“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”
Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.
Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.
Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.
Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu berlayar ke dunia mimpi.
“Tidurlah!” gumam Jose dari balik punggung Thalia. “Ini sudah malam. Jangan banyak bergerak lagi.”
Thalia mendengus seraya memutar bola matanya. Enak betul dia berkata hal seperti itu, bukannya mengucapkan selamat tidur padanya. Thalia pun memutar otak memikirkan kata-kata pedas untuk membalas ucapan Jose itu. Namun, saat dia menemukan apa yang akan dia ucapkan, dengkuran halus yang teratur sudah terdengar dari balik punggungnya. Sungguh menyebalkan!
***
~ You must not know ‘bout me, you must not know ‘bout me ~
~ I could have another you in a minute, matter fact he’ll be here in a minute, baby~
Refrain lagu IRREPLACEABLE yang cukup mengentak berpadu dengan suara bening nan tegas Beyonce mengalun dari speaker ponselnya, membangunkan Thalia yang masih sangat nyenyak tidurnya. Gelagapan gadis itu menggapai-gapai ponselnya untuk mematikan lagu Irreplacable itu. Namun, saat dia telah melihat layar HP-nya, barulah Thalia sadar, lagu itu pertanda panggilan masuk.
It’s Ramona. Thalia menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan dan Ramona langsung menyecarnya, “Kau dimana? Operasi ayahmu satu jam lagi, kenapa kau belum nongol?”
Thalia terkaget hingga dia melompat dari ranjang. “Iya! Iya! Tunggu aku!”
Gadis itu melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berpakaian. Hanya saja yang mengherankannya, selama dia mondar mandir untuk bersiap, tidak kelihatan batang hidung suami di atas kertasnya itu.
Tak ayal, Thalia jadi bertanya-tanya lagi, di mana Jose? Pria itu sudah tak terlihat di sampingnya saat dia bangun dari tidur, dan bahkan di seluruh kamar ini. Apa dia sudah pergi? Ke mana?
Ah, kenapa juga harus ingin tahu tentang pria itu. Justru dia harus bersyukur jika Jose tak ada di sekitarnya. Itu terasa lebih melegakan.
Tak ingin memusingkan itu lagi, Thalia segera keluar dari kamar dan turun ke bawah. Dan lagi-lagi dia beruntung karena rumah dalam keadaan sepi saat dia keluar. Akan sulit baginya untuk bergegas jika dia berpapasan dengan Mrs. Milly, ibunya Fernando, atau Maritza, adiknya Fernando, atau malah dua makhluk yang menyelingkuhinya itu.
Saat tiba di teras rumah, Thalia sudah dalam keadaan setengah berlari. Tetapi, saat dilihatnya jarak antara rumah itu dengan pintu gerbang halaman mereka yang masih jauh, Thalia berdecak kesal dalam hati.
Di bawah terik matahari, Thalia berjalan cepat demi segera mencapai gerbang. Namun tiba-tiba, deru berat mesin mobil terdengar dari belakangnya dan merayap di sampingnya. Itu adalah pick up butut suami di atas kertasnya. Kepala pria itu menyembul dari balik kaca jendela mobil yang sedari tadi dibiarkan terbuka.
“Naiklah!” katanya tanpa basa-basi, dan tanpa kelembutan.
“Aku bisa pergi sendiri!” Thalia menjawab angkuh. Rasanya harga dirinya akan tergores jika dia menerima bantuan pria itu.
“Bukankah operasi ayahmu di pukul 10.00? Ini sudah 9.22. Jika kau berkeras pergi sendiri kau akan terlambat!” seru Jose lagi.
Mendengar apa yang dikatakan Jose benar adanya, Thalia langsung berbelok menuju pintu pick up itu. Wajahnya memberengut kesal. Sekalipun dalam keadaan kepepet, bantuan Jose Antonio adalah hal terakhir yang ingin didapatnya. Nyatanya, di hari pertamanya sebagai istri resmi Jose Antonio, bantuan pria itu malahan hal pertama yang dia terima.
Lidahnya terasa kaku untuk sekadar mengucapkan terima kasih. Karenanya, sepanjang jalan menuju rumah sakit, Thalia membuang tatapannya ke luar jendela. Dia sangat tak ingin melihat wajah suami di atas kertasnya itu.
Saat tiba di rumah sakit, ayahnya sudah berada di ranjang beroda, dengan pakaian pasien berwarna hijau tua. Beberapa suster hendak mendorong tempat tidur itu masuk ke ruang operasi.
“Itu dia! Thalia, sini!” seru Ramona sambil melambai pada Thalia dan menyuruh para suster menunggu sejenak.
Thalia berlari mendatangi ayahnya yang juga ditemani Ramona dan Camilla.
“Thalia, Jose, senang melihat kalian datang berdua.” Suara serak ayahnya berkata dengan pelan. Tapi wajah itu tampak berbinar senang melihat kehadiran Jose.
“Iya, Pap,” jawab Thalia.
Dalam hatinya dia sangat bersyukur menerima tumpangan Jose tadi. Setidaknya, suami di atas kertasnya ini jadi ikut datang menengok ayahnya dan membuat hati ayahnya senang.
