini!” tiba-tiba Mak Wesi naik pitam. Aku tersentak. 

 

“Kok, Mak Wesi marah dengan saya? Kan bukan saya yang utang?” sungutku. Dari tadi masih dengan nada sabar kok tau-tau nyolot. tapi wajar, sih. Cuma aku nggak suka caranya.

 

“Benar berarti apa yang di bilang mertuamu, kalau kamu itu kurang ajar dengan mertua dan suami, ngusir mereka begitu saja tanpa uang sepeserpun, padahal gaji suamimu kamu yang pegang utuh!” jleb! Terasa di gores silet hatiku. Kejam sekali ibu mertua memfitnahku.

 

“Suami juga baru nganggur berapa hari sudah di usir, sekarang mereka utang-utang untuk makan, cuma bayarin segitu aja kamu nggak mau, kebangetan kamu!” cerocos Mak Wesi. Dadaku bergemuruh hebat. Secepat ini ibu menyebar fitnah.

 

“Mak Wesi! Kalau nggak tau apa-apa tolong jangan komentar!” bentakku mendelik. Menaruh semua barang yang sudah aku pilih. Kuletakkan nota itu di seselah belanjaanku.

 

“Aku nggak jadi belanja!” ucapku lagi. Kesal sangat rasanya. Mau berantem dengan Mak Wesipun percuma. Tapi aku tau bagaimana dia. Pasti besok berita ini sudah menyeruak ke seluruh penjuru kampung ini.

 

Mak Wesi nyerocos komat kamit nggak jelas. Aku berhambur ke motorku. Melajukan ke warung lainnya. Motorku berhenti di warung Mak Meri. 

 

“Mak! Apa kabar?” tanyaku basa basi seraya masuk ke warung sembakonya.

 

“Kabar Mak baik, Wi! Dengar-dengar kamu ngusir Angga dan ibunya? Benar?” tanya Mak Meri tanpa basa basi. Lagi-lagi kuatur dada ini. Semakin terasa sesak.

 

“Mak, dapat kabar dari mana?” tanyaku mencoba selow, mendekati meja kasir. Aku belum memilih belanja. Takut kejadian kayak di warung Mak Wesi tadi.

 

“Ibu-ibu yang belanja tadi pada bahas kamu. Mertuamu juga tadi kesini,” jawab Mak Meri satai.

 

“Ibu kesini, ngapain? Utang?” tanyaku melipat kening. Mak Meri menyeringai. 

 

“Iya, utang sedikit!” sahut Mak Meri menyeringai kecut. ‘jangan-jangan semua warung di Kampung ini di utangin sama Ibu dan mengataskan namaku untuk membayarnya,’ bertanya-tanya dalam hati. Sudah ngutang atas namaku, tapi masih memfitnah lagi. Dasar benalu. Di buang pun masih bisa bertahan dengan caranya.  

 

“Ngomong apa saja Ibu waktu kesini?” selidikku. Mak Meri lagi-lagi menyeringai.

 

“Nggak ada, Wi. Cuma kesini utang belanja sedikit, nangis-nangis karena pernikahan anaknya berantakan!” astaga di saat hutang belanja banyak, dia jelek-jelekin aku. Di saat hutangnya sedikit, dia merasa terpojok. Apa sih maunya ibu? Dan Mas Angga tau tidak kalau ibunya berhutang sana sini? Entahlah.

 

Aku segera memilih barang-barang belanjaanku, Mak Meri segera menghitung semuanya. Sekalian hutang Ibu lima puluh tiga ribu. Ok lah aku bayarin. Dari pada tengkar lagi dengan yang punya warung. Memutuskan ingin segera pulang. Ketika kaki baru saja melangkah naik motor, ada yang menepuk pundakku dari belakang. Dengan cepat kumenoleh. Ternyata Rida. Tetangga gosip paling ampuh.

 

“Ada janda baru ini!” sindirnya menyeringai.

 

“Iya, sama kayak kamu.” Sahutku asal.

 

“Aku janda karena mantan selingkuh, lha kamu suami nggak neko-neko gitu kok di cerai, kurang bersyukur kamu, Mbak!” sindirnya lagi. Iya memang selama ini aku menutupi rapat-rapat kebiasaan buruk Mas Angga. Bahkan nggak ada yang tau kalau Mas Angga pengangguran total. Aku selalu menutupi kalau Mas Angga memiliki usaha online. Jadi banyak di rumahnya. Giliran seperti ini, semua orang mengira aku istri yang nggak tau di untung.

 

“Ya udah, Mas Angga buat kamu saja, aku ikhlas!” tegasku juga tak kalah menyeringai. Membuatnya terbelalak. Ku lajukan motorku dengan cepat. Aku kira setelah lepas dari dua benalu itu, hidupku bisa damai. Ternyata? Mereka belum puas menggerogotiku. 

 

“Ibu tadi kesini, Mbak,” ucap Bi Ijah, ketika aku menaruh barang-barang belanjaku di kulkas.

 

“Ibu kesini?” tanyaku mengulang kata.

 

“Iya, Mbak!” jawab Bi Ijah, sambil mengangguk dan membantuku memilih-milih barang yang hendak di masukan kulkas atau tidak.

 

“Ngapain?” tanyaku dengan menyipitkan kening.

 

“Ngambil magicom, Mbak!” jawab Bi Ijah.

 

“What?” sentakku terkejut dengan bibir menganga.

 

“Iya, Maaf Bibi nggak bisa nyegah, karena Ibu nyerocos terus, katanya magicom itu, Mas Angga yang beli,” lagi-lagi benalu memang tak tau malu. Padahal rumah ini dan seisinya semua murni hasil keringatku. Kuatur nafasku. Mendinginkan hati yang selalu terasa panas kalau menyangkut tentang ibu.

 

“Yaudah, Bi, biar saja! Nanti Dewi belikan yang baru!” jawabku. Bi Ijah hanya mengangguk.

 

“Sabar ya, Mbak! Mas Angga dan Ibu pasti menyesal telah semena-mena dengan, Mbak Dewi!” aku mengangguk dan tersenyum getir.

 

“Iya, Bi. Doakan Dewi kuat hadapi masalah ini,” sahutku pelan.

 

“Bi, tolong buatin Dewi teh hangat, ya!” perintahku.

 

“Siap, Mbak!”

 

“Lho, Bi, kompornya mana?” mataku melotot ketika tak melihat kompor di mejanya.

 

“Oh, iya, diambil Ibu juga, Mbak!”

 

“Astaga!!!” tepuk jidat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status