Pukul lima pagi Achi sudah bangun, padahal baru tiga jam yang lalu bisa tidur. Pertama, Achi selalu memulai paginya dengan membersihkan kamar kos lalu mandi dan sarapan. Pada jam tujuh Achi sudah harus masuk kelas, jadi jam enam ia sudah beres dan pergi ke jalan raya menunggu taksi.
butuh waktu lima belas menit menuju kampusnya, Achi sampai tanpa harus menunggu kemacetan. Kali ini jam kelasnya di ruang sembilan lantai dua. Achi menaiki tangga dengan bersemangat karena suasana dan mood nya pagi ini cukup bagus. Seseorang dengan suara agak berat memanggilnya dari belakang.
"Achi!"
Achi pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, seorang laki-laki memakai jaket seperti Dilan dan senyumanya dengan percaya diri berjalan mendekat. Achi bingung siapa gerangan.
"Kamu benar Achi, kan?"
"Iya,,"
"Aku Malvyn, kita satu angkatan satu organisasi. Jam sembilan nanti ada rapat di ruang 2 ya pesan dari kadep an sekdep jangan lupa hadir."
"Oouh, tumben nggak lewat chat." tanya Achi sengaja untuk mencoba akrab sesama rekan.
“Pulsa ku habis, hadir ya kita mau bahas proker pertama." kata Malvyn dengan nada bersalah di awal tapi langsung merubahnya dengan ceria.
Achi tersenyum dulu lalu mengiyakan.
Tepat pukul 07.00 Dosen yang diduga killer itu pun masuk dengan langkah terburu-buru lantas menyapa mahasiswanya dengan senyuman yang sulit diartikan menurut Achi.
“Selamat pagi! Saya harap semua tidak ada yang mengantuk.” Katanya mengangkat satu alisnya kemudian membagi selebaran satu orang dapat satu. Begitu selebaran itu sampai pada tangannya, langsung ditatap dengan sumringah, beruntungnya Achi semalam begadang belajar membuahkan hasil.
Ah!tidak, tidak boleh senang dulu, ini bukan hasil tapi permulaan. Sebuah suara datang mengejutkan indra pendengarnya lantas Achi tersentak, begitu dosen itu menghampiri mejanya, beliau langsung memberi pertanyaan.
“28,6 kali 6,89? ” tanya beliau tanpa bertanya nama Achi atau sekedar basa-basi. Achi langsung gugup, jantungnya berdetak sangat kencang sehingga ia pun menunduk ke mejanya. Ia berusaha mencari tahu jawabannya tanpa cakaran.
“2,86 punya 3 AP..”
“6,89 itu 3 AP kan, jadi kemungkinan 0,67 ?” Achi berdiskusi dalam hati
“ Ayo berapa hasilnya!” sontak beliau
“Mohon maaf bapak kalau salah,”
“Ya, gapapa.”
“Nol koma enam tujuh?” kata Achi bernada sangat ingin tahu benar salahnya. Dan Bapak Dosen langsung berjalan cepat ke mejanya, mengambil sebuah pena juga kertas. Achi dan teman-teman kelas keheranan, lantas Dosen itu bertanya, “siapa namamu?”
“Achi Inara Leshil.” Jawab Achi sementara bapak dosen menuliskan sesuatu di lembarannya, sesudah itu beliau menutup lembarannya dan mengahdapkan pandangannya ke seluruh isi dalam kelas.
“Saya berikan applause kepada mba Achi, atas jawabannya sangat benar bahkan tanpa menghitung berlama-lama. Anda semua haruslah mempunyai skill seperti Achi. Jika tidak punya, latih, sampai Anda punya.”
“Terima kasih, Achi. Saya suka cara kamu sigap tanggap menjawab. Saya pikir di tahun ini tidak ada yang bisa menjawab, karena empat tahun belakangan saya tidak menemukan mahasiswa yang seperti itu. Sekali lagi berikan applause.”
