Share

02. Putra Pewaris

Saat melihat siapa yang berani mengusiknya di saat dia sedang menangis pilu sendirian, Thalia malah tercekat mendapati tatapan tajam nan dingin milik Jose Antonio Berbardo.

“Mau apa kau ke sini?!” hardik Thalia sembari kembali ke arah pandangnya yang semula, menghindari tatapan menelisik lelaki itu.

Jose Antonio adalah kakak tiri dari Fernando. Mereka satu ayah, berbeda ibu. Dan usia mereka berselisih cukup jauh. Fernando berusia 25 tahun, tiga tahun di atas Thalia. Itu berarti Jose sudah berusia ... 30 tahun, kurang lebih.

“Mau apa kau ikut ke sini? Aku ingin sendiri!” hardik Thalia lagi karena Jose tak kunjung menjawab. Dia sedang menangis, sudah tentu dia ingin sendiri. Tetapi, kenapa makhluk itu mengganggunya? Apa makhluk itu tidak melihat bahwa dia sedang menangis?

“Ini tempat umum. Kenapa aku tidak boleh ke sini?”

Suara serak makhluk itu, yang juga rendah, bergumam santai sambil bibirnya mengepit sebatang rokok. Sebelah tangannya meraih Zippo dari saku celana kemudian menyalakan api dan membakar ujung rokok yang juga dikepitnya dengan dua jarinya yang turut terlihat kasar.

Thalia memandangi jari-jari itu, kemudian tatapannya merayap ke atas, beradu dengan sepasang mata tajam Jose yang menatapnya sembari mengembuskan asap rokok. Seketika rasa jijik dan bencinya pada makhluk itu melingkupi dirinya.

 “Pergilah! Aku ingin sendiri!” usir Thalia dengan membuang wajahnya. Dia tak sudi berlama-lama memandangi pria itu.

Ngapain, sih, menatap seperti mau mengolok-oloknya? Apa dia lupa akan perbuatan kurang ajarnya 8 tahun lalu?

Thalia sedang pulang sendirian dari minimarket, malam itu, 8 tahun silam. Entah apa yang dibelinya waktu itu. Jalanan yang dilewatinya sepi dan Jose tiba-tiba muncul di dekatnya. Pria itu menghimpitnya ke sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Thalia masih mengingat dengan jelas aroma alcohol yang menguar dari tubuh Jose waktu itu. Ya, dia mabuk. Dan dalam mabuknya, setelah menghimpit Thalia ke badan mobil, dia menciumi Thalia dengan membabi buta.

Gadis itu meronta hingga akhirnya Jose melepaskannya setelah Thalia mengigit lidah pria itu. Sejak saat itu, nama Jose Antonio Berbardo menempati daftar teratas hal yang paling dia takuti dan dia benci dalam hidupnya.

“Aku juga sedang ingin menyendiri di sini,” jawab Jose lagi, membuat Thalia semakin meradang.

“Kalau kau ingin menyendiri, jangan di sini! Jelas-jelas sudah ada aku di sini!” Thalia menjadi sinis dan benar-benar tak ambil pusing lagi soal sopan santun dan basa basi.

Buat apa? Jose bukan pria yang tepat untuk diajak bersopan santun. Dia terlalu kasar dan urakan!

Pria itu sering bersikap seenaknya, mengumpat, mengatai orang, bicara seenak jidat, dan bertingkah seperti pemuda pembuat onar. Tak terhitung jumlah korban yang pernah merasakan bogem mentahnya. Sedikit saja menyinggung perasaannya, kepalan tinjunya melayang dan mendarat di wajah lawan bicaranya.

Bahkan rumor mengatakan bahwa dia sempat merasakan kehidupan di balik jeruji besi selama tiga tahun lamanya!

Satu-satunya yang menjadi pertanda bahwa dia keturunan keluarga terpandang hanyalah pakaiannya yang berkelas dan mobil sportnya. Tapi itu juga seringkali absen dari hari-harinya. Dia lebih sering tampil seperti gembel yang mengais rezeki dari memukuli orang lain.

