“Bu! Mas! Keluar kalian!” teriakku dengan menggedor pintu kontrakannya. Ya, aku bisa melacak keberadaan kontrakan mereka, dari tetangga yang mengetahui. Aku sangat geram, hutang mereka di mana-mana, mengataskan namaku. Tidak hanya di Mak Wesi, hampir semua warung di hutanginya.“Bisa sopan nggak di rumah orang!” bentak ibu setelah membuka pintu, Mas Angga juga ikut keluar.“Kalian memang nggak bisa di sopanin!” teriakku. Rasanya amarahku sudah di ubun-ubun.“Ada apa, sih, Dek? Kami sudah menjauh dari hidupmu! Apalagi mau mu?” Mas Angga tak kalah membentak. What? Punya otak nggak, sih, dia? Masih nggak mikir kesalahannya? Rasanya pengen tak jambak-jambak gelungan ibu dan mencakar badan Mas Angga dengan kuku panjangku. Geram.“Bener, Ga! Teriak-teriak di rumah orang nggak sopan!” bentak Ibu lagi. Semakin
POV IbuDewi memang menantu tak tahu diri. Cuma magicom dan kompor saja dia ambil. Dasar nggak punya malu. Dia kan duitnya banyak, bisa beli lagi. Sudah ngusir nggak bawain duit, mungkin dia senang melihat kami jadi gembel jalanan.Dia juga berani-berani gugat cerai anakku, Angga. Padahal dia juga nggak cantik. Anakku gantengnya kayak Anjas Mara, nggak mungkin dia bisa mencari suami lagi yang gantengnya kayak anakku. Sudah mandul, nggak cantik juga, tapi gayanya kayak princes.Satu lagi yang bikin aku muntab, dia nggak mau bayarin hutang-hutangku di warung sembako. Aku berhutang karena nggak punya duit. Apa dia nggak mikir? Mungkin dia senang lihat aku dan Angga mati kelaparan. Jahat memang Dewi.Belum lagi dia membuat video pertengkaran kemarin. Benar-benar licik. Dia sudah menyusun rencana yang bagus untuk membuatku malu. Tapi aku tak akan tinggal diam. Mau tak mau
POV Angga“Dewi bener-bener keterlaluan! Dia enak-enakan ke luar kota tanpa memikirkan kita!” umpat Ibu sesampai di rumah. Aku terkejut. Dewi keluar kota?“Ibu, kok tau kalau Dewi ke luar kota?” tanyaku penasaran. Ibu duduk di kursi dengan wajah memerah.“Ibu habis dari rumahnya, benar-benar nggak tau diri dia, belum juga cerai sudah berkeliaran, kan belum selesai masa iddahnya,” sahut ibu berapi-api. Dewi ke luar kota mungkin karena geram dengan kelakuan ibu, yang hutang warung sana-sini mengatas namakan dia.“Ibu, kata Bi Ijah?”“Nggak, kata tetangga, Mak Nosi. Ijah ikut di ajak ke luar kota,” jleeb, Bi Ijah di ajak? Pertanda Dewi akan lama ke luar kotanya. Terus bagaimana nasibku dan Ibu?“Bi Ijah di ajak? Pertanda lama!” li
"Kamu yakin mau cerai dari Angga?" tanya Om Heru, adik kandung almarhum Ayah."Iya, Om." Jawabku mantap. Om Heru menyandarkan tubuhnya di sofa. Terdiam beberapa saat.Bukan urusan pekerjaan aku ke luar kota. Aku sengaja cuti, menghilangkan penat. Masalah datang seakan bertubi-tubi."Kamu yakin dengan pilihanmu? Karena, Om lihat, Angga laki-laki baik dan setia," ucap Om Heru meyakinkan. Aku tau yang di maksud Om Heru. Karena selama ini aku menutupi rapat-rapat keburukan Mas Angga."Selama ini, Dewi memang menutupi keburukan Mas Angga, Om," jawabku, memang sudah waktunya terbongkar. Om Heru, bangun dari sandarannya. Duduk menatapku lekat."Apa keburukan Angga yang kamu tutupi?" tanya Om Heru. Raut wajahnya terlihat penasaran. Kuatur nafasku perlahan."Mas Angga itu sebenarnya nggak kerja," lirihku. Dengan menggeser posisi dudukku. Mencari yang lebih nyama