“Jose,” ucap ayahnya lagi. Tangan keriputnya menangkup punggung tangan pria itu. Kemudian dia berkata lagi, “JIka sampai aku tidak bisa melewati ini, ingat janjimu untuk menjaganya baik-baik.”
“Pap jangan ngomong begitu!” sergah Thalia terkejut sekaligus sedih. Di sampingnya, si suami di atas kertasnya menjawab dengan tenang, membuat Thalia mendeliknya tajam. “Tentu. Aku akan selalu menjaganya. Anda tenang saja.”
“Iya. Aku tau kau pasti akan menjaganya.” Ayahnya mengangguk-angguk sebentar kemudian dia menoleh pada para suster.
Suster mendorong ranjang pasien dan ayahnya masuk ke ruang operasi. Begitu pintu menutup, Jose langsung mendapati delikan tajam Thalia terhunus padanya.
Pria itu pun tak mau kalah. Dia balas menatap Thalia dengan tatapan tajamnya juga, hingga akhirnya, Thalia memutus adu pandang mereka dan duduk di kursi yang ada.
“Hei!” seru Ramona menepuk lutut Thalia yang terlihat sangat gelisah. Gadis itu baru sadar jika Ramona duduk di sampingnya dan Jose berdiri bersandar di tembok dekat jendela. Pria itu menatap ke luar dengan lengannya bersedekap di depan dada.
“Bagaimana malam pengantin kalian?” bisik Ramona dengan seulas senyum penuh arti di bibirnya.
Thalia menggeleng tegas. “Kami hanya menikah di atas kertas.”
“Apa? Lalu kalian tidur beda kamar?”
“Eh? Tidak sih. Tetap satu ranjang.”
“Lho? Dia tidak menyentuhmu?” Ramona terheran-heran. Sudah sewajarnya jika Ramona berpikiran bahwa Jose pastilah tidak akan tahan untuk tidak menyentuh istrinya. Pria dengan aura dominan dan arogan seperti Jose mana mungkin mau merelakan haknya sebagai suami tanpa mengklaim tubuh istrinya. Hal seperti itu akan sangat tidak mungkin.
Thalia jadi merasa jawabannya terdengar mengada-ngada. Dengan ragu dia menjawabnya, “Tidak.”
“Tidak?” tanya Ramona lagi, lebih pada dirinya sendiri. “Apa dia homo?”
Thalia mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Dia bilang, sih, tidak.”
“Kau percaya?”
“Entah, ya! Tapi, aku gak peduli.”
“Tapi, dia terlihat care padamu.”
Kini Thalia memutar bola matanya. “How do you know that?”
“Tuh, dia di sini terus, ikut menunggu.”
“Ck! Itu sih karena dia gak punya pekerjaan. Dia itu pewaris yang hanya hidup mengharapkan warisan saja.”
“Masa, sih? Siapa yang bilang?”
“Ya, pastilah, Ramona! Keluarganya terpandang dan kaya raya, dan dia juga pewaris utama yang resmi, sudah tentu dia hanya menunggu saja warisan itu jatuh ke tangannya. Ngapain lagi dia kerja?”
Thalia menjawab semua itu dengan menggebu-gebu. Namun, ada saat di mana memorinya mengingatkannya bahwa semua itu adalah apa yang dia dengar dari Fernando. Saat mereka masih bersama dulu, Fernando kerap menceritakan tentang Jose yang berandalan, pengangguran, dan tak sabar menunggu warisan jatuh ke tangannya.”
Ramona hendak membantah Thalia lagi, tapi diurungkannya niat itu karena Jose sudah menoleh ke arah mereka. Thalia pun bangun dari duduknya menuju Jose.
“Kau tak perlu ikut menunggu di sini,’ kata Thalia, ketus.
“Aku ingin. Tidak apa-apa,” sahut Jose melayangkan kembali pandangannya ke luar jendela.
Thalia kembali kesal padanya. “Memangnya kau tidak ada kerjaan?”
“Aku lowong siang ini.”
“Oh, tentu. Kau memang selalu lowong.” Nada suara Thalia semakin ketus.
Jose sampai mengernyit dan menoleh memandanginya tajam, “Kenapa kau ini? Apa maksudmu tadi?” Suaranya pun sama tajamnya dengan tatapannya.
Tetapi, Thalia tak gentar. Yang dia inginkan adalah suami di atas kertasnya ini terlihat kebobrokannya, dengan begitu Thalia akan bisa melihat apa motivasi sebenarnya pria itu menikahinya.
Dengan melipat lengannya di depan dada, Thalia mengangkat dagunya. Matanya memicing saat bertanya dengan penuh penghakiman, “Kau memang pengangguran, bukan?”
“Pengangguran?” Kedua alis hitam tebal Jose sudah bertaut ketat bahkan hampir menempel mendengar kata itu. Sedetik kemudian, dia tertawa kesal. “Kenapa kau bisa berkata begitu?”
