"Anak baru itu kayaknya nggak bakal datang," sahut Oliv yang lagi menaruh kue bolu coklat ke dalam kotak dengan sangat hati-hati.
"Nggak boleh berpikiran buruk gitu, Liv. Mungkin di perumahannya masih hujan." Raka mengelap meja pelanggan yang sudah kinclong tapi di ulang berkali-kali karena malas melakukan pekerjaan yang lain.
"Haduh, Ibu pusing dengar kalian ngomong. Kalau dia datang langsung aja kasih tau apa yang harus dikerjakan," tukas Ibu Wina sang bos toko yang sedang kebingungan karena hujan deras tokonya jadi sepi.
suara motor berhenti di parkiran lantas mereka bertiga langsung menoleh serentak saat itu perempuan dengan kemeja kotak-kotak, rambut panjang yang urak-urakan karena di terpa angin. Mata Oliv membulat saat tau yang datang adalah anak baru kemudian dengan semangatnya berkata, "eh ibu! ibu!"
"IYA! IYA! Ibu juga liat Oliiv..," kesal Ibu Wina
Achi pun masuk dengan kikuk sambil membawa map berwarna coklat. "Permisi Ibu Wina, saya yang.." Kalimatnya terpotong karena Ibu Wina membalas, "sudahlah tidak perlu panjang lebar. Saya pikir kamu tidak jadi datang. kalau gitu..."
Ibu Wina mengedarkan pandangannya ke arah lain, sampai mata Oliv tak sengaja bertabrak pandang dengan Ibu Wina. "Oliv! kemari!"
Oliv dengan manggut-manggut berjalan ke tempat Ibu Wina, "ada apa bu Wina?"
"Nah Achi, sekarang kamu akan di temani rekanmu ke dapur," ucapnya dengan nada ramah tapi Achi mengkerutkan alisnya dokumennya saja belum di cek bahkan diminta pun tidak tapi sudah di ajak ke dapur saja.
"Oliv kasih tau Achi ruang ganti dan hal-hal yang perlu dikerjakan!" titah Ibu Wina
"Baik. Bu," kata Oliv kemudian.
"Oh iya! map itu CV kamu kan?" tanya Ibu Wina yang segera dianggukan Achi, "sini biar saya cek. syarat yang kamu lihat di website hanya formalitas saja, saya butuh yang niat bekerja dan punya skill memasak."
Achi mengangguk paham tidak tahu harus menuturkan kalimat apa tapi karyawan yang bernama Oliv itu segera menggandeng tangan Achi tanpa basa-basi menariknya ke ruangan khusus karyawan. Achi sempat melihat ke Raka yang melempar senyum dan Oliv justru membuang muka karena takut.
Kini Achi dan Oliv berada di ruang petak putih dengan dua kamar mandi terpisah laki-laki dan perempuan. Lalu ada kaca besar lengkap westafel. Disamping itu ada meja kayu dengan 4 buah kursi yang juga terbuat dari kayu. Diatas meja ada seragam putih seperti yang dikenakan Oliv juga Raka, yang terlipat rapi di sisi pinggir meja.
"Achi, ini ruang ganti baju. Disitu ada kamar mandi dan meja ini buat istirahat. Kalau kamu kesulitan panggil aku ya," katanya lagi-lagi tersenyum lebar diakhiri kekehan di akhir. Achi sampai tak bisa berkata-kata karena kulit Oliv yang putih dan bersinar, matanya besar, bulu matanya panjang juga lentik, alisnya tebal, hidung mancung, dan wajah mulus, rambutnya gelombang di bawah. Wah! definisi cantik.
Segera setelah Oliv keluar, Achi pergi ke kamar mandi berganti pakaian. Rambutnya sengaja dikucir satu ke atas, mukanya bersih tanpa bedak. Hanya sedikit polesan lip tint di bibirnya.
"Eh! kayaknya si anak baru itu cupu deh," ucap Oliv datang melihat kerjaan Raka membersihkan sisa tepung yang berserakan di meja dapur.
Raka menarik napas kasar dan secara tegas mengatakan. "Punya mulut itu di jaga, bukan asal cerocos aja ngeluarin pendapat ini itu. Belum tentu apa yang kamu lihat benar."