Aku terbangun, saat mencium aroma minyak kayu putih di hidungku. Perlahan mataku terbuka. Dengan samar-samar ku lihat Tante Tika, Om Heru, Mita dan Bi Ijah. Ku rasakan kepalaku berdenyut luar biasa. Akuu berusaha beranjak, tapi badan terasa sangat lemas. Ku pegangi kepala yang luar biasa pusing. Ada apa ini?“Syukurlah kamu sudah bangun, Wi,” ucap Tante Tika, seraya menutup tutup minyak kayu putih. Ku pejamkan mataku, terasa tak sanggup, melihat benda-benda sekitar terasa berputar. Ku pegang keningku dan memijit pelan. Tante Tika membuka kembali tutup minyak kayu putih. Mengoleskan ke keningku. Ada rasa hangat. Aromanya menguar.“Dewi kenapa, Tante?” tanyaku lirih. Merasakan denyutan kepala yang belum membaik.“Kamu pingsan, Wi.” Jawab Tante Tika.“Pingsan?” tanyaku mengulang kata itu.&ldqu
Bab 13“Mbak Dewi! ini Desa mu masuk TV karena kebakaran,” teriak Mita. Aku masih berkemas, setelah sarapan. Di bantu Bi Ijah. Dengan cepat aku lari menuju ruang TV.“Apa iya? Mana?” tanyaku. Ketika sampai di ruang TV, sudah iklan. Ternyata Om Heru dan Tante Tika, juga ikut berlari menuju ruang TV.“Yah, iklan.” Ucap Mita seakan menyayangkan kami datang terlambat.“Kamu yakin, Mit?” tanyaku, memandangnya intens.“Iya, Mit, kamu yakin?” Tante Tika juga ikutan menanyakan.“Iya, Kak, Ma. Mita yakin! Kan sudah sering, Mita main ke Desa kakak,” jawab Mita yakin. Hatiku semakin tak karu-karuan.“Ya Allah, Dewi. Tante masih berharap berita ini tidak benar,” sahut Tante Tika, memandangku iba.
Bab 14Rumah sudah sepi, orang-orang yang berkerumpul tadi, sudah tidak ada lagi. Aku berada di sofa rumahku. Entah berapa lama aku pingsan. Tante Tika dan Om Heru duduk di sofa depanku. Aku melihat ibu masih dengan gaya arogannya. Sedangkan Mas Angga ada di sampingku.“Kamu keterlaluan, Mas!” teriakku memukul-mukul dada Mas Angga.“Aku bisa menjelaskan semuanya, Dek!” sahut Mas Angga, yang pasrah ketika tanganku memukul dadanya berulang-ulang.“Kenapa kamu berbohong!!! Kamu tahu, bagaimana cemasnya aku mendengar kabar itu? Aku sampai pingsan. Aku sampai nggak bisa tidur. Mataku sampai sembab. Kamu memang keterlaluan! Kamu punya hati nggak, sih???” teriakku kasar dengan tatapan kebencian. Mas Angga hanya menunduk. Seakan pasrah mendengar makianku.“Sudah, Dewi! Tahan emosi, sabar!” Tante Tik
Benalu part 15POV Angga“Mas Angga, sudah ada duit belum?”“Saya harap secepatnya di bayar hutang ibumu!”“Kalau nggak bisa bayar jangan ngutang dong!”“Baru saja pisah sama Dewi, sudah kere aja, Ga? Berarti kamu memang pengangguran dong?”“Padahal hidupmu waktu masih sama Dewi, mewah loo, beli ini itu nggak pernah mikir harganya, sekarang? Miris amat hidup loo, Ga?”Banyak sekali umpatan yang aku terima semenjak pisah dari Dewi. Belum lagi hutang ibu yang semakin hari semakin menumpuk. Orang-orang yang dulu dekat denganku, sekarang menjauh satu persatu. Aku baru menyadari betapa nol nya aku tanpa Dewi. Tanpa Dewi aku tak bisa apa-apa. Tanpa Dewi juga, aku sudah tak di hargai orang lagi.Orang-orang yang dulu sering datang untuk minjam uang atau sekedar minta