Share

Bab 4

“Dewi! sebelum berangkat kerja beres-beres rumah dulu!” teriak Ibu pagi-pagi, ketika melihatku berdandan rapi, hendak berangkat ke kantor.

 

“Salah siapa, Bi Ijah di pecat?” jawabku dengan nada menyudutkan. Itu kalau benalu tua ini faham.

 

“Harus berapa kali Ibu jelasin! Ibu mecat Ijah, biar kamu ngerti kerjaan rumah! Nggak ngerti-ngerti juga,” bentaknya, sepagi ini sudah ngajak naik darah.

 

“Dewi juga sudah bilang berapa kali, kalau nggak mau gantiin Bi Ijah, keluar aja dari rumahku!”  jawabku, masih terlalu pagi untuk ngotot. 

 

“Kamu itu di didik sopan santun tidak, sih?” sungutnya. Jleeb, memang bener-bener ngajak duel.

 

“Apa maksud Ibu ngomong kayak gitu?” tandasku pelan melotot. Dia nampak kikuk dengan tatapan mataku.

 

“Dikit-dikit ngusir kamu ini, kamu itu ngomong sama mertuamu!” sentaknya lagi. Aku menyeringai.

 

“Nggak nyadar, Bu?” sindirku lagi.

 

“Nggak nyadar? apa maksudmu?” balik nanya dengan mata mendelik.

 

“Nyadar nggak kalau Ibu itu ngeselin, semenjak ada Ibu rumah ini nggak pernah tenang,” jawabku asal.

 

“Pagi-pagi udah ribut. Kamu juga, Dek! Yang pelan dong ngomong sama Ibu!” Mas Angga baru keluar dari kamar. Yah, di saat istri siap-siap kerja dia masih molor. Mungkin kalau nggak ada keributan ini dia belum bangun.

 

“Istrimu ini, Ga! Ibu Cuma bilang kalau mau berangkat kerja beres-beres rumah dulu. Eh, malah ngungkit-ngungkit masalah Ibu mecat Ijah,” bagus sekali tutur katanya.

 

“Astaga, Dek! Apa susahnya, sih nuruti keinginan Ibu? Niatnya baik kok. Kalau baik juga untuk dirimu sendirikan?!” ucapan yang lembut jika di dengar ibunya. Tapi terdengar kasar di telingaku. Lagi-lagi aku hanya bisa menyeringai.

 

“Kok aku merasa kayak numpang ya, di rumahku sendiri?” sindirku masih menyeringai.

 

“Ucapanmu kok gitu, sih, Dek? Ini itu rumah kita bersama?” sahut Mas Angga. Memanglah laki-laki tak punya malu.

 

“Kamu keterlaluan, Dewi! Kebiasaan cuma masalah sepele aja ngusir suami dan mertua,” bentak Ibu. Aku benar-benar sudah tak sanggup mengahadapi sifatnya, yang membuatku tertekan di rumahku sendiri.

 

“Sepele kata Ibu?” sengaja ku menekan kata sepele. Ibu melotot begitu juga dengan Mas Angga.

 

“Kamu udah nggak takut dosa?” tandas Ibu.

 

“Dosa? Emang Ibu fikir Ibu nggak berdosa memerasku? Dan anakmu ini tidak berdosa tidak menafkahiku?” tak kalah ku menandaskan omonganku. Membalikkan pertanyaan. Membuat mereka gelagapan.

 

“Dari segi mana Ibu memerasmu?” sungut Ibu. 

 

“Stop!!!” Bentak Mas Angga. 

 

“Terserah kamu, Mas! Aku muak tiap hari bertengkar dengan kamu dan ibumu, silahkan angkat kaki dari rumah saya!” perintahku kasar. Membuat mereka terkejut.

 

“Aku tak akan keluar dari rumah ini, karena kamu masih istriku dan aku tak akan menceraikanmu!” ucap Mas Angga sok serius. Aku justru menyeringai sadis.

 

“Terserah, aku yang akan gugat cerai kamu,” ucapku dengan mengebaskan tangan kananku.

 

“Ingat, Dek! Perceraian itu di benci Allah,” Mas Angga mencoba mengingatkanku.

 

“Hanya di benci tapi di perbolehkan,” sahutku.

 

“Kamu ini kenapa, sih?” ku pegang dadaku menahan emosi. Ini orang bener-bener nggak ngerti alur masalah atau pura-pura nggak ngerti? Kulihat Ibu juga tak kalah memerah wajahnya. Dengan mendekap dadanya dengan kedua tangannya.

 

“Kamu yang kenapa? Kamu mikir nggak selama ini tidak memberiku nafkah? Justru aku yang menafkahimu dan ibumu,” ucapku kasar dengan menunjuk telunjuk jari tepat di wajahnya. Aku memang bener-bener geram. Mereka terdiam.