Kecuali hari ini. Ya, Thalia baru menyadarinya. Suatu mukjizat bahwa dia bisa bertemu Jose Antonio di gereja, dengan pakaian rapi dan berkelas. Sangat aneh melihatnya mengenakan kemeja licin berlengan panjang, celana panjang kain, dan sepatu pantofel mengkilat. Aneh, tapi pantas. Pantas, tapi aneh.

“Aku tidak masalah. Menyendiri versiku tidak harus sendirian. Berdua juga tidak masalah. Yang penting sepi.” Suara Jose terdengar lagi membuat Thalia kembali meradang.

“Tapi aku ingin menyendiri yang benar-benar sendiri! Jadi, jangan ganggu aku!” desis Thalia dengan mengangkat tinggi dagunya.

Sedetik kemudian, gadis itu teringat akan keadaannya yang sedang menangisi pengkhianatan yang dilakukan Fernando dan Gabriella. Thalia kembali marah pada Jose.

“Atau … semua penyandang nama Berbardo memang suka seenaknya gitu, ya?”

Jose terkekeh kecil dari wajah suramnya itu sebelum menjawab, “Aku ke sini karena mau merokok. Mulutku pahit hanya menelan liurku sendiri berjam-jam di dalam sana. Jadi, aku ke sini untuk merokok, Nona. Tak menyangka ada yang mengira ini tempat menangisi kekasih dan sahabat yang berkhianat.”

Kata-kata tajam Jose seakan mengolok-oloknya penuh malu. Darah hampir tersembur dari kepalanya karena ucapan Jose yang tak disaring itu. Tetapi, yang bisa dia lakukan hanyalah membalas tatapan sengit Jose dengan tak kalah sengit.

Setelahnya, dengan kasar Thalia mengelap kedua matanya yang basah dengan punggung tangannya. Dan setelah memberikan delikan tajam penuh amarah untuk terakhir kalinya pada Jose, Thalia berbalik pergi dari sana.

“Kau tidak mau pergi, aku yang pergi!”

                                        ***

Di Minggu pagi itu, rumah kosong melompong saat Thalia pulang. Kakak perempuannya, Camilla, stand by menjaga ayah mereka di rumah sakit. Sedangkan ketiga anaknya yang masih balita, sudah dari kemarin dititipkan Camilla di rumah orang tua suaminya.

Ibunya sudah bertahun-tahun lalu meninggal sehingga hanya ayah mereka-lah yang mereka punyai. Tetapi, ayahnya pun memiliki penyakit jantung dan belakangan ini sering kambuh. Dokter pun menyarankan agar ayahnya segera dioperasi pemasangan ring di jantungnya. Karena itulah, Thalia cepat-cepat kembali dari Ibukota meskipun pengerjaan skripsinya masih belum selesai. 

Kembali berada di rumah lagi membuatnya merasa bisa melupakan sedikit tentang perselingkuhan Fernando dan Gabriella di belakangnya, yang ternyata sudah berjalan selama satu tahun tanpa dia curigai sedikitpun. Tapi, siapa yang menyangka ternyata mereka pun sedang pulang ke kota kecil mereka ini dan akan melangsungkan pernikahan minggu depan.

“Ya, halo?” jawab Thalia saat ponselnya berbunyi.

“Kamu jadi ke sini?” tanya Camilla, kakak perempuannya, di ujung sana.

“Iya, Kak. Sebentar lagi selesai. Aku bawakan makan siang,” jawab Thalia sambil memandang berderet potongan wortel, kentang, kacang-kacangan, jagung, serta daging ayam yang sudah dipotong cincang.

Thalia sedang memasak Vegetable and chicken Pasta Baked –satu-satunya masakan yang mampu dibuat Thalia- untuk makan siang mereka nanti.

“Baguslah kalau begitu. Dante akan menjemputmu, oke?” kata Camilla lagi.

“Oke,” jawab Thalia lagi mengakhiri percakapan mereka di telepon.

Thalia kembali memasukkan daging ayam cincang beserta sayur-sayuran dan pasta ke dalam wadah khusus, kemudian menatanya agar tampak menarik di mata. Tak terasa pikirannya kembali berkelana ke masa lalu.

“Kau yakin dia benaran cinta padamu?” tanya Gabriella saat tahu Fernando dan dirinya tak pernah tidur bersama.

“Ya, katanya sih begitu. Dan dari tingkah lakunya juga dia baik padaku. Kenapa kau mempertanyakannya?”

“Ya, gak papa, sih. Karena menurutku, kalau cinta biasanya hasratnya menggebu-gebu.”

Saat itu, Thalia tidak memikirkan lebih jauh percakapan mereka itu. Namun sekarang, semuanya terasa berkesinambungan. Ada maksud tersembunyi dari apa yang ditanyakan Gabriella padanya. Sepertinya, sahabatnya itu hendak membandingkan perlakuan Fernando pada Thalia, dan pada dirinya sendiri.

Setelah enam porsi disiapkan, Thalia mulai memasukkannya ke dalam microwave, kemudian menunggui satu demi satu hingga matang.

Perselingkuhan Fernando dan Gabriella diketahui Thalia baru beberapa minggu lalu. Saat itu, Thalia hendak mengunjungi apartemen Fernando. Di saat yang sama, sepasang peselingkuh itu baru saja keluar dari unit Fernando dengan saling merangkul mesra. Saat itu juga, Thalia langsung menutup hatinya rapat-rapat akan kedua manusia itu. Akan tetapi, kejadian di gereja tadi benar-benar membuat hatinya remuk dan kembali berserakan tak karuan. 

Kenapa dia harus mengetahui kabar pernikahan mereka dengan cara seperti itu? Rasanya begitu sayang jika suaranya dipakai bernyanyi mengiringi kabar bahagia dari mereka berdua. Ya Tuhan, sungguh rasanya dia tak rela. Diselingkuhi saja rasanya sudah sangat sakit. Kenapa dia masih harus menjadi seseorang yang menyumbangkan suaranya untuk  mengiringi kabar bahagia mereka? Sungguh dia tidak rela!

Trin … Trin …

Bunyi klakson mobil terdengar memanggilnya dari halaman rumah. Sedetik kemudian suara Dario terdengar, “Thalia! Kau sudah siap?”

Thalia menghapus air mata sakit hatinya yang menetes di pipi sembari juga dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengenyahkan pikiran tentang laki-laki itu. Dia harus melupakan Fernando dan perselingkuhannya. Di sini, dia harus merawat ayahnya yang sakit, bukan meratapi nasibnya yang menyedihkan.

Dengan meraup udara banyak-banyak. Setelah seluruh pasta matang, dia menyimpannya dalam wadah besar kemudian membawanya dengan tas kain.

“Maaf, aku baru selesai,” kata Thalia begitu bertemu kakak iparnya.

“Naiklah. Camilla sudah menunggumu,” Dario, suami kakaknya, berkata sambil melongok dari jendela mobil.

Thalia mengiyakan dan pria berkacamata yang sangat sabar itu membukakan pintu mobilnya. Sesaat kemudian, dalam deru pick up yang terdengar berat dan tua, mereka segera melaju menuju rumah sakit. 

Begitu mereka telah tiba di koridor rumah sakit dan hendak menuju ruang rawat ayahnya, segala hal tentang Fernando dan Gabriella yang akan menikah minggu depan, sudah dia singkirkan. Ayahnya tidak boleh melihat kesedihan yang dia rasakan. 

Setidaknya, dia sendiri pun tak mau berlarut-larut mengingat tentang dua makhluk pengkhianat itu. Biarlah mereka menuai hasil perbuatannya sendiri. Dia percaya, pria yang berselingkuh tidak perlu dipertahankan. Sahabat yang berkhianat pun tak patut ditangis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status