Share

Bab 3

“Kayaknya Ibu mending pulang kampung aja, Ga?” ucap Ibu malam ini, minta pendapat kepada anaknya. ‘Syukurlah’ dalam hatiku. 

 

“Ibu ngomong apa, sih!” jawab Mas Angga, tak suka ibunya ngomong seperti itu. 

 

“Iya, Ibu tak nyaman di sini, walau jelek tetap enak tinggal di rumah sendiri,” sahut Ibu lugu. Aku tak terpancing sedikitpun. Dia pasti inginnya, aku mohon-mohon jangan pergi dan akan menuruti semua keinginannya. Ngimpimu terlalu tinggi Bu. 

 

“Ibu tetap di sini ikut aku, karena di kampung rumah kita sudah tidak layak huni. Di sini rumah Dewi bagus banyak kamar kosong,” sahut Mas Angga lagi. Aku hanya menyeringai sinis. Dasar benalu, bisanya hanya numpang.

 

“Biarlah, Nak, bocor sana sini nggak apa-apa!” ehm mencoba mencari simpati anaknya.

 

“Tapi, Angga nggak tega ibu tinggal sendirian di kampung,” sandiwara yang bagus, persis film ikan terbang. Sengaja tak ku tanggapi. 

 

“Di sini Ibu nggak di hargai sama istrimu, apa-apa yang Ibu lakukan salah di mata istrimu,” gerutunya sambil melirikku. Benar-benar benalu tua. Omongannya seakan mertua teraniaya.

 

“La, kok malah bawa-bawa Dewi? Kalau mau pulang, ya pulang aja! Nggak usah nyindir-nyindir” sahutku menekan kata nyindir. Ibu terlihat melengos. Mas Angga nampak tak terima dengan ucapanku. Bodo amatlah.

 

“Dek, yang sopan dong ngomong sama Ibu! Harusnya kamu ngerayu Ibu, biar ibu nggak pulang kampung!” perintahnya. Aku hanya mendengus kesal. Ogah.

 

“Kamu dengar sendiri kan, Ga? Bagaimana tak sukanya istrimu, Ibu tinggal di sini? Mending Ibu pulang kampung aja, kamu kirimin uang seperti biasanya,” ucap Ibu enteng. Bener-bener tak tahu malu. Kayaknya, memang sudah putus urat malunya. Keenakan di kirimin uang tiap bulan dan aku baru menyadarinya.

 

“Nggak! Pokoknya Ibu tetap tinggal di sini! Angga nggak tega ibu tinggal di rumah yang sudah bocor sana sini. Kecuali, Dewi mau bantu Ibu renovasi rumah,” deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Benar-benar benalu yang sudah mengakar rupanya dan sudah beranak pinak.

 

“Loo, kok Dewi? Emangnya aku bank di minta buat bantu renovasi rumah Ibu? Satu lagi, kalau ibu pulang kampung, aku nggak mau kirimin duit ibu lagi tiap bulan, itu bukan kewajibanku, Mas Angga harus kerja kalau ingin ngirim Ibu duit,” sahutku kesal. Geram sekali mendengar obrolan mereka. Aku hendak di buatnya robot pencari uang. Enak saja. Konyolnya aku terlambat menyadari. 

 

“Kamu sekarang kok perhitungan banget, sih, Dek? Bisa Nggak anggap Ibuku itu seperti Ibumu sendiri!”  ku tatap Mas Angga dengan mata melotot. Seakan ingin memutilasinya.

 

“Apa? Ibumu bisa nggak, anggap aku sebagai anaknya sendiri?” tanyaku balik. Terlihat wajah terkejut disana. Begitu juga dengan Ibu.

 

“Ibu kurang apa sama kamu, Dewi? Ibu berusaha menjadi Ibu yang baik buat kamu, ngajarin kamu, bagaimana menjadi istri yang sempurna? tapi kamu bantah terus bisanya,” sungutnya, dengan melipat kedua tangan di dadanya. Persis nyonya besar. Lagi-lagi aku menyeringai menjatuhkan.

 

“Istri yang sempurna? Emang Ibu dulu menjabat predikat istri sempurna?” tanyaku seraya tawa mengejek. Membuat ibu makin tersulut emosinya. Begitu juga dengan anaknya.

 

“Ibu itu bisa segala-galanya Dewi. Waktu Ibu masih muda seumuran kamu, Ibu bisa cari duit, bisa masak, bisa ngurus rumah, bisa ngurus anak, nggak pernah manja dengan suami. Jadi istri harus bisa segalanya! Makanya Ibu nggak suka kamu gaji pembantu. Hambur-hamburin duit saja, nampak banget pemalasnya,” ucapnya sambil menghitung dengan jari setiap kata yang dia ucapkan. 

