Share

10. Nanti Kujemput!

Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu.

“Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana.

Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter.

 “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barulah beliau bisa tersadar lebih lama.”

Hembusan napas lega mengiringi langkah kaki dokter yang menjauh dari mereka. Thalia sudah berlinangan air mata bahagia karena operasi ayahnya berjalan lancar. Ucapan syukur memenuhi hatinya. Mereka berpelukan bertiga dan tak lama kemudian, ranjang beroda sang ayah didorong menuju ruang recovery.

“Kamu pulanglah dulu, Thalia. Biar kakak yang menjaga Pap,” ujar Camila setelah menutup ponsel dan mengabarkan kondisi ayahnya pada Dario, suaminya.

Ramona juga mengangguk. Tetapi, Thalia tidak setuju. “Gak, ah. Kakak aja yang pulang, kasian anak-anak. Aku aja yang jaga Pap.”

“Kakak sih pasti pulang. Malam nanti biar Dario yang jaga. Kalau kamu, kamu kan pengantin baru, gak enak sama keluarganya Jose.”

“Ah, gak apa-apa. Aku pulang juga ngapain. Gak ada anak yang nunggu.”

“Suamimu kan nunggu!” tegas Camilla mendesis, yang lagi-lagi diiringi dengan anggukan dari Ramona.

“Ck! Macam aku nikah sama dia dengan cinta beneran aja. Aku aja lah yang nungguin. Lagian Dario kan capek seharian kerja, masa masih harus bergadang lagi jagain Pap. Bisa-bisa dia yang ketiduran. Kalau aku kan masih free. Ada ato gak aku di rumah juga sama aja bagi si monster itu. Jadi aku aja yang nungguin Pap.” Thalia masih berkilah panjang lebar. Tanpa dia sadari, Jose sudah berdiri di belakangnya.

Ramona yang menyadari kehadiran Jose pertama kali. Dia bergidik ngeri karena terlihat jelas bahwa Jose mendengar sematan kata ‘monster’ yang Thalia tujukan pada suaminya itu. Sahabatnya itu berusaha memberikan kode pada Thalia lewat tatapan mata. Sayangnya, Thalia tidak mengerti. Hingga suara dehaman Jose mengagetkannya.

“Ehm! Operasinya sudah selesai?” tanyanya dengan nada datar, meskipun tatapan yang terarah pada Thalia teramat tajam.

“Operasinya sudah selesai dan berhasil dengan baik.” Camila yang menjawabnya, mewakili Thalia.

Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Jose mendengar ucapan Thalia tadi? Dia merasa sangat tidak enak pada Jose akibat perkataan adiknya tadi. Biar bagaimanapun, menurutnya, Thalia haruslah memerankan perannya sebagai istri dengan baik dan benar. Semua itu demi kebaikan Thalia sendiri, jangan sampai menuai ketidakbahagiaan dalam rumah tangganya, apalagi kondisi adiknya itu tinggal satu atap dengan mantan kekasih.

“Kenapa tidak mengabariku?” tanya Jose lagi. Auranya yang terlalu mendominasi membuat ketiga perempuan di sana menjadi salah tingkah.

“Eh? Kami lup-“ Camilla baru akan menjawab, tetapi dipotong Thalia dengan ketus.

“Ya, baru juga selesai operasinya. Belum sempat mau ngabarin, kau sudah datang.”

“Thalia!” bisik Camila dengan memelototi adiknya itu. Tetapi, Thalia tetap cuek saja. Malahan, dia menimpali lagi dengan pemberitahuan pada Jose. “Nanti malam aku gak pulang, ya. Aku mau menjaga Pap.”

“Sudah kakak bilang, biar Dario saja yang jaga Pap,” sambar Camila cepat. Dia sungguh takut melihat wajah suram Jose. Tanpa wajah suram itu saja aura intimidasi Jose sudah membuatnya mengkerut. Apalagi sekarang. Dia takut pria itu akan marah dan melampiaskannya pada Thalia saat mereka hanya berdua saja. Itu akan menjadi mimpi buruk bagi setiap istri.

Karenanya, dia berkata lagi, “Kalian berdua pulanglah. Besok saja baru datang lagi. Oke?”

“Gak, Kak. Aku saja yang jagain Pap.” Thalia masih keras kepala meskipun tatapan tajam Jose tak beranjak sedikit pun dari wajahnya. Pria yang disebutnya suami di atas kertas itu juga tak sedikitpun menggubris ucapan Camila, membuat wanita itu merasa tak didengar ucapannya.

Pada akhirnya, dari sudut matanya Thalia melihat Jose menarik napas dalam-dalam, dan berkata, “Baiklah. Silakan kalau kau mau menunggui ayahmu. Aku pun ada urusan malam ini.”

Thalia tersenyum tipis, penuh kemenangan. Sementara Camila malah semakin kalut. Di benaknya, urusan malam yang disebut Jose tadi diartikannya sebagai urusan pelampiasan hasrat dengan wanita lain di club. Dia tidak akan heran jika pria seperti Jose Antonio saat single sering menghabiskan malamnya di club atau di ranjang dengan wanita bayaran.

