Dosen yang diberikan gelar killer itu justru memberikan applause pada Achi, dan sungguh satu ruangan dibuat terpukau bahkan Achi juga tidak menyangka. Tapi, applause itu harus dipertahankan agar dipandang sebagai mahasiswa aktif, disayangi dosen, pintar, bukan sekedar mahasiswa cari nama atau famous sesaat, mencari sensasi. Pada intinya Achi pengen ilmu itu melekat bukan sekedar singgah.
Setelah Dosen keluar, mereka pun satu-persatu meninggalkan ruang kelas. “Achi?! duh gawat banget tadi,” kata Tania mengejutkannya.”Gue nggak habis pikir sih, kalau lo nggak bisa jawab duh bisa mati kita semua.”
“Gila sih! Lo the best banget dah,” sahut Sola datang dari bangku pojok baris dua dari depan.
“Gue nggak belajar sama sekali, gue kira tuh Dosen, nggak datang lagi kayak minggu-minggu kemaren.”
Tania mendudukkan pantatnya ke kursi di sebelah Achi, tak lama kemudian Vino berjalan mendekati mereka dengan menenteng tas belakangnya, “Ternyata pertanyaan dan jawabannya itu ada di lembaran. “
“Hah! Masa?!” Achi langsung kaget begitu juga dengan tatapan Tania, dan Sola.
“Dipertemuan besok, lo semua harus pahami materi ini. Kalau nggak, bisa-bisa nggak lulus lo pada.”
“Eh?serius?” Tania membulatkan mata dengan polos bertanya.
“Iyalah! Bodoh!” Timpal Sola mengkerutkan alis mengekspresikan kekesalannya.
“Oke, karena Jerry udah kasih tau kuncinya jadi besok sudah harus paham. Btw kalian mau kemana habis ini?” tanya Achi yang melirik satu persatu temannya. Jerry melirik Achi dan yang lainnya, berdeham sedikit sambil berjalan ke depan pintu. “Yok! Ke Cafetaria semuanya, gue traktir sebagai hadiah di hari ultah gue.”
“EH! JERRY ULTAH!!” Achi, Tania, dan Sola serempak.
“SSSHT, gak usah ribut-ribut. Gue tunggu di cafetaria, nanti ada Zafran sama Noel juga. Dah gue duluan.”
Mereka bertiga pun keluar dari ruangan setelah bayangan Jerry tak lagi kelihatan. Achi melirik jam di layar handphonenya, dia baru ingat kalau ada janji rapat di ruang dua, mereka hampir setengah jalan lagi menuju cafetaria.
“Guys, aku baru ingat ada rapat.” Achi memegang tangan Tania dan tangan Seleda bersamaan karena posisi Achi berada di tengah.
“Yah..kenapa baru bilang,” rengek Tania disusul ekpresi sedihnya. “Ah!gak asik kalo gak ada lo.”
“Emang harus banget hadir, ya? Bolos sepuluh menit gak papa kali,kamu kan juga belum sarapan,” usul Seleda, sok tau, Achi sudah makan atau belum dengan nada santai tapi terdengar tegas.
“Maap ya Sola, Tania, aku dah janji,” kata Achi bersiap melangkah ke arah berlawanan dari cafetaria, menatap wajah temannya yang tidak rela Achi pergi tapi ia tetap kokoh sama pikirannya, meskipun makanan di cafetaria lebih nikmat dari sarapannya sehari-hari, meskipun lebih asyik berkumpul bersama berbagi canda tawa disaat ini. Tapi ia sudah janji dan harus segera pergi. Dan Tania, juga Sola mulai mengerti bahwa Achi adalah orang yang tepat janji dan berpendirian.
“Bye-bye, enjoy our meal,love sekebon.”
“byee..baby,” kata Tania kemudian tangannya ditarik Sola pergi dari tempatnya berdiri.