“Ya, aku rasa semua orang di Bacalar ini berpikiran begitu. Kau bisa berkeliaran sepanjang hari di Bacalar sini. Lihat juga penampilanmu yang seperti gembel. Mobilmu yang butut. Sepatumu bahkan sudah harus ditambal sana sini. Kau hidup hanya menunggu warian dari ayahmu saja, kan?”
Usai mengucapkan semua itu, Thalia merasa lega hatinya. Dia juga memicing dengan senyum penuh kemenangan. Namun, Thalia juga tak menyangka saat wajah di hadapannya itu malah semakin merah dan menggelap.
“Apa kau bilang? Siapa yang berkata seperti itu tentangku? Apa mantan kekasihmu yang sekarang sudah menjadi adik iparmu itu?” tanya Jose dengan hardikan keras. Rahangnya sampai bergeser karena menahan marah.
“Jangan sebut dia!” hardik Thalia tak mau kalah dalam hal marah. Rasanya dia ingin menelan hidup-hidup siapapun yang sengaja mengungkit tentang Fernando di depannya. Dan makhluk satu ini jelas-jelas sengaja membuatnya marah.
“Kau yang memulai duluan. Aku rasa kau lebih suka memiliki suami berpakaian rapi, parlente, mobil sport mewah, jam tangan emas, tapi dia selingkuh di belakangmu dan tiba-tiba dia muncul lagi dengan wanita lain yang dinikahinya, kan? Hah! Pantasan kau bisa berkencan dengannya sampai bertahun-tahun, hanya untuk berakhir ditinggalkan.”
“Jangan ungkit-ungkit perbuatan mereka!” hardik Thalia lagi. Kali ini dia hampir berteriak. Jika saja mereka bukan sedang di rumah sakit, Thalia pasti sudah berteriak kencang. Dia bukan tak tahan memikirkan apa yang telah kedua peselingkuh itu perbuat di belakangnya. Tetapi, cara Jose yang sengaja menjadikan itu sebagai bahan untuk membuatnya marahlah yang hampir mengoyak seluruh pembuluh nadinya.
“Biar saja! Terserah aku. Ini mulutku! Kukatakan itu semua agar kau berkaca. Itu makanya mantanmu itu bisa melakukan semua itu, karena kau memang menginginkan pria yang seperti dia! Tapi, jangan harap kau bisa mengubahku menjadi parlente seperti dia! Aku akan tetap menjadi diriku. Dan jangan harap kau bisa menyamaiku dengannya soal kesetiaan! Aku tidak perlu mengatasnamakan cinta hanya untuk berlaku setia.”
Setelah mengucapkan itu semua, Jose menghampiri Camilla dan Ramona, “Aku keluar dulu. Masih banyak pekerjaan. Kabari saja saat operasi telah selesai.”
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa
“Hati-hati, Pap. Pap belum boleh terlalu lelah. Jadi, Pap istirahat saja di kamar ya, Pap?” tanya Thalia yang juga diiyakan oleh Camilla. Sore itu mereka telah kembali ke rumah. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang. “Aku bosan di kamar saja. Lebih baik aku beristirahat di ruang duduk. Aku bisa sambil menonton televisi dan bisa melihat cucu-cucuku bermain. Begitu lebih baik. Melihat kelakuan mereka dan mendengar suara mereka membuatku merasa tetap berada di dunia ini. Jika kau mengurungku di kamar, aku akan merasa berada di penjara!” jawab ayahnya dengan suara ketus. Camilla dan Thalia jadi berpandangan, kemudian mereka mengangguk. Biar bagaimana pun ayah mereka sedang sakit. Sudah sepantasnya segala keinginannya didengarkan dan dikabulkan. “Baiklah, Pap. Akan kuatur supaya sofa di sana bisa nyaman untuk pap tiduri,” ujar Camila lagi sambil merangkul ayahnya dan menuntunnya ke ruang duduk. Dengan segera, Thalia mengatur sofa di sana agar terasa n
Setelah kepergian Ramona dan Camila, Jose menatap Thalia dari tempatnya duduk. Wanita itu terlihat seperti menghindarinya. Dia menjaga pandangannya agar tetap terarah pada anak-anak yang bermain dedaunan kering di pekarangan. Jose pun menghela napasnya dalam diam. Sebelum menyusul Thalia ke rumah ayahnya ini, Jose sempat singgah ke rumahnya sebentar. Saat itulah Mrs. Silvana memberitahunya tentang apa yang dikatakan Mrs. Milly pada Thalia saat sarapan bersama tadi pagi. Sontak saja Jose meradang. Berani-beraninya mereka bertingkah seperti itu pada Thalia saat tidak ada dirinya dan ayahnya di rumah. Dan itu juga rupanya kenapa istrinya itu bersikap sinis padanya saat dia menawari tumpangan tadi pagi. Semua itu membuatnya tidak tenang hingga dia menyusul Thalia ke rumah Tuan Carlo. “Ayahmu membaik, kan?” tanya Jose pelan, berusaha membuat Thalia bersedia bicara padanya. Thalia yang bisa menangkap adanya perhatian yang tulu