Tapi, Jose Antonio yang sekarang sudah menikah dengan adiknya. Sudah tentu dia tidak ingin pria itu sampai tidur dengan wanita lain lagi. Apalagi jika pencetusnya karena adiknya, Thalia, yang tidak mengerti bagaimana menjadi istri yang baik bagi pria itu.

Karenanya, Camilla cepat-cepat menjawab lagi, “Begini saja. Kalau kamu mau jagain Pap, kalian jagalah dulu sore ini. Aku dan Dario akan pulang sebentar. Malam nanti jam 10 biar aku yang jaga sampai besok pagi.”

Thalia mengernyit, “Kenapa begitu? Ribet sekali!”

“Sudah pokoknya begitu saja, jangan membantah!” tegas Camila dan dia berjalan menuju kursi, mengambil tasnya dan menelepon Dario untuk segera menjemputnya.

Ramona pun serta merta langsung permisi pulang. Dia tidak sebodoh itu mau menjadi nyamuk di antara Thalia dan Jose. Apalagi dalam situasi menegangkan seperti saat ini.

Ketika menyadari keberduaan mereka, Thalia menghirup napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Gadis itu kemudian berbalik dan masuk menuju ruang recovery.

Kesunyian segera menyergap mereka. Hanya bunyi mesin pengukur jantung yang terdengar dengan teratur. Selebihnya, tidak ada.

Thalia baru akan beranjak duduk di samping ranjang ayahnya saat tangan Jose tiba-tiba menyentuh pundaknya. Thalia terlonjak kaget.

“Kenapa kau masih di sini?” serunya dengan berbisik. Dia menarik sebelah tangan Jose agar pria itu keluar dari ruangan.

“Aku ikut menunggu!” jawab Jose jengkel.

“Hanya satu orang yang diizinkan menunggu di dalam!” jawab Thalia dengan tatapan tajam.

Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat hingga akhirnya Jose mengeraskan rahangnnya dan berkata, “Baiklah, aku akan menjemputmu nanti pukul 9 malam.”

“Sebelas!”

Jose menatap Thalia semakin tajam karena istrinya itu ternyata berani menawar ucapannya. Thalia pun balas menatapnya tajam. Kekeraskepalaan tersirat jelas di sana. Hingga Jose berkata lagi, “Oke! Jam 11 malam!”

Thalia menyunggingkan senyum tipis yang sinis, meski hatinya kegirangan dan merasa menang. Setelah itu, dia berbalik dan meninggalkan Jose di depan ruangan Recovery.

Dengan langkah kakinya yang lebar, Jose akhirnya juga beranjak dari sana.

Setelah beberapa langkah, pria itu mengeluarkan ponselnya dan menelepon nomor yang sempat dimintanya saat tadi siang akan meninggalkan rumah sakit.

“Ya?” jawab suara wanita di ujung sana.

“Malam nanti, kalian datang lagi ke rumah sakit jam 9. Aku sudah sepakat dengan adikmu menjemputnya jam 9.”

                   ***

Jose mengendarai pick up bututnya melewati jalan bebatuan yang tanahnya lengket hingga tiba di sebuah bangunan usang. Meski tidak ada palang nama ataupun atribut lampu warna warni yang menghias di bagian depan bangunan bertingkat dua itu, tapi bangunan usang itu adalah sebuah club.

Hampir setiap malam, Jose Antonio mendatangi club ini. Biasanya dia akan pulang saat telah lewat tengah malam. Namun, khusus malam ini, dia hanya akan singgah di club ini hingga jam 8.30. Niatnya hanya untuk membunuh waktu selagi menunggui Thalia di rumah sakit.

Dua pria berkulit gelap, berbadan tak kalah besar dari Jose, dengan otot-otot yang juga menggelembung, berjaga di kedua sisi pintu masuk. Saat Jose melangkah, mereka menyapanya.

“Hei, Dude! Selamat atas pernikahanmu!” seru salah satu dari kedua pria itu.

Jose mendelik padanya. “Tidak usah gembar-gembor, Anak haram!”

Pria yang dipanggil dengan sebutan ‘anak haram’ malah tertawa lebar. Panggilan itu sudah menjadi panggilan keakraban di antara mereka. Karena itulah, pria itu malah mengerling pada teman jaganya. Mereka tertawa lagi.

“Jadi, bagaimana malam pertamamu? Istrimu yang berdarah atau kau juga ikut berdarah karena keperjakaanmu terobek?”

Tawa terbahak kembali menggelegar. Kedua pria berotot gelembung itu bahkan sampai memegangi perut mereka.

Wajah suram Jose akhirnya tersenyum juga mendengar olok-olok kedua temannya itu. Kekesalannya menghadapi kekeraskepalaan Thalia luruh sebagian. Dia hanya menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajah mereka. Dan sebelum berlalu, dia mendesis, “Lawan aku di ring kalau berani!”

“Woooooh! Kalau itu lebih baik aku lem mulutku ini, Bro!”

“Ya! Bagus kalau kau sadar! Lakukanlah, sebelum aku mematahkan tulangmu!” teriak Jose sembari berlalu masuk semakin dalam dan kedua penjaga tadi kembali tertawa terbahak-bahak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status