Share

Bab 7

POV Angga

 

Semenjak kedatangan Ibu, aku dan Dewi memang sering bertengkar. Dewi dan Ibu memang tak bisa akur. Ada saja masalah. Aku sampai pusing mendengar keributan mereka. Karena hampir setiap hari mereka ribut.

 

Apalagi Semenjak Ibu mecat Bi Ijah, semuanya semakin runyam. Dewi tak mau menuruti keinginan Ibu. Padahal menurutku niat Ibu baik. Biar Dewi bisa menjalankan tugas istri yang sempurna. Bisa masak dan beberes rumah. Tapi tidak menurut Dewi. Dewi merasa dia hanya di manfaatkan. Dimanfaatkan dari mananya?

 

Dan kemarin Dewi benar-benar mengusir aku dan Ibu. Hanya karena masalah sepele. Dia sampai mengutus bodyguard untuk mengawasi kami berkemas dan mendatangkan pengacara untuk menggugat cerai dariku. Tak segampang itu Dewi. Sampai kapanpun, aku tak akan menceraikanmu. 

 

“Bawa masuk ini, Ga!” teriak Ibu di ambang pintu kontrakan. Membuyarkan lamunanku. Ya, kami mengontrak dengan uang seadanya. Nggak tau bulan depan bisa bayar kontrak atau tidak. Tapi aku yakin Dewi pasti masih mencintaiku. Sebelum sebulan pasti sudah bisa mengambil hati Dewi lagi. Mataku membelalak ketika Ibu membawa magicom dan kompor.

 

“Magicom dan kompor dari mana, Bu?” tanyaku penasaran.

 

“Dari rumah Dewi, kita butuh ini!” sahut ibu.

 

“Ibu kesana?”

 

“Iya.”

 

“Dewi bagaimana kondisinya, Bu? Apa matanya sembab habis menangis?” tanyaku lagi penuh penasaran.

 

“Ibu masuk ke rumah Dewi, saat dia masih belanja.” Jawab ibu. Aku hanya mengerucutkan bibir.

 

“Hanya ada Ijah, Ijah kerja di situ lagi!” sahut ibu lagi. Penasaranku masih belum terjawab. Aku yakin, Dewi pasti menangis sepanjang malam, menyesal karena mengusirku.

 

“Ya, memang seharusnya Ibu nggak mecat Bi Ijah, Bu!” sengaja ku ungkit masalah itu.

 

“Jadi kamu juga ikut nyalahin Ibu!” bentak Ibu melotot. Kuliriknya dengan kecut.

 

“Coba Ibu nggak mecat Bi Ijah, kita masih enak tinggal di sana, nggak mikir bayar kontrakan!” jawabku lesu. Ibu semakin menghentak-hentakkan kakinya saat berjalan. Seperti itulah Ibu kalau lagi marah. Tapi mau bagaimanapun dia tetap ibuku.

 

“Lho, kok ibu borong belanjaan banyak banget? Ibu uang dari mana?” ucapku lagi seraya bertanya, disaat mata melihat belanjaan yang sangat banyak. Padahal aku tau, uang ibu sudah habis untuk bayar kontrakan.

 

“Hutang.” Jawab Ibu kasar.

 

“Hutang?” aku kembali mengulang kata itu. Kepalaku terasa pusing mendengar kata hutang.

 

“Iya, ibu ngomong ke yang punya warung, kalau Dewi yang akan bayar,” jawab Ibu sambil memasukkan barang-barang belanjaanya. Ku bantu dengan membawa magicom dan kompor ke dalam dapur.

 

“Owh.” Hanya itu yang bisa aku katakan. Hati kecilku terasa menolak perbuatan ibu.

 

“Kasihan Dewi dong, Bu?” ucapku lagi, hati merasa tidak enak dengan Dewi.

 

“Kamu mau kita kelaparan?” sungut Ibu. Membenahi barang-barang belanjaannya.

 

“Ya, enggak!” jawabku pelan.

 

“Kita udah nggak punya uang! Jadi nggak usah protes, Dewi uangnya banyak, pasti dia mau bayarin,” Ibu masih dengan amarahnya. Aku hanya bisa terdiam. Memang kenyataannya kami sudah tak ada uang.

 

“Bu, kita minta maaf aja sama Dewi! Aku yakin Dewi masih sayang dengaku,” ucapku. Ibu membelalak tak setuju dengan ideku.

 

“Enak saja, Nggak!” sentak Ibu. 

 

“Tapi, Bu ..”

 

“Nggak ada tapi-tapian, Dewi yang harus minta maaf sama kita! Karena telah ngusir kita!” sungut Ibu memotong ucapanku. Kumenghela nafas. Mendamaikan hati yang runyam.

 

“Dari pada hidup kita susah, Bu!” lirihku, tapi masih terdengar.

 

“Ya, kamu kerja dong! kalau nggak segera urus perceraian, tapi dengan syarat harta di bagi adil!” bantah Ibu. 

 

“Semua itu memang harta Dewi, Bu? Bagaimana bisa?” tanyaku. Mencoba memahami. Walau hati tak seirama dengan Ibu.

 

“Ya, kamu mikir dong!” Ibu mengerucutkan bibirnya. Seraya membenahi gelungannya.

 

“Udah nggak bisa mikir,” jawabku asal.

 

“Ibu nggak mau tau. Gimana caranya harta itu bisa di bagi adil? Percuma besarin kamu, nggak pinter-pinter,” sungut Ibu lagi. Aku hanya bisa menghela nafas gusar. Tak tau harus bagaimana.

 

“Yaudah, Ibu mau istirahat, kamu masak! Ibu bangun harus udah mateng!” perintah Ibu. Aku hanya bisa menelan ludah. 

 

Seandainya ibu tak datang di kehidupanku, mungkin aku masih tenang hidup dengan Dewi. Tapi aku juga nggak mungkin tega membiarkan Ibu tinggal sendirian di kampung, dengan rumah reotnya. Sedangkan aku tidur di rumah mewah milik Dewi.

 

Aku harus bagaimana? Aku nggak mau hidup seperti ini. Aku sudah terbiasa dengan kemewahan yang Dewi berikan. Sekarang akan lenyap begitu saja? Aku harus cari cara agar Dewi mau menerimaku kembali dan meminta maaf pada Ibu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
ibuX Angga yg tdk tau diri..seandaiX bisa ambil hatiX Dewi pasti gak akan d usir..sdh numpang hidup trus gak mau ngapa2in..masak untuk diriX sndiri aja gak mau...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bangke amat tuh benalu. Mestinya si dewi laporin ke polisi tuh. Pencurian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status