Semua memberikan tepuk tangan untuk Achi yang membalas terima kasihnya dengan melemparkan senyum, ditambah pujian dari dosen itu berkali-kali, membuat Achi benar-benar melayang ke langit ke tujuh. Sampai ia berpikir pertemuan berikutnya harus bisa membuat applause lagi supaya bisa dikenang.
Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas b
“sebelumnya, kakak ucapkan terima kasih teman-teman dan adek-adekku sudah menyempatkan waktunya pada rapat pagi ini. Eehm kaka langsung ke intinya.“ (30 menit kemudian) Satu persatu diantara mereka keluar ruangan, tidak dengan Achi yang sengaja di suruh jangan keluar dulu oleh ketua dan sekretaris divisinya. “Achi, kamu kan penanggung jawab di kegiatan besok, jadi ini beberapa tugas yang harus kamu pantau selama kegiatan itu berlangsung. “Oke kak.” Kata Achi menerima selebaran yang diberikan Kak Devi selaku ketua divisi. “Selamat bertugas, dek. Semangat,” ucap Kak Devi dan Kak Clarin bersamaan. “Ohiya!? Dev, Dek, nanti sore kan kita lanjut rapat tapi aku lupa ngasih tau kalau kita kan ada pratikum sama Pak William, ingat nggak?!” tanya Clarin membuat Devi langsung membulatkan mata sambil menepuk dahinya sendiri. Sementara Achi hanya diam, dia juga tidak akan bi
Monitor hemodinamik dan saturasi itu menggambarkan gelombang denyut jantung Mia Kolly, tekanan darahnya, oksigen yang diserap, temperatur, dan frekuensi pernapasan rendah. Bahkan selang pembantu dipasangkan.Waktu menunjukkan pukul delapan malam, posisi Reno masih sama, duduk bersandar di balik pintu dengan matanya yang merah, sampai seorang perawat mengetuk dari luar. Reno segera mengelap mukanya, menarik ingusnya kemudian membukakkan pintu.“Maaf Sus, silakan masuk,” katanya lirih.Suster berkulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, wajahnya polos tanpa make up itu bertanya, “Mohon maaf, Mas ini walinya pasien?”“Ya, benar sus.”“Ah,,syukurlah,” ucap perawat itu terdengar lega bagi siapapun yang mendengar setelah itu Reno langsung menyambar dengan pertanyaan, “Ada apa Suster? pacar saya baik-baik saja kan?” tanya Reno tampak khawatir.“Cepatlah Anda ke ruang Dokter Ariy
Rasanya ingin remuk saat itu juga, ia berjalan seolah nyawanya sudah hilang. Reno memgang puncak kepalanya, pusing menghadapi semua yang terjadi hari ini. Reno berhenti di depan pintu bangsal tempat Mia di baringkan, sorot matanya layu, ia tarik napasnya dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Dadanya sesak, seharian ia belum makan tidak peduli perutnya beberapa kali berbunyi, tapi Reno tak merasa lapar karena sudah kenyang mendengar pengakuan Dokter Ariye. Handphonenya berdering membuat Reno cepat melihat siapa yang menelpon. Reno tergelak, ia seharusnya sudah bisa menebak siapa lagi kalau bukan Raka, rekan satu kerjanya yang suka semena-mena tapi perhatian. Lantas Reno menjawab panggilan itu. “Halo,” kata Reno dengan nada sedikit bergetar, ia harap Raka tak akan tahu bahwa dirinya baik-baik saja. “Lo dimana, Ren? Kok rumah lo gelap, gue gak bisa masuk nih, pintu lo kunci juga, bukain dong!” titah Raka belum sadar akan suara Reno. Reno sekali lagi
