Share

Bab 2

“Dewi, kamu bener-bener keterlaluan!” bentak Ibu mertua. Aku baru saja sampai di rumah pulang kerja, sudah dapat bentakan. Ini rumahku, warisan orang tuaku, tapi terasa aku yang numpang di sini, sudah kayak di neraka. Yang kata orang ‘rumahku surgaku’ tidak denganku, semenjak kedatangan Ibu.

 

“Apalagi, sih, Bu? Aku capek, bisa nggak ngomong itu yang lembut?” jawabku melepas sepatu dan kaos kaki.

 

“Bisa-bisanya kamu berangkat kerja, tanpa nyiapin makanan, atau setidakya ninggalin duitlah, biar ibu dan suamimu bisa deliveri order makanan!” lagi-lagi dia merasa nyonya besar di rumahku. Memang, hari ini aku berangkat lebih pagi dan makan di kantin kantor. Sengaja.

 

“Salah siapa, Bi Ijah di pecat? Sudah enak-enak waktu itu ada Bi Ijah, makan tinggal makan, ya sekarang Ibu lah yang masak!” jawabku santai sambil melepas jas ku, bersandar di sofa empuk. 

 

“Dosa nyuruh orang tua! Kamu kira Ibu babu!” sungut Ibu. Ku pejamkan mataku. Ini rumah apa neraka?

 

“Siapa juga yang bilang Ibu babu? Kan sudah aku siapkan ART, tapi Ibu sendiri yang mecat! Bukan salahku dong?” jawabku dengan gaya ku buat santai memainkan gawai. Sebenarnya hatiku bergemuruh hebat. Pengen aku kasih sianida ini orang. Tapi aku masih mikir dosa dan penjara.

 

“Ibu mecat Ijah, biar kamu ngerti kerjaan rumah, biar kamu bisa masak, bisa melayani suami dengan baik!” ucap Ibu berdiri tepat di depanku.

 

“Duduk dulu, Bu! Biar nggak kena asam urat!” sahutku mengalihkan pembicaraan. Berdiri di depanku sudah kayak rentenir nagih hutang saja. 

 

“Nggak usah basa basi kamu, Dewi! Sekarang siapkan Ibu dan suamimu makanan! Atau kalau kamu capek, belikan kami makanan yang enak!” perintahnya tanpa merasa bersalah, apalagi malu.

 

“Ok!” jawabku sambil menekan-nekan gawaiku. Menghubungi salah satu nomor. Terhubung.

 

[Iya, Mbak Dewi, ada apa?] sahut Mang Udin seraya bertanya di seberang sana. Mang Udin adalah tukang sayur yang biasa keliling kompleks.

 

[Mang, bisa anter sayuran nggak?] jawabku singkat.

 

[Bisa, Mbak, sayur apa?] tanyanya lagi.

 

[Terserah, Mang Udin, yang penting sayuran dan lauk ya, Mang, terserah lah apa saja] 

 

[Ok, Mbak Dewi]

 

[Ok, Mang, ditunggu ya?]

 

Tit. Kumatikan gawaiku. 

 

“Kok, malah nelp, Mang Udin?” tanya Ibu mendelik.

 

“Lha katanya minta di orderkan makanan?” jawabku masih dengan gaya santai. Membuat Ibu semakin geram. Karena males gaya ngotot, buang-buang energi saja.

 

“Iya, makanan yang sudah jadi tinggal makan, perut sudah melilit ini, bukan bahan mentah!” lagi-lagi dia berkata dengan gaya tak tau malu. Memang benar-benar benalu. 

 

“Ada apa, sih, ribut-ribut?” Mas Angga ikut bergabung. Duduk disebelahku. Wajahnya kusut. Ibu terdiam melongo.

 

“Kamu habis dari mana, Mas?” tanyaku penasaran. Tak memperdulikan ucapan Ibu.

 

“Mancing.” Jawabnya lesu. Aku sedikit terkejut.

 

“Lihat! karena nggak kamu siapin makanan dan juga nggak kamu tinggalin duit, suamimu sampe mancing, nyari ikan untuk lauk!” Ibu menimpali. Aku malah melebarkan tawaku. Membuat ibu semakin tak suka.

 

“Mancing? Mana ikannya?” tanyaku masih dengan tawa lepasku.

 

“Nggak dapet.” Jawabnya loyo.

 

“Kamu bener-bener istri nggak ngerti tanggung jawab, ya?” ucap Ibu membantu anaknya, yang merasa aku remehkan dengan tawaku. Dari tadi aku berusaha menahan emosiku, tapi Ibu semakin menjadi-jadi ucapannya. Menjalar rasa panas penuh emosi, sampai ke ubun-ubun.

