Benalu part 100POV 3Ya, di sini, Rizka berpelukkan manja dengan Ibu mertuanya. Dan Rama berpelukkan haru dengan Ibu mertuanya. “Doakan, ya, Bu. semoga Rumah Tangga kami sakinnah ma waaddah wa rohmah,” pinta Rama kepada mertuanya.“Pasti, Nak. Pasti. Tanpa kalian minta, ibu pasti mendoakan kalian,” ucap Bu Sumi. Rama kemudian melepaskan pelukannya.“Pa, kapan Mama Dewi pulang?” tanya Mila tiba-tiba. Membuat Rama tidak bisa menjawabnya. Rama dan mertuanya saling beradu pandang. Rama menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Papa juga nggak tahu, Sayang,” jawab Rama. Membuat bibir Mila cemberut.“Katanya Mama Dewi nggak lama-lama. Tapi, kok nggak pulang-pulang?” sahut Mila seraya bertanya.Mila memang sangat merindukan Dewi. Menunggu Dewi pulang terasa sangat lama baginya. Selalu menunggu hari esok, dengan harapan hari esok mama Dewinya pulang. “Urusan Mama Dewi belum selesai Sayang, makanya Mama Dewi belum bisa pulang,” jawab Rama santai, dengan selalu menyunggingkan s
Benalu part 101POV 3“Yaudah Om, Tante, Mita, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Romi,” pamit Romi kepada semuanya.“Iya, Rom, pasti, kamu juga hati-hati di jalan,” balas Om Heru. Kemudian mereka beranjak dan keluar dari kamar Mita.Romi dan Dewi melewati lorong Rumah Sakit seraya bergandengan tangan. Dewi mengedarkan pandang. Matanya melihat sosok laki-laki yang menggunakan masker, kacamata hitam dan jaket, berjalan seraya tolah toleh. Mata Dewi menyipit. Langkah kakinya penuh curiga.“Mas, laki-laki itu, kok, jalannya ngendap-ngendap, ya?” tanya Dewi lirih dengan mata masih memperhatikan laki-laki itu. Romi akhirnya juga ikut menoleh ke arah yang di pandang Dewi.“Iya, mau ngapain, ya? tapi dia ke lorong sana?” sahut Romi lirih. Mata mereka masih fokus dengan laki-laki berjaket itu.“Iya, apa kita ikuti?” tanya Dewi kepada suaminya.Dreettt dreeerrrttt dreetttt gawai Dewi bergetar di dalam tasnya. Tak berselang lama berbunyi. Nada panggilan masuk. Dengan cepat De
Benalu part 102POV 3“Pi, motor Angga di bawa kabur mereka,” ucap Angga, dia masih sangat menyayangkan motornya yang belum lunas. Masih kredit.“Biar, Ga! motor bisa di beli lagi. Yang penting nyawa kamu selamat,” jawab Pak Faris bijak.Angga mendesah. ‘Untung nggak mau membawa mobil Papi, kalau sampai memenuhi keinginan Ibu untuk meminjam motor Papi, yang hilang mungkin mobil Papi. Harus dengan cara apa untuk menggantinya?’ lirih Angga dalam hati. Walau kondisinya sudah babak belur begitu, tapi dia masih bersyukur, karena bukan mobil mertuanya yang dia bawa.“Bagaimana keadaan sebenarnya, Ga? kok, kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Pak Faris kepada menantunya.“Permisi,” Pak Faris dan Angga mengarah ke asal suara. Ternyata ada dokter dan Martina berjalan mendekat.“Saya periksa dulu, ya?” ucap dokter laki-laki paruh baya itu ramah. “Silahkan dok,” jawab Pak Faris mempersilahkan. Dokter itu menjalankan tugasnya. Memeriksa detak jantung dan yang lainnya. “Kepala saya pusing banget
"Mas, Bi Ijah kemana ya? Aku cari-cari nggak ada?" tanyaku ke Mas Angga, suamiku. Badanku terasa lelah, ingin sekali minum teh hangat, biar perut dan badan terasa enakan. Tapi, aku tak melihat sosok Bi Ijah, ART yang sudah lama bekerja denganku."Sudah dipecat oleh Ibu," jawabnya santai. Aku terkejut."Apa? Bi Ijah kan aku yang gaji, nggak ada hak Ibu mecat Bi Ijah!" sahutku geram, sangat geram. Lagi-lagi Ibu seenaknya ikut campur rumah tanggaku."Kata Ibu, sayang duitnya, kamu sebagai istri yang harusnya ngerjain seluruh pekerjaan rumah!" lagi-lagi, Mas Angga menjawab dengan entengnya. Mataku mendelik."Aku ini capek Mas, kerja pagi pulang sore, lagian untuk bayar Bi Ijah duitku sendiri, bukan duitmu atau duit Ibu!" jawabku kasar. Nafasku memburu. Semenjak Ibu ikut tinggal dirumahku, semuanya berantakan."Kamu kok malah hitung-hitungan g
