Share

Un-Desirable Marriage
Un-Desirable Marriage
Author: Chani yoh

01. Kenapa Menikahiku

"Kenapa kau mau menikahiku?" tanya Thalia frustrasi pada makhluk yang bertubuh kekar, penuh otot, serta raut kasar dan tidak peduli yang tercetak jelas di wajahnya.

Selain jauh dari kesan pria pesolek, pria itu juga terkenal dengan berbagai reputasi buruk. Memang bukan reputasi buruk berkaitan dengan wanita, tetapi reputasi buruk yang berkaitan dengan mematahkan tulang sesama manusia.

Dan baru kemarin, ayahnya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit meminta Thalia untuk menikah dengan Jose Antonio.

“Ada satu pria yang mau memperistrimu, Thalia. Dia … Jose Antonio,” kata ayahnya dengan suara yang lemah.

Bukan Thalia saja yang terkejut tetapi juga Camila, kakaknya. Akan tetapi keinginan ayahnya tak terbantahkan. Thalia memang pada akhirnya mengiyakan. Menyanggupinya.

Namun, pertanyaan tadi terus bercokol di kepalanya sehingga dia pun memutuskan untuk mencari Jose Antonio hari ini dan menanyakannya secara langsung.

Tanpa dia duga, pertanyaannya itu membuat Jose bangun dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat Thalia jadi semakin terintimidasi. Pria itu ternyata hanya membuang puntung rokoknya, menginjaknya hingga hancur, baru kemudian menatapnya lekat-lekat.

“Jadi, kau ingin tau yang sebenarnya?” tanyanya dengan memandang ke arah bawah, kepada Thalia, dengan melipat kedua lengannya di depan dada.

"Ya!" jawab Thalia kesal.

“Baiklah. Akan kukatakan yang sebenarnya. Aku datang untuk menjenguk ayahmu. Kemudian, di akhir obrolan ayahmu-lah yang memintaku untuk menikahimu. Katanya dia sudah tua, berharap ada seseorang yang menjagamu. Dan karena aku kasihan padanya, jadi aku mengiyakannya.” Jose mengucapkan semua itu dengan gaya santai dan tidak pedulinya.

Thalia meradang dan menyahutnya kaget. “APA?! Jadi maksudmu kau mau menikahiku karena kasihan?”

Alasan macam apa itu? Di seluruh dunia ini, mungkin hanya Jose Antonio, makhluk tak berbudi yang melamar dengan alasan kasihan. Rasanya, Thalia ingin meninjunya. Tapi nyatanya, seluruh urat tubuhnya kaku. Dia hanya mampu memandangi Jose dengan tatapan membara penuh murka.

“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Sekarang, lebih baik kau klarifikasikan lagi perasaanmu itu pada ayahku. Karena aku akan lebih senang jika tidak perlu menikah. Apalagi denganmu!”

“Sayang sekali. Itu tidak bisa!” sahut Jose tegas.

“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Kau hanya perlu bicara kepada ayahku!” hardik Thalia dongkol.

“Tetap tidak bisa!” Wajah Jose sedari tadi memang teramat serius dan tak ada tanda-tanda dia bercanda sedikit pun.

Thalia pun semakin tersulut emosinya. “Kenapa tidak bisa?”

“Karena aku sudah mengiyakan permintaan ayahmu. Dan pria sejati sepertiku tidak akan plin plan dengan menarik kembali ucapanku atau pun mengubah jawabanku, terlebih lagi pada pria tua yang sedang terbaring sakit.”

Thalia merasakan kembali gejolak amarahnya yang membuatnya ingin meninju pria di depannya ini. Tangannya sampai terkepal erat karena menahan rasa itu. Mengiyakan permintaan Pap, katanya? Pria sejati, katanya?

“Aku tidak perlu rasa kasihan darimu!” seru Thalia marah.

Marah.

Entah kenapa kata itu melekat erat pada diri Thalia beberapa hari belakangan ini, sejak dia memutuskan Kembali ke Bacalar, kota asalnya.

Masih teringat jelas di benak Thalia bagaimana dadanya bergemuruh hingga dia merasa dirinya ingin meledak dan hancur menjadi kepingan-kepingan sehalus debu. Saat itu, dia menawarkan dirinya untuk bernyanyi di gereja menggantikan Juanita yang terkena demam di saat mendapat tugas membawakan pujian di misa kali itu.

Saat Thalia tiba di altar dan bersiap untuk menghanturkan pujiannya, saat itu pulalah dia menangkap sosok dua makhluk peselingkuh yang telah bermain api di belakangnya selama ini.

Fernando dan Gabriella. Jika Fernando adalah kekasihnya selama empat tahun terakhir, Gabriella adalah sahabatnya dari semasa sekolah dahulu.

Sudah menjadi tradisi di gereja kecil mereka, jika ada yang hendak menikah, dua minggu sebelum pernikahan, mereka akan duduk di kursi yang disediakan di depan altar. Jemaat haruslah melihat pasangan yang akan menikah.

Jika ada sanggahan, mereka boleh menyampaikannya saat itu juga dengan alasannya.

Jika tidak ada sanggahan, upacara pernikahan akan dilangsungkan sesuai rencana.

Dan selama menunggu adakah sanggahan dari jemaat yang hadir, berbagai persembahan nyanyian rohani dihanturkan kepada Sang Pencipta. 

Itulah tugas yang diambil Thalia untuk menggantikan Juanita tanpa mengetahui bahwa Fernando dan Gabriella-lah yang sedang duduk di depan altar, mengumumkan pernikahan mereka yang akan diadakan minggu depan.

Hati Thalia hancur berkeping-keping. Seluruh penjuru nadinya melajukan darah yang mendidih hingga ke ubun-ubun.

Namun, dia tetap bernyanyi dengan begitu indah dan syahdu. Segala perasaannya dia curahkan dalam lantunan lagu yang dibawakannya dengan begitu merdu.

Selesai semua itu, Thalia mendapatkan tepuk tangan yang bergelora karena nyaris semua yang hadir di sana mengetahui hubungan asmaranya dengan Fernando. Dan mereka semua bersimpati padanya karena harus mengetahui pernikahan Fernando dengan Gabriella dengan cara seperti itu.

Tak memedulikan semua itu, Thalia berlari turun dari altar dan tak berhenti hingga langkahnya melewati pintu gereja, dan berhenti di teras belakang gereja.

Tubuhnya bersandar lemah di tembok teras yang hanya setinggi setengah tubuh orang dewasa saja. Tangisnya tak terbendung lagi.

‘Ya Tuhan, kenapa harus dia yang bernyanyi tadi. Kenapa harus bertepatan dengan pengumuman pernikahan mereka? Kenapa?’ jerit hati Thalia dengan segala pertahanan dirinya yang telah jebol.

Air matanya mengalir deras dan Thalia sudah tak menyadari lagi jika keberadaannya di teras belakang itu sudah disusupi makhluk lainnya.

Hingga suara serak nan berat itu menyapanya, “Hentikan! Dia tak layak kau tangisi!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status