 

“Kamu belum punya anak aja kok, sok-sokan gaji pembantu, pantaslah kamu nggak hamil-hamil, orang kamu memang belum bisa jadi Ibu.” Ucapnya lagi membuat aku semakin terpojok. Semakin tersinggung. Kehamilan mutlak kuasa Tuhan. Segitunya kah menjadi istri? Atau hanya akal-akalan Ibu?

 

“Betul yang di bilang Ibu, Dek! Kamu harusnya belajar dari Ibu dan berterimakasih dengan Ibu, karena Ibu niatnya bagus, demi kebaikan rumah tangga kita, siapa tahu kalau kamu sudah bisa dengan sempurna menjalankan tugas istri, kamu segera hamil” Mas Angga ikut menimpali. Membuatku semakin terpojok. Kenapa aku terus yang di tekan harus menjadi istri sempurna? Suami?

 

“Gitu amat jadi istri? Kamu juga harusnya sempurna, biar istrimu ini segera hamil. Terus tugas mu ngapain, Mas? Tiduran di rumah? Maen game? Mancing? Atau jadi benalu?” sindirku geram, sengaja melirik ibu saat mengucap kata benalu. Ibu beranjak dari duduknya, terlihat wajah tak terima. Begitu juga dengan anaknya.

 

“Apa maksudmu ngomong benalu? Mentang-mentang kamu yang kerja, kamu jangan semena-mena ngatain anak saya? Angga itu ganteng, bisa dapetin cewek mana saja yang dia mau, bisa dapetin cewek yang jauh lebih sempurna.” jleebb, hatiku terasa tertusuk santet. Santet benalu yang tak tau malu. Aku dulu kok bisa mencintai Mas Angga? Bodoh bodoh bodoh.

 

“Memang kenyataannya selama ini, Mas Angga nggak kerjakan?” akupun ikut meninggikan suaraku. 

 

“Dek, jangan bentak-bentak Ibu, Mas nggak suka.”

 

“Jadi, kamu suka kalau istrimu di bentak-bentak ibumu?”

 

“Setidaknya yang sopan ngomong ke orang tua, ibu kan mertuamu.” 

 

“Aku akan sopan, kalau ibu juga sopan dengan aku! Tak terima? silahkan keluar dari rumah saya! Satu lagi, kalau memang bisa dapetin cewek mana saja, silahkan cari cewek itu dan bawa ke sini, aku yang akan menikahkan kalian,” tantangku. Nada kami saling beradu ketinggian. 

 

Rasanya sangat geram. Setiap hari hanya pertengkaran yang terjadi. Entah berapa kali aku ngusir mereka setiap bertengkar. Tapi yang di usir nggak nyadar dan memang tak tau malu.

 

“Renovasi dulu rumah Ibu, baru kita akan pergi kalau itu mau mu,’ ucap Mas Angga. Aku melongo mendengar ucapannya.

 

“What???” masih bibir melongo.

 

Benalu adalah tumbuhan yang menumpang pada tanaman lain dan mengisap makanan yang ditumpanginya. Benalu dapat dijumpai dengan mudah pada pohon-pohon besar di daerah tropis. Begitulah mereka. Hanya bisa menumpang dan makan gratis di rumahku. 

 

“Oh, iya Bu, ini honor Angga tadi ada orang suruh buatin edit video!” ucap Mas Angga menyerahkan uang dua lembar warna merah kepada ibunya. Dengan sumringah ibu menerimanya.

 

“Kok, dikasihkan ke Ibu, Mas? Harusnya ke aku dong istrimu?” tanyaku tak habis pikir.

 

“Kamu ini kenapa, sih, Dek? Perhitungan banget masalah duit! kamu bisa cari duit sendiri kan? Lagian gaji kamu banyak, cuma honorku segini aja kamu permasalahkan. Ibu sudah tua, kalau bukan aku anaknya, siapa lagi yang mau nyariin ibu duit?” sahutnya sok bijak. Aku benar-benar geram sampe ubun-ubun. Walau sedikit hasil kerja suami, itukan ada hakku. Aku juga ingin menerima duit hasil keringat suami. Padahal berapapun hasilnya, aku pasti senang sekali menerimanya. Setidaknya di bagilah, jangan ke ibu semua. Ahh entahlah.

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status