Achi bergegas ke ruang dua, rambutnya terbang helai demi helai karena angin yang ia buat saat berjalan. Lantas handphonenya berdering, segera Achi angkat telepon itu dari Kakak seniornya yang berposisi sebagai kepala departemen. Achi menjawabnya dengan iya-iya-siap kak. Setelah itu Achi berbelok ke kanan ternyata ruang dua diisi kelas semester lima. Sehingga rapatnya di ganti ke gedung D. Sementara Achi posisinya di gedung B. Otomatis ia harus naik ojek atau menumpang ke yang lain.
Akhirnya ia mengomel sendirian, ditambah lagi dengan siapa harus Achi menumpang? Lagian Achi lebih sayang sama duitnya. Dia berhenti di bawah pohon alpukat sambil meringis atas nasibnya tidak punya kendaraan pribadi. Sekitar delapan menit ia berdiri kebingungan, ah seharusnya ia bisa saja jalan ke gedung D sekalian bakar kalori, ah tapi nanti keringatan dia nggak suka nanti rapatnya jadi tidak fokus akibat kepanasan.
Tidak lama setelah itu Bu Kadepnya telpon lagi. Achi pun menahan napasnya menatap layar ponsel, diangkatnya telepon itu. Sampai akhirnya Achi menghela napas lega. Ternyata Kadep nya sangat perhatian mengirimkan anak buahnya menjemput Achi.
“Yuk, buruan,” kata Marsel dan disusul Achi duduk. Kenalin, Marsell adalah rekannya sebagai sesama penanggung jawab di proker bulan depan. Dan mereka sebenarnya belum kenal, detik ini baru saling omong setelah tiga bulan menjabat.
Sampainya mereka di gedung D, Achi dan Marsel berjalan beriringan masuk ke ruangan yang sudah dipenuhi beberapa anggota lainnya termasuk ketua umum yang duduk di kursi depan bersama kadep dan sekdep departemennya. Achi dan Marsell tentu menjadi pusat perhatian, entah itu sengaja karena situasi ruangan cukup tidak enak dan ekspresi mereka yang bosan.
Marsel duluan memberi salam kemudian Achi, mereka berpisah mengambil kursi yang masih kosong. Ternyata rapat sudah dimulai, karena pak ketum mukanya sangat serius tak kalah seriusnya dengan kadep dan sekdep.
“…Nah ini, yang saya maksud. Teman-teman semua yang disini harus bisa mengambil peran di webinar nanti. Semangat semuanya, sebelumnya saya izin pamit duluan karena ada rapat juga di sebelah. Terima kasih semuanya, tetap semangat dan jaga kesehatan!”
“Baik, pak.”
“Siap kak.”
“Oke kak,siap”
“Ya, terima kasih Pak."
Achi menertawai dirinya setelah penutup dari ketua umum himpunannya, ia merutuki dirinya dalam hati. Anggota macam apa yang baru datang setelah penutupan dari ketua umum, ah dimana letak kesopanannya.
