"Kamu tidak akan pernah tau. Menilai lebih mudah dan proses tidak penting. Maka dari itu kemari dan duduklah sebentar biar aku ceritakan tentang permainan menarik ini." -Achilles Heel-
Sore itu hujan turun sangat deras. Dia terjebak diantara dinginnya sore menjelang malam. Dia yang selalu betah dan selalu melarikan diri ketika kerja kerasnya tidak diberi apresiasi. Dia duduk diantara lemari kayu yang tinggi.
Di mejanya terdapat lembaran putih bergaris dipasangkan pena tinta hitam. Dengan tulisan yang telah diketik ukuran dua belas dalam layar terang. Buku persegi empat yang tampak usang dengan ketebalan kira-kira sekitar lima ratus halaman dibiarkan terbuka sekitar dua jam yang lalu. Buku tua beraroma senyawa organil volatil (voc) yang pecah yang ada dalam tinta, kertas, dan pengikat buku.
Dia mengedipkan kedua matanya saat merasa bacaan itu benar, terutama membaca bagian kecil dipinggir buku yang biasanya diberi kotak kecil. Dia paham teori Henry Louis Le Chatelier, sang pencetus kesetimbangan kimia dalam bukunya yang berjudul Rechershes Sur Les Equilibre Chimiques. Karya itu menjadi pedoman dalam salah satu rumus kimia hingga kini. Henry berhasil menemukan rumus hubungan antara reaksi yang terjadi pada sistem kesetimbangan kimia dengan aksi atau pengaruh yang diberikan dari luar. Namanya Henry mulai populer berkat salah sepenggal kalimat pada teorinya itu
"apabila pada sistem kesetimbangan yang sedang berlangsung dilakukan suatu aksi, timbul reaksi dari sistem sehingga pengaruh aksi tersebut dapat diperkecil."
Dari kalimat itu semua orang akan paham dua sampai tiga kali membacanya. Tentang kesetimbangan yang hanya berlaku pada teori. Kadang pengerjaan terhadap satu soal kesetimbangan tak selaras dengan teori itu atau mungkin kamu yang bodoh karena tidak dapat menyelaraskan. Tentang kesetimbangan yang tidak akan mungkin sama dengan kehidupan. Dia menarik sudut kanan bibir, si gadis yang memilih betah diruangan itu tertawa kecil.
Seseorang dokter yang kala itu sengaja menjabatkan diri sebagai dosen di bangsal sebelas berkata padanya "Jagalah kesetimbangan kehidupan, perjuangkan semua variabel yang mengarahkan pada bergesernya kesetimbangan ke arah kehidupan yang lebih baik." Seorang yang selalu lama dan menetap dibangsal seperti merajut asa. Konyol sekali bila dibayangkan berkali-kali.
Si gadis lalu mengambil gambar kemudian mengirimkan hasil jepretan itu ke ruang chat dokter yang sengaja menjabat diri sebagai dosen di handphonenya. Emoticon ketawa menjadi akhir kalimat pesan yang dikirim. Tak lama kemudian handphonenya berdering lantas ditengoknya satu notif dari sang dokter. Si gadis tesrenyum simpul lalu mengetikkan sesuatu lagi sebelum pada akhirnya mematikan handphone agar fokusnya kembali pada buku.
Selanjutnya mari kita kembali pada pandangan Henry Louis soal kesetimbangan kimia prinsip Le Chatelier. Katanya dalam buku paragraf kedua "sistem selalu bertindak meniadakan perubahan dalam kesetimbangan kimia; dan untuk mengembalikan keseimbangan, sistem akan mendukung jalur kimia untuk mengurangi atau menghilangkan ganguan sehingga kestabilan kembali pada kesetimbangan termodinamika."
Tentang kehidupan dan kesetimbangannya kadang rumit bagai permainan matematika atau permainan layang-layang yang sering dimainkan anak laki-laki. Mari kita ulangi kata terakhir dalam penggalan kalimat sebelumnya "Termodinamika". Kemarilah dan duduk sebentar maka akan kuceritakan sebuah kisah unik nan rumit tapi menyenangkan.
