Begitu pesawat yang dinaikinya mendarat, pemuda itu langsung menerobos penumpang yang ada di depannya. Jantungnya berdegup sangat kencang sangking khawatirnya ia sampai lupa dirinya membawa koper. Namanya beberapa kali di panggil memakai pengeras suara, mungkin sampai yang ke seratus kalinya barulah laki-laki itu tersadar dan berlari lagi ke dalam menuju sumber suara.
"Pak, lain kali hati-hati jangan terlalu tergesa-gesa karena kami yang akan kesusahan." Jelas petugas itu dengan nada jengkel begitu juga ekspresinya tapi biarpun demikian, laki-laki yang bernama Reno itu tidak bisa menyerap omongan petugas dengan baik karena pikirannya jauh ke tempat lain. Tanpa aba-aba saat koper itu sudah di tangannya, Reno berlari setelah mengucapkan terima kasih.
Reno mengorek saku celananya dan mengerluarkan sebuah kunci mobil. Mobil putih di garasi khusus penitipan kendaraan itu melaju kencang di jalan raya. Seperti pembalap, Reno bahkan melewati lampu merah tiga kali. Di perjalanan satu tangannya tak berhenti mengetik dan memencet nomor telepon, tapi yang dihubungi tidak kunjung mengangkat panggilan.
Mobil itu berhenti pada Rumah Sakit megah, Reno keluar dan berlari lagi ke resepsionis. Napasnya tersenggal-senggal, keringat dingin dan bibirnya beberapa kali ia basahi. Reno terus berdoa semoga pesan yang diterima dari obrolan chat itu salah, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu baik-baik saja dan pesan itu hanyalah candaan biasa.
Reno bertanya pada resepsionis atas nama Mia Kolly, resepsionis itu menjawab dan membenarkan bahwa Mia Kolly di bangsal 103. Reno membeku, matanya menatap tak percaya pada resepsionis, jantungnya seakan berhenti berdetak ia sekali lagi melihat nama di layar komputer, dan benar saja Mia Kolly berada di bangsal 103.
Lantas tanpa mengucap terima kasih atau permisi, ia berlari seperti orang yang kesetanan. Reno bahkan tidak peduli pada tatapan orang-orang di Rumah Sakit yang mungkin menganggapnya kesurupan, gila dan sebagainya. Reno menuju lift tapi lift itu penuh dan dia pun berlari lagi memilih menaiki tangga dari lantai satu ke lantai lima.
Reno sampai di lantai lima, ujung rambutnya basah karena pelipisnya penuh keringat. Kamar paling ujung bernomor 103, tanpa pikir panjang lagi ia berlari dan langsung membuka knop pintu. Jantungnya yang berdegup sangat kencang seakan berhenti saat netranya menangkap pemandangan yang tidak ingin dilihat. Selang oksigen dipasangkan pada seorang gadis bernama Mia Kolly.
Dunia seakan berhenti, tiba-tiba rasanya sunyi dan seperti tidak ada udara di kehidupan ini. Reno menutup pintu pelan dan menjatuhkan dirinya ke lantai. Mia Kolly ternyata sedang tidak bercanda.
Pukul lima pagi Achi sudah bangun, padahal baru tiga jam yang lalu bisa tidur. Pertama, Achi selalu memulai paginya dengan membersihkan kamar kos lalu mandi dan sarapan. Pada jam tujuh Achi sudah harus masuk kelas, jadi jam enam ia sudah beres dan pergi ke jalan raya menunggu taksi.butuh waktu lima belas menit menuju kampusnya, Achi sampai tanpa harus menunggu kemacetan. Kali ini jam kelasnya di ruang sembilan lantai dua. Achi menaiki tangga dengan bersemangat karena suasana dan mood nya pagi ini cukup bagus. Seseorang dengan suara agak berat memanggilnya dari belakang."Achi!"Achi pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, seorang laki-laki memakai jaket seperti Dilan dan senyumanya dengan percaya diri berjalan mendekat. Achi bingung siapa gerangan."Kamu benar Achi, kan?""Iya,,""Aku Malvyn, kita satu angkatan satu organisasi. Jam sembilan nanti ada rapat di ruang 2 ya pesan dari kadep an sekdep jangan lupa hadir."
Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas b
“sebelumnya, kakak ucapkan terima kasih teman-teman dan adek-adekku sudah menyempatkan waktunya pada rapat pagi ini. Eehm kaka langsung ke intinya.“ (30 menit kemudian) Satu persatu diantara mereka keluar ruangan, tidak dengan Achi yang sengaja di suruh jangan keluar dulu oleh ketua dan sekretaris divisinya. “Achi, kamu kan penanggung jawab di kegiatan besok, jadi ini beberapa tugas yang harus kamu pantau selama kegiatan itu berlangsung. “Oke kak.” Kata Achi menerima selebaran yang diberikan Kak Devi selaku ketua divisi. “Selamat bertugas, dek. Semangat,” ucap Kak Devi dan Kak Clarin bersamaan. “Ohiya!? Dev, Dek, nanti sore kan kita lanjut rapat tapi aku lupa ngasih tau kalau kita kan ada pratikum sama Pak William, ingat nggak?!” tanya Clarin membuat Devi langsung membulatkan mata sambil menepuk dahinya sendiri. Sementara Achi hanya diam, dia juga tidak akan bi
Monitor hemodinamik dan saturasi itu menggambarkan gelombang denyut jantung Mia Kolly, tekanan darahnya, oksigen yang diserap, temperatur, dan frekuensi pernapasan rendah. Bahkan selang pembantu dipasangkan.Waktu menunjukkan pukul delapan malam, posisi Reno masih sama, duduk bersandar di balik pintu dengan matanya yang merah, sampai seorang perawat mengetuk dari luar. Reno segera mengelap mukanya, menarik ingusnya kemudian membukakkan pintu.“Maaf Sus, silakan masuk,” katanya lirih.Suster berkulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, wajahnya polos tanpa make up itu bertanya, “Mohon maaf, Mas ini walinya pasien?”“Ya, benar sus.”“Ah,,syukurlah,” ucap perawat itu terdengar lega bagi siapapun yang mendengar setelah itu Reno langsung menyambar dengan pertanyaan, “Ada apa Suster? pacar saya baik-baik saja kan?” tanya Reno tampak khawatir.“Cepatlah Anda ke ruang Dokter Ariy
Rasanya ingin remuk saat itu juga, ia berjalan seolah nyawanya sudah hilang. Reno memgang puncak kepalanya, pusing menghadapi semua yang terjadi hari ini. Reno berhenti di depan pintu bangsal tempat Mia di baringkan, sorot matanya layu, ia tarik napasnya dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Dadanya sesak, seharian ia belum makan tidak peduli perutnya beberapa kali berbunyi, tapi Reno tak merasa lapar karena sudah kenyang mendengar pengakuan Dokter Ariye. Handphonenya berdering membuat Reno cepat melihat siapa yang menelpon. Reno tergelak, ia seharusnya sudah bisa menebak siapa lagi kalau bukan Raka, rekan satu kerjanya yang suka semena-mena tapi perhatian. Lantas Reno menjawab panggilan itu. “Halo,” kata Reno dengan nada sedikit bergetar, ia harap Raka tak akan tahu bahwa dirinya baik-baik saja. “Lo dimana, Ren? Kok rumah lo gelap, gue gak bisa masuk nih, pintu lo kunci juga, bukain dong!” titah Raka belum sadar akan suara Reno. Reno sekali lagi
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Achi mengangkat panggilan video grup dari divisinya, sudah ada ketua kak Devi dan sekerataris Kak Clarin beserta teman-teman anggota. Mereka sengaja melakukan rapat secara online, berhubung ketua dan sekretarisnya ada pratikum di luar kampus dan menginap di salah satu kota sehingga mereka memutuskan rapat jarak jauh. Achi menurut saja meski ia belum terbiasa berdiskusi dengan gawai. Rasanya aneh. Tapi mereka terdengar sangat lancar dan saling mencurahkan ide-ide cemerlang diluar nalar. Beberapa dari pendapat itu ada yang buat Achi tidak setuju tapi Achi ragu mau berkata takut salah takut terdengar bertele-tele. Karena sebenarnya ia belum punya pengalaman. Saat Kak Devi menyebut namanya secara tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang seperti menghadapi kelas dosen killer saja. Achi ditanya mengenai pendapatnya, kemudian Achi memantapkan dirinya kalau tidak bicara hari ini esoknya pasti menyesal. Lantas ia
Achi terbangun pukul lima pagi. Setelah itu langsung membersihkan diri sekaligus merendam pakaian yang kotor di kamar mandi, membuat sarapan, sarapan sambil baca buku. Pukul tujuh tepat ia mandi lalu pergi ke kampus dengan taksi. Dia sampai di kampus dan langsung menuju kelas, beberapa temannya sudah datang dan menyapanya. Aneh pikirnya karena pada biasanya sapaan itu di barengi tatapan sinis, ia mencoba membalas senyuman mereka, tak apa, lebih baik fokus sama diri sendiri. Achi duduk dibangku baris dua dari depan, ia membuka handphonenya untuk melakukan list kegiatan hari ini. “Achi!” seseorang menyapanya dengan lantang membuatnya menoleh dan melihat Seleda berjalan ke bangkunya. Sepertinya dia baru datang. “Chi, gue titip absen ya,” kata Seleda tiba-tiba. Achi diam beberapa detik lantas menjawab. “Tapi lo udah tiga kali titip absen, Da,” Seleda memutar bola matanya karena malas mendengar yang tak sesuai dengan harapannya. “Hah.. gimana ya, gue malas belajar
“Apakah saya kelihatan tua? Sampai kamu memanggil pak?” tanya Reno begitu keluar dan langsung mengambil celemek membuat adonan kue. Sementara Achi sedang mengatur kue di etalase dapur. “Maaf, saya tidak begitu melihat tadi, “ jawabnya dengan pelan “Nggak papa, kita juga belum pernah ketemu jadi wajar kalau tampang saya tidak kamu kenali.” Beberapa saat kemudian lonceng pintu berbunyi sebagai pertanda pelanggan masuk, dengan langkah besar Achi pergi ke depan meja kasir. Seorang wanita karir nan elegan itu tampak bingung di papan menu. “Halo, selamat malam, Mbak. Mau pesan kue?secangkir kopi?” Wanita elegan memakai tas branded itu membalasnya dengan senyuman tipis. “Kue spesial malam ini apa?” tanyanya. Achi terpessona dan menjawab, “malam ini kami ada menu spesial chocolate snoew chese dan.. “ “Saya tidak suka chocolate, hmm bagaimana ini.” “Tidak apa, kami punya menu spesial lainnya, mince pie untuk isian daging, buah