Share

3. Di tangga Apotik

masa habis sih?! perasaan baru beli. Kata Achi mengumpat pelan disusul desahan frustasi.

Kepalanya sangat sakit walaupun Achi obati dengan mengikat kepala lalu tidur, sakit kepalanya akan timbul lagi esok atau tengah malam dan itu sangat menggangu. Dari pada begitu obat adalah pilihan yang jelas. Lantas dia memutuskan keluar rumah untuk membelinya di apotik. Jarak apotek tidak jauh dari kos jadi ia tidak perlu repot memesan taksi ataupun menunggu ojek datang. 

Ah syukur kata Achi dalam hati saat sampai di apotik dalam suasana sepi. 

“Obat sakit kepalanya."

“Obat sakit kepala apa, mbak?”

“***h**.”

Apoteker itu mengangguk dan berkata, "silakan tunggu sebentar mbak." 

Achi pun duduk di kursi samping etalase obat-obatan. Langit sedang mendung tanpa aba-aba petir besar datang disambut kilat, hujan langsung turun begitu deras. Langit berubah menjadi gelap. Achi menelan air ludahnya karena takut, pikiran negatif mulai melayang-layang di kepalanya. 

bagaimana kalau hujannya tidak reda.?

gimana caranya mau pulang.?

gak bawa jas hujan.? 

gak pernah terobos hujan besar.

takut, kalau tiba-tiba di jalan ada pohon tumbang.

atau ada petir yang menembak.

atau tiba-tiba motor macet ditengah

atau tiba-tiba ban kempes.

aahhhh...aku kan jalan kaki.

Membuat pusing sendiri sampai kebiasaan menggigit bibir bawahnya. Terlihat dari raut wajah khawatirnya yang tak bisa disembunyikan. Mbak Apoteker yang tadi, datang dari dalam membawa obat yang diminta. Apoteker itu menatap Achi kemudian paham situasinya lagi khawatir.

"Permisi, mbak?" 

Achi tersentak dan menoleh. "Ya?" Achi sedikit ling-lung, bersamaan dengan itu cahaya motor masuk dan menembus kaca etalase. 

"Delapan belas ribu, mbak. Ini obatnya mau ditaruh pake plastik?"

tangan Achi sampai gemetar mengambil dompet didalam tas berbicarapun jadi gagap. "Ah...iya. Eh ng..gak usah. Ini bayarnya." Achi menyerahkan uang pas. 

"Terima kasih," ucap Achi ragu setelah obat itu berada di tangannya.

"Mbak...hujannya masih deras," sahut apoteker itu membuat Achi segera berbalik cepat.

"Iya...?"

"Sebaiknya tunggu sampai hujannya reda mbak."

ahh,,mbak apotekernya ternyata baik. 

Diantara percakapan itu Achi tidak sadar ada seorang pemuda mendengarkan dan memperhatikan dengan tegap dan gagahnya berdiri sambil menanggalkan jaketnya yang basah di tangga apotik.

"Begitu ya, terima kasih sarannya mbak. Saya numpang duduk disini aja kalau gitu," kata Achi sangat senang.

"Iya sama-sama," jawabnya dengan senyuman manis.

Kemudian Achi mengambil air botol dari rak apotek dan meminum obat itu. Pemuda yang tadi memerhatikan diam-diam, dengan sengajanya dia berdiri memperbaiki jam tangan. Sedangkan Achi tidak sadar juga kalau sedang diperhatikan.

"Dokter?!" Apoteker itu memanggil ke arah pemuda itu.

Achi juga sedikit menoleh saat itu, tapi tak mau berlama. Diapun mengubah fokusnya ke jadwal setelah ini adalah melamar kerja tapi hujan membuat aktivitas itu tertunda. Beberapa kali suara petir disertai guntur dan setiap itu juga jantung Achi berdebar tak karuan. Dia sendirian diluar teras apotik ini. Suasana kayak begini membuat Achi terlihat lemah dan dia tidak suka itu. Achi mengambil air botol dari rak apotek dan meminum obat itu. Pemuda yang tadi memerhatikan diam-diam, dengan sengajanya dia berdiri memperbaiki jam tangan. Sedangkan Achi tidak sadar juga kalau sedang diperhatikan.

"Dokter?!" Apoteker itu memanggil ke arah pemuda itu.

"A..iya. Maaf saya terlambat. Padahal janjinya jam satu siang." Dokter itu berjalan masuk ke dalam tapi sebelum masuk ke ruang, ia lagi-lagi menoleh ke belakang sekedar memastikan.

Air mata siap jatuh, Achi langsung menatap ke atas langit-langit. Dulu ia mengatakan tak apa jauh dari Ibu dan tinggal di kos sendirian, menjadi mandiri, dan membuktikkan kepada Ibu dan keluarga Mba Ana. Tapi saat menjalaninya ternyata sangat sulit.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status