“sebelumnya, kakak ucapkan terima kasih teman-teman dan adek-adekku sudah menyempatkan waktunya pada rapat pagi ini. Eehm kaka langsung ke intinya.“ (30 menit kemudian) Satu persatu diantara mereka keluar ruangan, tidak dengan Achi yang sengaja di suruh jangan keluar dulu oleh ketua dan sekretaris divisinya. “Achi, kamu kan penanggung jawab di kegiatan besok, jadi ini beberapa tugas yang harus kamu pantau selama kegiatan itu berlangsung. “Oke kak.” Kata Achi menerima selebaran yang diberikan Kak Devi selaku ketua divisi. “Selamat bertugas, dek. Semangat,” ucap Kak Devi dan Kak Clarin bersamaan. “Ohiya!? Dev, Dek, nanti sore kan kita lanjut rapat tapi aku lupa ngasih tau kalau kita kan ada pratikum sama Pak William, ingat nggak?!” tanya Clarin membuat Devi langsung membulatkan mata sambil menepuk dahinya sendiri. Sementara Achi hanya diam, dia juga tidak akan bi
Monitor hemodinamik dan saturasi itu menggambarkan gelombang denyut jantung Mia Kolly, tekanan darahnya, oksigen yang diserap, temperatur, dan frekuensi pernapasan rendah. Bahkan selang pembantu dipasangkan.Waktu menunjukkan pukul delapan malam, posisi Reno masih sama, duduk bersandar di balik pintu dengan matanya yang merah, sampai seorang perawat mengetuk dari luar. Reno segera mengelap mukanya, menarik ingusnya kemudian membukakkan pintu.“Maaf Sus, silakan masuk,” katanya lirih.Suster berkulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, wajahnya polos tanpa make up itu bertanya, “Mohon maaf, Mas ini walinya pasien?”“Ya, benar sus.”“Ah,,syukurlah,” ucap perawat itu terdengar lega bagi siapapun yang mendengar setelah itu Reno langsung menyambar dengan pertanyaan, “Ada apa Suster? pacar saya baik-baik saja kan?” tanya Reno tampak khawatir.“Cepatlah Anda ke ruang Dokter Ariy
Rasanya ingin remuk saat itu juga, ia berjalan seolah nyawanya sudah hilang. Reno memgang puncak kepalanya, pusing menghadapi semua yang terjadi hari ini. Reno berhenti di depan pintu bangsal tempat Mia di baringkan, sorot matanya layu, ia tarik napasnya dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Dadanya sesak, seharian ia belum makan tidak peduli perutnya beberapa kali berbunyi, tapi Reno tak merasa lapar karena sudah kenyang mendengar pengakuan Dokter Ariye. Handphonenya berdering membuat Reno cepat melihat siapa yang menelpon. Reno tergelak, ia seharusnya sudah bisa menebak siapa lagi kalau bukan Raka, rekan satu kerjanya yang suka semena-mena tapi perhatian. Lantas Reno menjawab panggilan itu. “Halo,” kata Reno dengan nada sedikit bergetar, ia harap Raka tak akan tahu bahwa dirinya baik-baik saja. “Lo dimana, Ren? Kok rumah lo gelap, gue gak bisa masuk nih, pintu lo kunci juga, bukain dong!” titah Raka belum sadar akan suara Reno. Reno sekali lagi
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Achi mengangkat panggilan video grup dari divisinya, sudah ada ketua kak Devi dan sekerataris Kak Clarin beserta teman-teman anggota. Mereka sengaja melakukan rapat secara online, berhubung ketua dan sekretarisnya ada pratikum di luar kampus dan menginap di salah satu kota sehingga mereka memutuskan rapat jarak jauh. Achi menurut saja meski ia belum terbiasa berdiskusi dengan gawai. Rasanya aneh. Tapi mereka terdengar sangat lancar dan saling mencurahkan ide-ide cemerlang diluar nalar. Beberapa dari pendapat itu ada yang buat Achi tidak setuju tapi Achi ragu mau berkata takut salah takut terdengar bertele-tele. Karena sebenarnya ia belum punya pengalaman. Saat Kak Devi menyebut namanya secara tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang seperti menghadapi kelas dosen killer saja. Achi ditanya mengenai pendapatnya, kemudian Achi memantapkan dirinya kalau tidak bicara hari ini esoknya pasti menyesal. Lantas ia