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Achi mengangkat panggilan video grup dari divisinya, sudah ada ketua kak Devi dan sekerataris Kak Clarin beserta teman-teman anggota. Mereka sengaja melakukan rapat secara online, berhubung ketua dan sekretarisnya ada pratikum di luar kampus dan menginap di salah satu kota sehingga mereka memutuskan rapat jarak jauh. Achi menurut saja meski ia belum terbiasa berdiskusi dengan gawai. Rasanya aneh. Tapi mereka terdengar sangat lancar dan saling mencurahkan ide-ide cemerlang diluar nalar. Beberapa dari pendapat itu ada yang buat Achi tidak setuju tapi Achi ragu mau berkata takut salah takut terdengar bertele-tele. Karena sebenarnya ia belum punya pengalaman. Saat Kak Devi menyebut namanya secara tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang seperti menghadapi kelas dosen killer saja. Achi ditanya mengenai pendapatnya, kemudian Achi memantapkan dirinya kalau tidak bicara hari ini esoknya pasti menyesal. Lantas ia
Achi terbangun pukul lima pagi. Setelah itu langsung membersihkan diri sekaligus merendam pakaian yang kotor di kamar mandi, membuat sarapan, sarapan sambil baca buku. Pukul tujuh tepat ia mandi lalu pergi ke kampus dengan taksi. Dia sampai di kampus dan langsung menuju kelas, beberapa temannya sudah datang dan menyapanya. Aneh pikirnya karena pada biasanya sapaan itu di barengi tatapan sinis, ia mencoba membalas senyuman mereka, tak apa, lebih baik fokus sama diri sendiri. Achi duduk dibangku baris dua dari depan, ia membuka handphonenya untuk melakukan list kegiatan hari ini. “Achi!” seseorang menyapanya dengan lantang membuatnya menoleh dan melihat Seleda berjalan ke bangkunya. Sepertinya dia baru datang. “Chi, gue titip absen ya,” kata Seleda tiba-tiba. Achi diam beberapa detik lantas menjawab. “Tapi lo udah tiga kali titip absen, Da,” Seleda memutar bola matanya karena malas mendengar yang tak sesuai dengan harapannya. “Hah.. gimana ya, gue malas belajar
“Apakah saya kelihatan tua? Sampai kamu memanggil pak?” tanya Reno begitu keluar dan langsung mengambil celemek membuat adonan kue. Sementara Achi sedang mengatur kue di etalase dapur. “Maaf, saya tidak begitu melihat tadi, “ jawabnya dengan pelan “Nggak papa, kita juga belum pernah ketemu jadi wajar kalau tampang saya tidak kamu kenali.” Beberapa saat kemudian lonceng pintu berbunyi sebagai pertanda pelanggan masuk, dengan langkah besar Achi pergi ke depan meja kasir. Seorang wanita karir nan elegan itu tampak bingung di papan menu. “Halo, selamat malam, Mbak. Mau pesan kue?secangkir kopi?” Wanita elegan memakai tas branded itu membalasnya dengan senyuman tipis. “Kue spesial malam ini apa?” tanyanya. Achi terpessona dan menjawab, “malam ini kami ada menu spesial chocolate snoew chese dan.. “ “Saya tidak suka chocolate, hmm bagaimana ini.” “Tidak apa, kami punya menu spesial lainnya, mince pie untuk isian daging, buah
Achi baru pulang pukul sepuluh malam dari toko, ia menghela napas begitu knop pintu dibuka menampakkan kertas di dinding yang beirisi list kegiatan hari ini. Badannya pegal ternyata menjadi karyawan di toko kue bukan saja mencatat pesanan tapi membuat kue dan membuat minuman. Sebenarnya kalau sudah biasa dilakukan pasti tidak terlalu capek tapi tadi ia membuat kesalahan berulang-ulang kali. Sampai Reno sepertinya sedikit kesal padanya. Huft..aku harus minta maaf padanya, tapi istirahat bentar deh sepuluh menit, katanya saat badannya terbaring diatas tempat tidur. Hal yang paling sulit dilakukan itu konsisten, bagaimana caranya agar list kegiatanmu tetap berjalan meski badan dan pikiran sudah capek. Dulu ia anak manja yang mau punya ini itu minta duit mama, mau makan gorengan, bakso, semuanya serba mama. Achi bisa dapat gelar master pemalas tapi ada fase semua itu harus lenyap saat Mba Ana dan Bang Fahri merendahkan dirinya dan mamanya. Dari cara mereka meman