 

“Sebelum kita menikahkan kamu juga tau kalau aku memang pengangguran, terus apa masalahnya?” benar-benar tak tahu malu ngomong seperti itu. Tak punya harga diri.

 

“What?? Iya memang aku tahu kamu PENGANGGURAN sebelum menikah, tapi aku fikir setelah nikah kamu bisa lebih semangat mendapatkan pekerjaan, bukannya malah keenakan,” sindirku dengan menekankan kata pengangguran. Memancing emosinya. Ibu terlihat menyungut komat kamit.

 

“Aku juga nggak nganggur tiap hari, kadang juga ada job,” belanya.

 

“Iya, tapi uangnya nyampai di istrimu nggak? Nggak kan? Nyampai di ibumu kan?” sahutku melotot mempermaikan kata ‘kan’.

 

“Sampai kapan pun surgaku ada di ibuku, Dek. Jadi wajar aku ngasih hasil kerjaku ke ibuku,  kamu bisa cari duit sendiri!” benar-benar sakit hatiku mendengar ucapannya.

 

“Dewi, kamu nggak takut kualat ngomong seperti itu?” Ibu ikut menimpali. Membela anak kesayangannya.

 

“Kualat? Ok, biar aku nggak kualat, besok akan aku urus ke pengadilan agama, biar cepat-cepat terbebas dari benalu seperti kalian, silahkan bereskan semua barang-barang kalian, SEKARANG!!!” perintahku tanpa basa basi.

 

“Kamu bener-bener perempuan nggak tau diri, untung-untung Angga mau nikahin kamu, dasar MANDUL,” jleebb, ibu menekankan kata mandul mengoyak harga diriku sebagai perempuan.

 

“Mandul? Aku tidak mandul!” tandasku terbawa emosi. Aku memang sengaja masih menggunakan kontrasepsi. Karena sengaja belum ingin hamil, karena melihat Mas Angga masih belum dewasa cara berfikirnya. Terbukti, sampai setahun pernikahan dia sama sekali tidak memikirkan kebutuhanku. Malah menjadikan ku tulang punggung untuk dirinya dan ibunya. Menyakitkan.

 

“Setahun kamu nikah dan belum hamil-hamil juga, mungkin kalau bukan Angga suamimu kamu sudah di ceraikan?! tapi Angga menerima kamu apa adanya,” ucap ibu yang juga larut dalam emosi. Padahal selama ini tidak pernah bahas kehamilan. Giliran mau di usir mengungkit kehamilan. Mencoba mencari kesalahanku.

 

“Ibu bisa tanya dengan anak kesayangan Ibu, kenapa aku nggak hamil-hamil!” 

 

“Apa Maksudmu?” tanya Ibu lagi. Aku menyeringai kecut.

 

“Kami menggunakan pengaman selama ini! Jadi aku tidakl MANDUL,” sungutku mengatur emosi. Ibu membelalak tak percaya.

 

“Apa benar, Ga?” sentak Ibu, di jawab anggukkan oleh Mas Angga, membuat ibu nampak semakin malu.

 

“Justru aku bersyukur belum di kasih anak, jadi bisa secepatnya terbebas dari kalian, tanpa memikirkan ikatan lebih,” sungutku lagi. Membuat Mas Angga kebingungan. Bingung mau bagaimana. 

 

“Kamu bodoh, Ga?” bentak ibu ke anaknya. Mas Angga terdiam aku justru menikmati ekspresi mereka. 

 

‘Oya, silahkan cari wanita lain yang lebih dari aku, bukankah anak Ibu ganteng?” sindirku, mengingatkan kembali kata-katanya waktu itu, dengan melihat ekspresi wajah Mas Angga yang semakin tak karu-karuan.

 

“Dek, kita bisa bahas ini dengan kepala dingin, jangan seperti ini!” aku tak menggubris omongannya. Ku ambil tas kerjaku dan bersiap ke kantor.

 

“Oya, jangan lupa bereskan semua barang-barang kalian! Nanti aku akan menyuruh orang ke sini mengawasi apa saja yang akan kalian bawa, jangan harap bisa membawa barang berharga dari rumah ini!” 

 

“Kamu keterlaluan, Dewi!!” sungut Ibu dengan nada tinggi.

 

“Dek, sampai kapanpun aku tak akan menceraikanmu!” 

 

Aku tetap keluar dari rumahku bergegas ke kantor. Hatiku terasa kebas mendengar makian ibu. Cinta? Mungkin masih bisa ku pertahankan kalau Mas Angga mau berubah dan mau bekerja, selayaknya suami ke istrinya.

 

Aku tahu perceraian itu di benci oleh Allah. Tapi mungkin cerai jalan terbaik. Entahlah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status