Pukul dua siang transportasi rel seperti kapsul yang berjejer sampai di stasiun. Para penumpang kereta berbondong-bondong keluar, rela saling dorong demi mendapatkan pintu keluar, seorang gadis berambut lurus panjang berdiri dibaris paling belakang,membuat jarak dengan penumpang lainnya. Saat mereka selesai berdesakkan barulah gadis itu keluar. Sepasang kaki yang dipakaikan sepatu tali usang itu kini menginjakkan tanah Jawa barat untuk yang kedua kali. Gadis yang rambutnya panjang mengedarkan pandangan di stasiun yang sedang ramai. Karena memasuki jam makan siang. Sambil menarik koper abu-abu miliknya dia duduk di kursi panjang yang tak ditempati siapapun. Gadis itu tengah serius mengetikkan sesuatu di benda pipih ditangannya. “Ibu, aku sudah sampai.”(isi ketikan). Di depannya ada televisi kecil dipajang di atas dinding. Alisnya mengkerut, dia pikir itu aneh. Siapa yang punya ide menaruh televisi disini tidak ada orang yang mau menonton.
Saya yakin kalian semua sudah tidak asing dengan yang satu ini. Kalau bapak bertanya apa itu stoikiometri. Materi ini hanya sebagai perkenalan diantara kita. Sekarang saya akan menulis suatu reaksi.”(Dosen berkacamata tebal dengan rambutnya yang botak bagian depan itu secara perlahan menulis sambil mengeja tulisannya pada white board). Tujuh koma lima mili NaOH plus tujuh koma lima mili HCL …. "Hah..."Achi menutup buku kimia setebal kamus, mencabut earphone dari telinga, dan mem-pause hasil rekaman suara dosen. Dia mengangkat kedua tangan ke atas diiringi tarikan badan mengikuti arahan kedua tangan, membuat tulang-tulang dan urat-urat yang kaku jadi lebih rileks. Hari pertama kuliah sangat berat rupanya. Achi menguap lebar-lebar disusul suara perut yang keroncongan. Ah iya dia lupa sarapan akibat telat bangun. Dipaksakan berpikir sekalipun, tidak akan bisa fokus lantas menutup buku tebal milik perpu
masa habis sih?! perasaan baru beli. Kata Achi mengumpat pelan disusul desahan frustasi. Kepalanya sangat sakit walaupun Achi obati dengan mengikat kepala lalu tidur, sakit kepalanya akan timbul lagi esok atau tengah malam dan itu sangat menggangu. Dari pada begitu obat adalah pilihan yang jelas. Lantas dia memutuskan keluar rumah untuk membelinya di apotik. Jarak apotek tidak jauh dari kos jadi ia tidak perlu repot memesan taksi ataupun menunggu ojek datang. Ah syukur kata Achi dalam hati saat sampai di apotik dalam suasana sepi. “Obat sakit kepalanya." “Obat sakit kepala apa, mbak?” “***h**.” Apoteker itu mengangguk dan berkata, "silakan tunggu sebentar mbak." Achi pun duduk di kursi samping etalase obat-obatan. Langit sedang mendung tanpa aba-aba petir besar datang disambut kilat, hujan langsung turun begitu deras. Langit berubah menjadi gelap. Achi menelan air ludahnya karena takut, pikir
"Anak baru itu kayaknya nggak bakal datang," sahut Oliv yang lagi menaruh kue bolu coklat ke dalam kotak dengan sangat hati-hati. "Nggak boleh berpikiran buruk gitu, Liv. Mungkin di perumahannya masih hujan." Raka mengelap meja pelanggan yang sudah kinclong tapi di ulang berkali-kali karena malas melakukan pekerjaan yang lain. "Haduh, Ibu pusing dengar kalian ngomong. Kalau dia datang langsung aja kasih tau apa yang harus dikerjakan," tukas Ibu Wina sang bos toko yang sedang kebingungan karena hujan deras tokonya jadi sepi. suara motor berhenti di parkiran lantas mereka bertiga langsung menoleh serentak saat itu perempuan dengan kemeja kotak-kotak, rambut panjang yang urak-urakan karena di terpa angin. Mata Oliv membulat saat tau yang datang adalah anak baru kemudian dengan semangatnya berkata, "eh ibu! ibu!" "IYA! IYA! Ibu juga liat Oliiv..," kesal Ibu Wina Achi pun masuk dengan kikuk sambil membawa map berwarna coklat."Permisi Ib