“Dewi, kamu bener-bener keterlaluan!” bentak Ibu mertua. Aku baru saja sampai di rumah pulang kerja, sudah dapat bentakan. Ini rumahku, warisan orang tuaku, tapi terasa aku yang numpang di sini, sudah kayak di neraka. Yang kata orang ‘rumahku surgaku’ tidak denganku, semenjak kedatangan Ibu.“Apalagi, sih, Bu? Aku capek, bisa nggak ngomong itu yang lembut?” jawabku melepas sepatu dan kaos kaki.“Bisa-bisanya kamu berangkat kerja, tanpa nyiapin makanan, atau setidakya ninggalin duitlah, biar ibu dan suamimu bisa deliveri order makanan!” lagi-lagi dia merasa nyonya besar di rumahku. Memang, hari ini aku berangkat lebih pagi dan makan di kantin kantor. Sengaja.“Salah siapa, Bi Ijah di pecat? Sudah enak-enak waktu itu ada Bi Ijah, makan tinggal makan, ya sekarang Ibu lah yang masak!” jawabku santai sambil melepas jas ku, bersandar di sofa
“Kayaknya Ibu mending pulang kampung aja, Ga?” ucap Ibu malam ini, minta pendapat kepada anaknya. ‘Syukurlah’ dalam hatiku.“Ibu ngomong apa, sih!” jawab Mas Angga, tak suka ibunya ngomong seperti itu.“Iya, Ibu tak nyaman di sini, walau jelek tetap enak tinggal di rumah sendiri,” sahut Ibu lugu. Aku tak terpancing sedikitpun. Dia pasti inginnya, aku mohon-mohon jangan pergi dan akan menuruti semua keinginannya. Ngimpimu terlalu tinggi Bu.“Ibu tetap di sini ikut aku, karena di kampung rumah kita sudah tidak layak huni. Di sini rumah Dewi bagus banyak kamar kosong,” sahut Mas Angga lagi. Aku hanya menyeringai sinis. Dasar benalu, bisanya hanya numpang.“Biarlah, Nak, bocor sana sini nggak apa-apa!” ehm mencoba mencari simpati anaknya.“Tapi, An
“Dewi! sebelum berangkat kerja beres-beres rumah dulu!” teriak Ibu pagi-pagi, ketika melihatku berdandan rapi, hendak berangkat ke kantor.“Salah siapa, Bi Ijah di pecat?” jawabku dengan nada menyudutkan. Itu kalau benalu tua ini faham.“Harus berapa kali Ibu jelasin! Ibu mecat Ijah, biar kamu ngerti kerjaan rumah! Nggak ngerti-ngerti juga,” bentaknya, sepagi ini sudah ngajak naik darah.“Dewi juga sudah bilang berapa kali, kalau nggak mau gantiin Bi Ijah, keluar aja dari rumahku!” jawabku, masih terlalu pagi untuk ngotot.“Kamu itu di didik sopan santun tidak, sih?” sungutnya. Jleeb, memang bener-bener ngajak duel.“Apa maksud Ibu ngomong kayak gitu?” tandasku pelan melotot. Dia nampak kikuk dengan tatapan mataku.“Dikit
“Mbak Dewi, ini mertua dan suami Mbak, nggak mau mengemas barang, saya harus gimana, Mbak?” tanya Joko lewat sambungan selular. Seseorang yang aku utus, untuk mengawasi Ibu dan Mas Angga saat berkemas. Aku takut mereka membawa barang-barang berharga yang bisa di uangkan. Kalau masalah sertifikat rumah, tanah itu aman. Karena tak aku simpan dalam rumah.“Paksa mereka untuk berkemas!” perintahku dengan nada sedikit membentak.‘Sudah, Mbak. Tapi ...”“Terus mereka masih pada ngapain kalau belum berkemas?” potongku penasaran.“Mereka malah menghina saya, Mbak! Dan sumpah serapah untuk keburukan, Mbak!” tak mau di suruh pergi, tapi menyumpahin yang punya rumah. Memang benar-benar benalu, minta di kick.“Sumpah serapah?” tanyaku menyakinkan. Melipat kening.