Achi terbangun pukul lima pagi. Setelah itu langsung membersihkan diri sekaligus merendam pakaian yang kotor di kamar mandi, membuat sarapan, sarapan sambil baca buku. Pukul tujuh tepat ia mandi lalu pergi ke kampus dengan taksi. Dia sampai di kampus dan langsung menuju kelas, beberapa temannya sudah datang dan menyapanya. Aneh pikirnya karena pada biasanya sapaan itu di barengi tatapan sinis, ia mencoba membalas senyuman mereka, tak apa, lebih baik fokus sama diri sendiri. Achi duduk dibangku baris dua dari depan, ia membuka handphonenya untuk melakukan list kegiatan hari ini. “Achi!” seseorang menyapanya dengan lantang membuatnya menoleh dan melihat Seleda berjalan ke bangkunya. Sepertinya dia baru datang. “Chi, gue titip absen ya,” kata Seleda tiba-tiba. Achi diam beberapa detik lantas menjawab. “Tapi lo udah tiga kali titip absen, Da,” Seleda memutar bola matanya karena malas mendengar yang tak sesuai dengan harapannya. “Hah.. gimana ya, gue malas belajar
“Apakah saya kelihatan tua? Sampai kamu memanggil pak?” tanya Reno begitu keluar dan langsung mengambil celemek membuat adonan kue. Sementara Achi sedang mengatur kue di etalase dapur. “Maaf, saya tidak begitu melihat tadi, “ jawabnya dengan pelan “Nggak papa, kita juga belum pernah ketemu jadi wajar kalau tampang saya tidak kamu kenali.” Beberapa saat kemudian lonceng pintu berbunyi sebagai pertanda pelanggan masuk, dengan langkah besar Achi pergi ke depan meja kasir. Seorang wanita karir nan elegan itu tampak bingung di papan menu. “Halo, selamat malam, Mbak. Mau pesan kue?secangkir kopi?” Wanita elegan memakai tas branded itu membalasnya dengan senyuman tipis. “Kue spesial malam ini apa?” tanyanya. Achi terpessona dan menjawab, “malam ini kami ada menu spesial chocolate snoew chese dan.. “ “Saya tidak suka chocolate, hmm bagaimana ini.” “Tidak apa, kami punya menu spesial lainnya, mince pie untuk isian daging, buah
Achi baru pulang pukul sepuluh malam dari toko, ia menghela napas begitu knop pintu dibuka menampakkan kertas di dinding yang beirisi list kegiatan hari ini. Badannya pegal ternyata menjadi karyawan di toko kue bukan saja mencatat pesanan tapi membuat kue dan membuat minuman. Sebenarnya kalau sudah biasa dilakukan pasti tidak terlalu capek tapi tadi ia membuat kesalahan berulang-ulang kali. Sampai Reno sepertinya sedikit kesal padanya. Huft..aku harus minta maaf padanya, tapi istirahat bentar deh sepuluh menit, katanya saat badannya terbaring diatas tempat tidur. Hal yang paling sulit dilakukan itu konsisten, bagaimana caranya agar list kegiatanmu tetap berjalan meski badan dan pikiran sudah capek. Dulu ia anak manja yang mau punya ini itu minta duit mama, mau makan gorengan, bakso, semuanya serba mama. Achi bisa dapat gelar master pemalas tapi ada fase semua itu harus lenyap saat Mba Ana dan Bang Fahri merendahkan dirinya dan mamanya. Dari cara mereka meman
“Selamat pagi semuanya!” kata Tera dengan suara cukup lantang membuat orang – orang di dapur menoleh ke arahnya,“Nenek! Tera lulus olimpiade se-kabupaten.”katanya membuat nenek langsung mengucap puji syukur disusul Achi. Tera sangat bahagia hal itu terpancar jelas dari garis senyumnya dan wajahnya yang belum sempat di cuci. Achi cukup bangga dengan ponakannya itu tapi tidak seperti nenek yang bangganya hingga menuturkan kata-kata manis, dia lebih kepada mengucapkan selamat saja. Setengah hari itu, Tera membanggakan segala perjuangannya itu, diceritakan dari A sampai Z. Lebih ironisnya lagi ketika Tera berjalan ia akan membusungkan dadanya kedepan, bahunya ditarik kebelakang dan dagunya sedikit dinaikkan. Hari ini Tera cukup cekatan melakukan segala aktivitas setulus hati selebar sayap garuda. Ah dia lagi mekar, kata Achi di dalam hati kemudian iya memanggil Tera. “Tera bisa minta tolong ambilkan garam?” Tera menoleh dengan lirikan saja dan langsung m