 

“Aku ini kerja, Bu! Capek pulang kerja, bukan main apalagi mancing!” jawabku mulai geram. Sengaja ku tekan kata mancing ke arah anaknya. Di sabar-sabarin nggak ngerti. Mas Angga melirikku tak suka.

 

“Kamu juga, Dek, harusnya sebelum berangkat masak dulu lah, atau tinggalin duit!” jawab Mas Angga dengan wajah bersengut.

 

“Hai, di kulkas ada telur dan sarden, beras juga ada? Ngapain bingung?” jawabku.

 

“Kamu ini perempuan, Dek! Harusnya mentingin kerjaan rumah dulu sebelum berangkat kerja!” jawab Mas Angga polos, seakan teraniaya.

 

“Terus kamu ngapain di rumah? Kerja cari duit aku, tugas rumah juga aku, kamu ngapain sebagai kepala rumah tangga?” tanyaku geram menyindir dalam. Yang di sindir nampak acuh saja.

 

“Dewi! Surga istri itu ada pada suami, yang sopan ngomong sama suami, bisa kualat kamu!” Ibu menyahut lagi, membela anakya. Ku tarik nafasku kuat-kuat melepaskan dengan kasar. Dasar benalu nggak tau malu. Ingin ku semprot gramaxon biar cepat musnah. Geram sangat.

 

“Surga suami ada pada Ibunya. Iya tau, sudah kesekian kali ibu bilang kayak gitu,” jawabku beranjak dari dudukku. Pengen dorong ibu rasanya, biar kena stroke. 

 

“Dari pada ribut terus, kita panggil Bi Ijah lagi,” ucap Mas Angga berusaha menjadi penengah.

 

“Kita? Duitku?” jawabku mendelik.

 

“Maksudmu apa, sih, Dek?” tanya Mas Angga, terlihat geram dengan keributan ini.

 

“Kemarin memang iya, Bi ijah aku yang gaji, itu sebelum Ibu mecat Bi Ijah. Sekarang kalau mau memperkerjakan Bi Ijah lagi, kalian yang bayar gajinya.” Jawabku geram. Kok enak saja. Giliran aku nggak sesuai keinginan mereka, mau manggil Bi Ijah lagi.

 

“Dek, kamu kok sekarang hitung-hitungan gitu, sih?” Mas Angga bertanya lagi. Seakan tak puas dengan jawabanku. Aku meyeringai mengejek.

 

“Assalamualaikum,” terdengar suara salam di ambang pintu. Suara Mang Udin. 

 

“Waalaikum salam, masuk Mang!” jawabku. Semua terdiam, sekan tak terjadi apa-apa.

 

“Ini, Mbak Dewi sayur dan lauk pesanan Mbak, semuanya enam puluh lima ribu, Mbak, sama daging ayam!” ucap Mang Udin meletakkan di lantai. Ku ambilkan duitku selambar warna merah dari dompetku. 

 

“Ini, Mang,” ucapku seraya menyerahkan uang warna merah itu,

 

“Nggak ada kembalian saya, Mbak,” jawab Mang Udin.

 

“Rejeki Mang Udin berarti,” jawabku.

 

“Enak saja, sini Mang! aku ada uang pas,” sahut ibu merampas duit merah itu. Memasukkannya ke kantong bajunya. Mengambil uang pas untuk Mang Udin dan menyerahkan. Aku hanya menggeleng. Sebenarnya punya duit, kok sayang untuk beli makan buat dirinya sendiri. Mang Udin hanya mengangguk.

 

“Ya sudah, Mbak Dewi, saya pulang dulu,” pamit Mang Udin, ku jawab dengan anggukan.

 

"Terimakasih ya, Mang!" Sahutku. Mang Udin hanya mengangguk dan tersenyum. Berlalu keluar menuju pintu.

 

“Sekarang Ibu masak! Dewi mau istirahat, nggak usah ganggu Dewi! Dewi sudah makan tadi di restoran, cumi saus tiram,” aku beranjak menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Ibu nampak melongo karena itu makanan kesukaannya. Padahal tidak, aku makan sate kambing kesukaanku. Hanya manas-manasin Ibu saja.

 

“Benar-benar mantu durhaka kamu, ya! makan enak nggak inget mertua dan suami! Di suruh order makanan siap makan, malah di belikan mentah!” gerutunya, tak ku tanggapi, tetap berlalu menuju kamarku. Rumah ini semakin hari semakin tak nyaman dengan adanya Ibu. Dulu aku mencintai Mas Angga, karena aku lihat, dia sangat baik. Sangat sayang dengan ibunya. Banyak orang yang bilang, kalau laki-laki sangat mencintai ibunya, itu sudah pasti akan sangat mencintai istrinya. Tapi buktinya? 

 

Padahal cinta-citaku selama ini, menikah sekali seumur hidup. Tapi kayaknya? 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status