"Ih! kamu kok gitu. Gak sependapat sama aku. Nggak asik."
Raka melempar kain lap dari tengannya ke meja kemudian mengelap keringat menggnakan punggung telapak tangan, "ih! kamyu kok gitchu. Gak sependapat syama akyuh." Raka mengejek omongan Oliv karena sudah lelah bekerja dari siang sampai sore hari.
"HIH! Apaansi Raka. Jijik," ketus Oliv kemudian pergi ke pemanggang kue.
Oliv dan Raka berhenti bersuara saat Achi dengan ragu-ragu berjalan masuk ke dapur. Matanya liar memandangi setiap sudut ruangan. Ada rasa kagum dibaluti rasa bersalah. Jantungnya berdegup kencang tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Tantangan hidup yang baru baginya bekerja sambil kuliah, tanpa sepengetahuan Ibu. Achi menelan salivanya. "Ehm, hai. Perkenalkan namaku Achi. Mohon bantuannya dan tegur aku bila salah," jelasnya membuat suasana menjadi lebih canggung. haduh,, jadi makin canggung. Harus gimana dong?. Keluhnya didalam hati. Beberapa saat kemudian Oliv membalas, "Achi, kenalin aku Oliv," pungkas perempuan yang rambutnya pirang se punggung dan lebat itu mengulurkan tangan, berharap segera dijabat. Achi pun masih terpesona dengan cantiknya Oliv, kemudian laki-laki yang berada disebelakang Oliv berambut sedikit gondrong itu ikut bersuara. "Hai Achi! aku Raka. Panggil aja Raka gausa pake kakak." Oliv
Begitu pesawat yang dinaikinya mendarat, pemuda itu langsung menerobos penumpang yang ada di depannya. Jantungnya berdegup sangat kencang sangking khawatirnya ia sampai lupa dirinya membawa koper. Namanya beberapa kali di panggil memakai pengeras suara, mungkin sampai yang ke seratus kalinya barulah laki-laki itu tersadar dan berlari lagi ke dalam menuju sumber suara."Pak, lain kali hati-hati jangan terlalu tergesa-gesa karena kami yang akan kesusahan." Jelas petugas itu dengan nada jengkel begitu juga ekspresinya tapi biarpun demikian, laki-laki yang bernama Reno itu tidak bisa menyerap omongan petugas dengan baik karena pikirannya jauh ke tempat lain. Tanpa aba-aba saat koper itu sudah di tangannya, Reno berlari setelah mengucapkan terima kasih.Reno mengorek saku celananya dan mengerluarkan sebuah kunci mobil. Mobil putih di garasi khusus penitipan kendaraan itu melaju kencang di jalan raya. Seperti pembalap, Reno bahkan melewati lampu merah tiga kali. Di per
Pukul lima pagi Achi sudah bangun, padahal baru tiga jam yang lalu bisa tidur. Pertama, Achi selalu memulai paginya dengan membersihkan kamar kos lalu mandi dan sarapan. Pada jam tujuh Achi sudah harus masuk kelas, jadi jam enam ia sudah beres dan pergi ke jalan raya menunggu taksi.butuh waktu lima belas menit menuju kampusnya, Achi sampai tanpa harus menunggu kemacetan. Kali ini jam kelasnya di ruang sembilan lantai dua. Achi menaiki tangga dengan bersemangat karena suasana dan mood nya pagi ini cukup bagus. Seseorang dengan suara agak berat memanggilnya dari belakang."Achi!"Achi pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, seorang laki-laki memakai jaket seperti Dilan dan senyumanya dengan percaya diri berjalan mendekat. Achi bingung siapa gerangan."Kamu benar Achi, kan?""Iya,,""Aku Malvyn, kita satu angkatan satu organisasi. Jam sembilan nanti ada rapat di ruang 2 ya pesan dari kadep an sekdep jangan lupa hadir."
Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas b
“sebelumnya, kakak ucapkan terima kasih teman-teman dan adek-adekku sudah menyempatkan waktunya pada rapat pagi ini. Eehm kaka langsung ke intinya.“ (30 menit kemudian) Satu persatu diantara mereka keluar ruangan, tidak dengan Achi yang sengaja di suruh jangan keluar dulu oleh ketua dan sekretaris divisinya. “Achi, kamu kan penanggung jawab di kegiatan besok, jadi ini beberapa tugas yang harus kamu pantau selama kegiatan itu berlangsung. “Oke kak.” Kata Achi menerima selebaran yang diberikan Kak Devi selaku ketua divisi. “Selamat bertugas, dek. Semangat,” ucap Kak Devi dan Kak Clarin bersamaan. “Ohiya!? Dev, Dek, nanti sore kan kita lanjut rapat tapi aku lupa ngasih tau kalau kita kan ada pratikum sama Pak William, ingat nggak?!” tanya Clarin membuat Devi langsung membulatkan mata sambil menepuk dahinya sendiri. Sementara Achi hanya diam, dia juga tidak akan bi
Monitor hemodinamik dan saturasi itu menggambarkan gelombang denyut jantung Mia Kolly, tekanan darahnya, oksigen yang diserap, temperatur, dan frekuensi pernapasan rendah. Bahkan selang pembantu dipasangkan.Waktu menunjukkan pukul delapan malam, posisi Reno masih sama, duduk bersandar di balik pintu dengan matanya yang merah, sampai seorang perawat mengetuk dari luar. Reno segera mengelap mukanya, menarik ingusnya kemudian membukakkan pintu.“Maaf Sus, silakan masuk,” katanya lirih.Suster berkulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, wajahnya polos tanpa make up itu bertanya, “Mohon maaf, Mas ini walinya pasien?”“Ya, benar sus.”“Ah,,syukurlah,” ucap perawat itu terdengar lega bagi siapapun yang mendengar setelah itu Reno langsung menyambar dengan pertanyaan, “Ada apa Suster? pacar saya baik-baik saja kan?” tanya Reno tampak khawatir.“Cepatlah Anda ke ruang Dokter Ariy
Rasanya ingin remuk saat itu juga, ia berjalan seolah nyawanya sudah hilang. Reno memgang puncak kepalanya, pusing menghadapi semua yang terjadi hari ini. Reno berhenti di depan pintu bangsal tempat Mia di baringkan, sorot matanya layu, ia tarik napasnya dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Dadanya sesak, seharian ia belum makan tidak peduli perutnya beberapa kali berbunyi, tapi Reno tak merasa lapar karena sudah kenyang mendengar pengakuan Dokter Ariye. Handphonenya berdering membuat Reno cepat melihat siapa yang menelpon. Reno tergelak, ia seharusnya sudah bisa menebak siapa lagi kalau bukan Raka, rekan satu kerjanya yang suka semena-mena tapi perhatian. Lantas Reno menjawab panggilan itu. “Halo,” kata Reno dengan nada sedikit bergetar, ia harap Raka tak akan tahu bahwa dirinya baik-baik saja. “Lo dimana, Ren? Kok rumah lo gelap, gue gak bisa masuk nih, pintu lo kunci juga, bukain dong!” titah Raka belum sadar akan suara Reno. Reno sekali lagi
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Achi mengangkat panggilan video grup dari divisinya, sudah ada ketua kak Devi dan sekerataris Kak Clarin beserta teman-teman anggota. Mereka sengaja melakukan rapat secara online, berhubung ketua dan sekretarisnya ada pratikum di luar kampus dan menginap di salah satu kota sehingga mereka memutuskan rapat jarak jauh. Achi menurut saja meski ia belum terbiasa berdiskusi dengan gawai. Rasanya aneh. Tapi mereka terdengar sangat lancar dan saling mencurahkan ide-ide cemerlang diluar nalar. Beberapa dari pendapat itu ada yang buat Achi tidak setuju tapi Achi ragu mau berkata takut salah takut terdengar bertele-tele. Karena sebenarnya ia belum punya pengalaman. Saat Kak Devi menyebut namanya secara tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang seperti menghadapi kelas dosen killer saja. Achi ditanya mengenai pendapatnya, kemudian Achi memantapkan dirinya kalau tidak bicara hari ini esoknya pasti menyesal. Lantas ia