Share

Bab 8

“Bu! Mas! Keluar kalian!” teriakku dengan menggedor pintu kontrakannya. Ya, aku bisa melacak keberadaan kontrakan mereka, dari tetangga yang mengetahui. Aku sangat geram, hutang mereka di mana-mana, mengataskan namaku. Tidak hanya di Mak Wesi, hampir semua warung di hutanginya.

 

“Bisa sopan nggak di rumah orang!” bentak ibu setelah membuka pintu, Mas Angga juga ikut keluar.

 

“Kalian memang nggak bisa di sopanin!” teriakku. Rasanya amarahku sudah di ubun-ubun.

 

“Ada apa, sih, Dek? Kami sudah menjauh dari hidupmu! Apalagi mau mu?” Mas Angga tak kalah membentak. What? Punya otak nggak, sih, dia? Masih nggak mikir kesalahannya? Rasanya pengen tak jambak-jambak gelungan ibu dan mencakar badan Mas Angga dengan kuku panjangku. Geram. 

 

“Bener, Ga! Teriak-teriak di rumah orang nggak sopan!” bentak Ibu lagi. Semakin menambah kekuatan untuk marah. Serasa mendidih darahku meraka buat.

 

“Kalian yang harusnya MIKIR!” teriakku, dengan menunjuk dengan telunjuk tepat di wajah mereka, bergantian. Mereka mengerutkan wajah. 

 

“Nggak usah nunjuk-nunjuk!” Ibu menampik tanganku kasar. Membuatku sedikit bergeser.

 

“Ibu juga nggak usah utang sana sini atas namaku!” teriakku ngotot. Mereka membelalak.

 

“Heh, Dewi! Sadar nggak kamu ngusir kita tanpa ngasih duit!” sahut Ibu dengan wajah memerah. Mas Angga nampak bingung serba salah.

 

“Mas! Ada nggak kamu kasih nafkah aku? Ada nggak kamu kasih duit aku? Terus salah aku ngusir kalain tanpa kasih duit?” mataku mengarah ke Mas Angga dengan garang. Mas Angga hanya bisa menggigit bibirnya.

 

“Sudah ngutang atas namaku, masih memfitnah, masih nyuri di rumahku, kalian punya otak nggak? Punya hati nggak? Atau kalian ini terlahir tanpa otak dan hati?” tajam sekali aku melafalkan kata itu. Sengaja mengoyak harga diri mereka. Itupun kalau mereka merasa terkoyak harga dirinya. Ibu melotot murka. Aku tak gentar dengan tatapannya.

 

“Kamu senang lihat kita mati kelaparan? Jadi gembel jalanan? Utang nggak seberapa aja kamu masalahkan!” memang benar mereka tak punya otak dan hati.

 

“Mau kalian jadi gembel itu bukan urusan saya!” sahutku, semakin tersulut emosi.

 

“Kamu keterlaluan, Dewi!” teriak Mas Angga.

 

“Apa?” tanyaku menantang mengacak pinggang, “kamu laki-laki, harusnya malu nggak bisa nafkahin istri, gilirin dilepas istri, ibumu menumpuk hutang dan mantan istri di suruh bayar, punya otak nggak?” sindirku menyeringai menjatuhkan.

 

“Kamu masih istriku!” sungut Mas Angga tajam.

 

“Itukan menurutmu! Menurutku kamu sudah MANTAN! Tunggu saja, sebentar lagi akan sampai akta cerai ke tanganmu,” tandasku. Membuat mereka gelagapan.

 

“Heh, Dewi! Selama Angga belum menjatuhkan talak, kamu nggak bisa berpisah dengannya! Dan nggak segampang itu, kamu harus membagi hartamu dengan adil!” sahut ibu nyolot. Membuatku ingin mencekiknya.

 

“HALLO!!! Masih hidup nggak? Apa sudah mati rasa?” sindirku dengan memetik jari di hadapan muka mantan mertua. Lagi-lagi ibu menampik tanganku. Aku justru menyeringai sadis.

 

“Yang Sopan!” sentak ibu.

 

“Emang ibu sopan sama aku??” aku membalikkan omongannya. Mas Angga duduk di kursi teras kontrakkannya. Berkali-kali mengusap kasar wajahnya.

 

“Dek! Pergi dari sini! Aku pusing!” usir Mas Angga. Aku justru tertawa lebar selebar lebarnya. Membuat mereka semakin geram dengan tawa jahatku.