Oliv dan Raka berhenti bersuara saat Achi dengan ragu-ragu berjalan masuk ke dapur. Matanya liar memandangi setiap sudut ruangan. Ada rasa kagum dibaluti rasa bersalah. Jantungnya berdegup kencang tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Tantangan hidup yang baru baginya bekerja sambil kuliah, tanpa sepengetahuan Ibu. Achi menelan salivanya. "Ehm, hai. Perkenalkan namaku Achi. Mohon bantuannya dan tegur aku bila salah," jelasnya membuat suasana menjadi lebih canggung. haduh,, jadi makin canggung. Harus gimana dong?. Keluhnya didalam hati. Beberapa saat kemudian Oliv membalas, "Achi, kenalin aku Oliv," pungkas perempuan yang rambutnya pirang se punggung dan lebat itu mengulurkan tangan, berharap segera dijabat. Achi pun masih terpesona dengan cantiknya Oliv, kemudian laki-laki yang berada disebelakang Oliv berambut sedikit gondrong itu ikut bersuara. "Hai Achi! aku Raka. Panggil aja Raka gausa pake kakak." Oliv
Begitu pesawat yang dinaikinya mendarat, pemuda itu langsung menerobos penumpang yang ada di depannya. Jantungnya berdegup sangat kencang sangking khawatirnya ia sampai lupa dirinya membawa koper. Namanya beberapa kali di panggil memakai pengeras suara, mungkin sampai yang ke seratus kalinya barulah laki-laki itu tersadar dan berlari lagi ke dalam menuju sumber suara."Pak, lain kali hati-hati jangan terlalu tergesa-gesa karena kami yang akan kesusahan." Jelas petugas itu dengan nada jengkel begitu juga ekspresinya tapi biarpun demikian, laki-laki yang bernama Reno itu tidak bisa menyerap omongan petugas dengan baik karena pikirannya jauh ke tempat lain. Tanpa aba-aba saat koper itu sudah di tangannya, Reno berlari setelah mengucapkan terima kasih.Reno mengorek saku celananya dan mengerluarkan sebuah kunci mobil. Mobil putih di garasi khusus penitipan kendaraan itu melaju kencang di jalan raya. Seperti pembalap, Reno bahkan melewati lampu merah tiga kali. Di per
Pukul lima pagi Achi sudah bangun, padahal baru tiga jam yang lalu bisa tidur. Pertama, Achi selalu memulai paginya dengan membersihkan kamar kos lalu mandi dan sarapan. Pada jam tujuh Achi sudah harus masuk kelas, jadi jam enam ia sudah beres dan pergi ke jalan raya menunggu taksi.butuh waktu lima belas menit menuju kampusnya, Achi sampai tanpa harus menunggu kemacetan. Kali ini jam kelasnya di ruang sembilan lantai dua. Achi menaiki tangga dengan bersemangat karena suasana dan mood nya pagi ini cukup bagus. Seseorang dengan suara agak berat memanggilnya dari belakang."Achi!"Achi pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, seorang laki-laki memakai jaket seperti Dilan dan senyumanya dengan percaya diri berjalan mendekat. Achi bingung siapa gerangan."Kamu benar Achi, kan?""Iya,,""Aku Malvyn, kita satu angkatan satu organisasi. Jam sembilan nanti ada rapat di ruang 2 ya pesan dari kadep an sekdep jangan lupa hadir."
Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas b