Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu.
“Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana.
Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter.
“Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barulah beliau bisa tersadar lebih lama.”
Hembusan napas lega mengiringi langkah kaki dokter yang menjauh dari mereka. Thalia sudah berlinangan air mata bahagia karena operasi ayahnya berjalan lancar. Ucapan syukur memenuhi hatinya. Mereka berpelukan bertiga dan tak lama kemudian, ranjang beroda sang ayah didorong menuju ruang recovery.
“Kamu pulanglah dulu, Thalia. Biar kakak yang menjaga Pap,” ujar Camila setelah menutup ponsel dan mengabarkan kondisi ayahnya pada Dario, suaminya.
Ramona juga mengangguk. Tetapi, Thalia tidak setuju. “Gak, ah. Kakak aja yang pulang, kasian anak-anak. Aku aja yang jaga Pap.”
“Kakak sih pasti pulang. Malam nanti biar Dario yang jaga. Kalau kamu, kamu kan pengantin baru, gak enak sama keluarganya Jose.”
“Ah, gak apa-apa. Aku pulang juga ngapain. Gak ada anak yang nunggu.”
“Suamimu kan nunggu!” tegas Camilla mendesis, yang lagi-lagi diiringi dengan anggukan dari Ramona.
“Ck! Macam aku nikah sama dia dengan cinta beneran aja. Aku aja lah yang nungguin. Lagian Dario kan capek seharian kerja, masa masih harus bergadang lagi jagain Pap. Bisa-bisa dia yang ketiduran. Kalau aku kan masih free. Ada ato gak aku di rumah juga sama aja bagi si monster itu. Jadi aku aja yang nungguin Pap.” Thalia masih berkilah panjang lebar. Tanpa dia sadari, Jose sudah berdiri di belakangnya.
Ramona yang menyadari kehadiran Jose pertama kali. Dia bergidik ngeri karena terlihat jelas bahwa Jose mendengar sematan kata ‘monster’ yang Thalia tujukan pada suaminya itu. Sahabatnya itu berusaha memberikan kode pada Thalia lewat tatapan mata. Sayangnya, Thalia tidak mengerti. Hingga suara dehaman Jose mengagetkannya.
“Ehm! Operasinya sudah selesai?” tanyanya dengan nada datar, meskipun tatapan yang terarah pada Thalia teramat tajam.
“Operasinya sudah selesai dan berhasil dengan baik.” Camila yang menjawabnya, mewakili Thalia.
Wanita itu bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Jose mendengar ucapan Thalia tadi? Dia merasa sangat tidak enak pada Jose akibat perkataan adiknya tadi. Biar bagaimanapun, menurutnya, Thalia haruslah memerankan perannya sebagai istri dengan baik dan benar. Semua itu demi kebaikan Thalia sendiri, jangan sampai menuai ketidakbahagiaan dalam rumah tangganya, apalagi kondisi adiknya itu tinggal satu atap dengan mantan kekasih.
“Kenapa tidak mengabariku?” tanya Jose lagi. Auranya yang terlalu mendominasi membuat ketiga perempuan di sana menjadi salah tingkah.
“Eh? Kami lup-“ Camilla baru akan menjawab, tetapi dipotong Thalia dengan ketus.
“Ya, baru juga selesai operasinya. Belum sempat mau ngabarin, kau sudah datang.”
“Thalia!” bisik Camila dengan memelototi adiknya itu. Tetapi, Thalia tetap cuek saja. Malahan, dia menimpali lagi dengan pemberitahuan pada Jose. “Nanti malam aku gak pulang, ya. Aku mau menjaga Pap.”
“Sudah kakak bilang, biar Dario saja yang jaga Pap,” sambar Camila cepat. Dia sungguh takut melihat wajah suram Jose. Tanpa wajah suram itu saja aura intimidasi Jose sudah membuatnya mengkerut. Apalagi sekarang. Dia takut pria itu akan marah dan melampiaskannya pada Thalia saat mereka hanya berdua saja. Itu akan menjadi mimpi buruk bagi setiap istri.
Karenanya, dia berkata lagi, “Kalian berdua pulanglah. Besok saja baru datang lagi. Oke?”
“Gak, Kak. Aku saja yang jagain Pap.” Thalia masih keras kepala meskipun tatapan tajam Jose tak beranjak sedikit pun dari wajahnya. Pria yang disebutnya suami di atas kertas itu juga tak sedikitpun menggubris ucapan Camila, membuat wanita itu merasa tak didengar ucapannya.
Pada akhirnya, dari sudut matanya Thalia melihat Jose menarik napas dalam-dalam, dan berkata, “Baiklah. Silakan kalau kau mau menunggui ayahmu. Aku pun ada urusan malam ini.”
Thalia tersenyum tipis, penuh kemenangan. Sementara Camila malah semakin kalut. Di benaknya, urusan malam yang disebut Jose tadi diartikannya sebagai urusan pelampiasan hasrat dengan wanita lain di club. Dia tidak akan heran jika pria seperti Jose Antonio saat single sering menghabiskan malamnya di club atau di ranjang dengan wanita bayaran.
Tapi, Jose Antonio yang sekarang sudah menikah dengan adiknya. Sudah tentu dia tidak ingin pria itu sampai tidur dengan wanita lain lagi. Apalagi jika pencetusnya karena adiknya, Thalia, yang tidak mengerti bagaimana menjadi istri yang baik bagi pria itu.
Karenanya, Camilla cepat-cepat menjawab lagi, “Begini saja. Kalau kamu mau jagain Pap, kalian jagalah dulu sore ini. Aku dan Dario akan pulang sebentar. Malam nanti jam 10 biar aku yang jaga sampai besok pagi.”
Thalia mengernyit, “Kenapa begitu? Ribet sekali!”
“Sudah pokoknya begitu saja, jangan membantah!” tegas Camila dan dia berjalan menuju kursi, mengambil tasnya dan menelepon Dario untuk segera menjemputnya.
Ramona pun serta merta langsung permisi pulang. Dia tidak sebodoh itu mau menjadi nyamuk di antara Thalia dan Jose. Apalagi dalam situasi menegangkan seperti saat ini.
Ketika menyadari keberduaan mereka, Thalia menghirup napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Gadis itu kemudian berbalik dan masuk menuju ruang recovery.
Kesunyian segera menyergap mereka. Hanya bunyi mesin pengukur jantung yang terdengar dengan teratur. Selebihnya, tidak ada.
Thalia baru akan beranjak duduk di samping ranjang ayahnya saat tangan Jose tiba-tiba menyentuh pundaknya. Thalia terlonjak kaget.
“Kenapa kau masih di sini?” serunya dengan berbisik. Dia menarik sebelah tangan Jose agar pria itu keluar dari ruangan.
“Aku ikut menunggu!” jawab Jose jengkel.
“Hanya satu orang yang diizinkan menunggu di dalam!” jawab Thalia dengan tatapan tajam.
Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat hingga akhirnya Jose mengeraskan rahangnnya dan berkata, “Baiklah, aku akan menjemputmu nanti pukul 9 malam.”
“Sebelas!”
Jose menatap Thalia semakin tajam karena istrinya itu ternyata berani menawar ucapannya. Thalia pun balas menatapnya tajam. Kekeraskepalaan tersirat jelas di sana. Hingga Jose berkata lagi, “Oke! Jam 11 malam!”
Thalia menyunggingkan senyum tipis yang sinis, meski hatinya kegirangan dan merasa menang. Setelah itu, dia berbalik dan meninggalkan Jose di depan ruangan Recovery.
Dengan langkah kakinya yang lebar, Jose akhirnya juga beranjak dari sana.
Setelah beberapa langkah, pria itu mengeluarkan ponselnya dan menelepon nomor yang sempat dimintanya saat tadi siang akan meninggalkan rumah sakit.
“Ya?” jawab suara wanita di ujung sana.
“Malam nanti, kalian datang lagi ke rumah sakit jam 9. Aku sudah sepakat dengan adikmu menjemputnya jam 9.”
***
Jose mengendarai pick up bututnya melewati jalan bebatuan yang tanahnya lengket hingga tiba di sebuah bangunan usang. Meski tidak ada palang nama ataupun atribut lampu warna warni yang menghias di bagian depan bangunan bertingkat dua itu, tapi bangunan usang itu adalah sebuah club.
Hampir setiap malam, Jose Antonio mendatangi club ini. Biasanya dia akan pulang saat telah lewat tengah malam. Namun, khusus malam ini, dia hanya akan singgah di club ini hingga jam 8.30. Niatnya hanya untuk membunuh waktu selagi menunggui Thalia di rumah sakit.
Dua pria berkulit gelap, berbadan tak kalah besar dari Jose, dengan otot-otot yang juga menggelembung, berjaga di kedua sisi pintu masuk. Saat Jose melangkah, mereka menyapanya.
“Hei, Dude! Selamat atas pernikahanmu!” seru salah satu dari kedua pria itu.
Jose mendelik padanya. “Tidak usah gembar-gembor, Anak haram!”
Pria yang dipanggil dengan sebutan ‘anak haram’ malah tertawa lebar. Panggilan itu sudah menjadi panggilan keakraban di antara mereka. Karena itulah, pria itu malah mengerling pada teman jaganya. Mereka tertawa lagi.
“Jadi, bagaimana malam pertamamu? Istrimu yang berdarah atau kau juga ikut berdarah karena keperjakaanmu terobek?”
Tawa terbahak kembali menggelegar. Kedua pria berotot gelembung itu bahkan sampai memegangi perut mereka.
Wajah suram Jose akhirnya tersenyum juga mendengar olok-olok kedua temannya itu. Kekesalannya menghadapi kekeraskepalaan Thalia luruh sebagian. Dia hanya menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajah mereka. Dan sebelum berlalu, dia mendesis, “Lawan aku di ring kalau berani!”
“Woooooh! Kalau itu lebih baik aku lem mulutku ini, Bro!”
“Ya! Bagus kalau kau sadar! Lakukanlah, sebelum aku mematahkan tulangmu!” teriak Jose sembari berlalu masuk semakin dalam dan kedua penjaga tadi kembali tertawa terbahak-bahak.
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa
“Hati-hati, Pap. Pap belum boleh terlalu lelah. Jadi, Pap istirahat saja di kamar ya, Pap?” tanya Thalia yang juga diiyakan oleh Camilla. Sore itu mereka telah kembali ke rumah. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang. “Aku bosan di kamar saja. Lebih baik aku beristirahat di ruang duduk. Aku bisa sambil menonton televisi dan bisa melihat cucu-cucuku bermain. Begitu lebih baik. Melihat kelakuan mereka dan mendengar suara mereka membuatku merasa tetap berada di dunia ini. Jika kau mengurungku di kamar, aku akan merasa berada di penjara!” jawab ayahnya dengan suara ketus. Camilla dan Thalia jadi berpandangan, kemudian mereka mengangguk. Biar bagaimana pun ayah mereka sedang sakit. Sudah sepantasnya segala keinginannya didengarkan dan dikabulkan. “Baiklah, Pap. Akan kuatur supaya sofa di sana bisa nyaman untuk pap tiduri,” ujar Camila lagi sambil merangkul ayahnya dan menuntunnya ke ruang duduk. Dengan segera, Thalia mengatur sofa di sana agar terasa n
Setelah kepergian Ramona dan Camila, Jose menatap Thalia dari tempatnya duduk. Wanita itu terlihat seperti menghindarinya. Dia menjaga pandangannya agar tetap terarah pada anak-anak yang bermain dedaunan kering di pekarangan. Jose pun menghela napasnya dalam diam. Sebelum menyusul Thalia ke rumah ayahnya ini, Jose sempat singgah ke rumahnya sebentar. Saat itulah Mrs. Silvana memberitahunya tentang apa yang dikatakan Mrs. Milly pada Thalia saat sarapan bersama tadi pagi. Sontak saja Jose meradang. Berani-beraninya mereka bertingkah seperti itu pada Thalia saat tidak ada dirinya dan ayahnya di rumah. Dan itu juga rupanya kenapa istrinya itu bersikap sinis padanya saat dia menawari tumpangan tadi pagi. Semua itu membuatnya tidak tenang hingga dia menyusul Thalia ke rumah Tuan Carlo. “Ayahmu membaik, kan?” tanya Jose pelan, berusaha membuat Thalia bersedia bicara padanya. Thalia yang bisa menangkap adanya perhatian yang tulu
“Kau harus lihat ekspresi Fernando saat kukatakan bahwa kita akan honeymoon hari Jumat ini!” Jose menutup pintu kamar mereka sesaat setelah Thalia melangkah masuk.Pria itu terkekeh geli mengingat kembali wajah adik tirinya itu yang pupil matanya membesar dan tak ada bagian tubuhnya yang lain yang bisa bergerak saat mendengar mereka akan pergi honeymoon.“Trims,” sahut Thalia lirih sambil membalikkan tubuhnya menghadap Jose.Mereka berdua berdiri saling berhadapan dengan tinggi tubuh yang cukup mencolok perbedaannya. Thalia hanya sebatas leher suaminya saja.“Trims untuk?” tanya Jose lagi. Tubuhnya dia bungkukkan agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah sang istri.“Untuk tadi. Membantuku dan membelaku di depan mereka,” kata Thalia lagi. Dia juga menghadiahkan Jose senyum kecil yang lembut dan tulus. Senyum yang sangat dikenal Jose setiap kali dia mengamati gadis itu diam-diam selama ini.Jose p