 

“Aku yang pusing! Ibumu hutang di sana-sini dan semuanya menagih ke aku! Belum fitnah kejinya! Terus kalian ingin aku diam? Persetan!” mataku mendelik. Membuat andrenalin mereka semakin tertantang.

 

“Kalau kamu ingin hidup tenang, kamu harus adil membagi harta!” sahut ibu, membuatku melebarkan tawa jahatku.

 

“Harta mana yang harus di bagi? Ada nggak ibu kasih kami harta selama setahun ini? Nggak ada kan?” sungutku, “Yang ada setiap bulan aku transfer ke rekening ibu dengan hasil keringatku,” tambahku lagi. Membuat Mas Angga mengusap kasar kepalanya. Ibu memainkan mulut tanda tak suka. 

 

“Oya, saya pun sebenarnya ogah kesini, saya kesini cuma mau ngambil magicom dan kompor saya, itu saya yang beli, bukan Mas Angga!” ucapku lagi.

 

“Benar-bener kamu, DEWI! Cuma ngambil itu saja kamu permasalahkan, kamu bisa beli lagi, kamu sanggup bayarin Ijah, masak beli magicom dan kompor saja nggak sanggup?” ibu memang lah paling bisa adu mulut.

 

“What? Saya memang bisa beli lagi, tapi saya nggak ikhlas barang-barang saya kalian pakai!” tegasku “Joko! Ambil magicom dan komporku!” perintahku, joko keluar dari mobil. Iya aku memang membawa Joko. Karena kalau ada apa-apa, aku ada yang menolong.

 

“STOP! Jangan asal masuk ke rumah saya! mau saya teriakin maling!” sungut Ibu menatap Joko tajam. Joko jadi bingung. Mas Angga banyak diamnya. Seakan memikirkan sesuatu. 

 

“Ibu juga asal masuk ke rumah saya! berarti Ibu maling juga!” tandas ku, 

 

“Joko tetap masuk, ambil barang-barang saya yang mereka curi, kalau mereka teriak maling saya akan telpon polisi!” gertakku. Cukup ampuh membuat ibu diam. Joko mengangguk dan langsung masuk ke rumah kontrakan mereka. Tak berselang lama Joko keluar membawa kompor dan balik masuk lagi mengambil magicom. Memasukkan ke dua barang itu dalam mobil.

 

“Ok, karena sudah beres saya pamit pulang,” ucapku dengan menyapu kedua tanganku.

 

“Kurang ajar kamu!” sungut ibu, aku menyeringai.

 

“Oya, untuk hutang-hutang kalian di setiap warung, jangan mimpi saya mau melunasinya,” jawabku dengan gaya jahatku.

 

“Bi Ijah!” teriakku dengan nada nyonya besar.

 

“Iya, Mbak Dewi?” sahut Bi Ijah dari dalam mobil. Bi ijah keluar dan melangkah menghampiriku.

 

“Gimana, Bi? Sudah di rekam kan semua peristiwa ini?” tanyaku santai. Membuat Ibu dan Mas Angga melongo.

 

“Sudah, Mbak! Aman!” jawab Bi Ijah sambil memamerkan hasil rekamannya. Iya aku menyuruh Bi Ijah merekam semuanya, dari dalam mobi.

 

“Dasar licik kamu, DEWI!!!” teriak ibu ingin merebut ponselku. Tapi percuma. Karena aku lebih sigap.

 

“Licik?” tanyaku mengulang kata itu.

 

“Kamu keterlaluan, Dek!” sungut Mas Angga beranjak dari duduknya.

 

“Aku nggak akan seperti ini, kalau tidak di mulai, siap-siap video ini viral!” tandasku menyeringai sadis. Membuat mereka kebingungan . ku balikkan badan meninggalkan mereka. 

 

“Oh, iya, kalau tidak licik benalu tidak akan mati!” teriakku menyindir, sebelum masuk ke dalam mobil.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anuar Ibrahim Anuar Ibrahim
harap nya dewi sentiasa teguh hati....melawan orang yg tidak bersyukur....byk kisah isteri yg penurut...harap kisah ini berlainan sekali... ajar benalu secukupnya...jgn biarkan benalu merasa benar selalu.... syabas..jadi panduan dlm memerangi benalu... terus kan percaya diri...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status