Share

11. Terlambat

Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan.

Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam.

Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana.

Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana.

Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya.

“Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selalu yang pertama menyapa dan menghampirinya.

“Aku tidur cepat kemarin,” jawab Jose asal-asalan. Dia selalu tidak nyaman berdekatan dengan Adriano. Orientasi pria itu tidak jelas. Dia suka bergaya perempuan, tetapi di saat-saat tertentu bisa tampil gagah selayaknya lelaki jantan. Namun, Jose sering merinding karena setiap pertanyaan Adriano padanya menunjukkan tingkat perhatian yang melebihi level teman biasa.

Karena itulah, dia tidak mengundang Adriano di acara pernikahannya. Dia bahkan tidak memberitahunya.

“Tumben kau tidur cepat? Capek kerja? Atau, capek apa nih?” tanya pria berkulit putih dengan rambutnya yang sedikit bergelombang.

“Iya!” teriak Jose menjawabnya, karena tepat saat itu gemuruh suara pengunjung di sana membahana lagi.

Jose pun menyelinap ke lautan manusia di depannya. Ditinggalkannya Adriano sendirian. Dia tiba di barisan paling depan dan berdiri di sana menyaksikan pertandingan tinju yang tengah berlangsung.

“Berapa berapa skornya?”  teriak Jose tepat di telinga sosok pria lebih tua di sampingnya.

“Empat kosong. Tinggal satu skor lagi!”

Jose kembali berdiri tegak dengan melipat lengannya di depan dada. Di hadapannya, dua petinju amatir beradu bogem mentah. Salah satunya, Eddy, sudah terlihat teler. Sebelah matanya sudah merah dan membengkak. Juga sudut bibirnya meneteskan darah.

Petinju yang masih segar bugar, Red, kembali melayangkan pukulannya dan di pukulan ke tiga, Eddy yang sudah bengkak-bengkak terkena telak di rahangnya. Dia sampai terpental saat jatuh.

Wasit segera menghitung detik demi detik yang dihabiskan Eddy tanpa bisa bangkit kembali. Setelah detik ke sepuluh dan Eddy masih belum bangun, tangan Red diangkat dan sorakan deras langsung membahana mengelukannya.

“Hei, Jose! Kau mau menantangnya?” teriak wasit saat dia menangkap kehadiran pria itu di depan ringnya.

Red yang sedang menikmati dielukan kemenangannya segera memrotes wasit tadi. “Hei, hei! Kita belum sepakat soal itu!”

Wasit terkekeh. Jose pun menggeleng. Malam ini dia hanya mampir untuk melihat, bukan untuk bertinju.

“Ayo! Siapa lagi yang mau menantang Red, pemenang kita malam ini? Tiga ribu dollar menanti kalian semua, jika berhasil merubuhkan Red!” Kembali wasit berteriak dengan sepasang matanya mengerling pada Jose.

Hampir semua orang di sana menjadi saksi bahwa Jose belum pernah terkalahkan. Dan hampir semua petinju amatir tidak ada yang mau menantang pria itu jika mereka tidak dijanjikan sedikit hadiah hanya untuk berani menjadi penantang Jose, sekalipun tidak menang.

Jose pun cukup terhenyak mendengar besaran jumlah hadiahnya. Dia memang kerap menjadikan pertandingan tinju illegal ini sebagai sumber untuk menambah angka depositonya. Diliriknya jam di sudut ponselnya. Sudah pukul 7 lebih. Dia masih punya waktu satu jam lebih untuk bertanding. Bayangan tiga ribu dolar bisa masuk ke kantongnya malam ini, menari-nari di benaknya.

Akhirnya, Jose pun melangkah maju, naik ke ring. Sorakan semakin membahana. Pengunjung tetap club itu sudah tentu sangat mengidolakan Jose. Taruhan mereka selalu menang jika bertaruh pada pria itu, sampai-sampai para Bandar juga kapok dan tidak mau lagi membuka taruhan jika Jose yang bertanding.

Kini, selagi Jose bersiap memakai sarung tinju dan pelindung giginya, Red menatapnya gentar. Kekalahan sudah membayang di pelupuk matanya. Tapi, dia juga tidak bisa turun begitu saja.

Teng! Bunyi bel sebagai tanda mulainya pertandingan terdengar.

Red memasang kuda-kudanya, dengan kedua kakinya bergerak lincah sembari otaknya juga berkelana memikirkan dari sudut mana dia hendak menyerang Jose.

Sementara itu, si pengantin baru yang baru berusia satu hari itu hanya memasang kuda-kudanya saja, tanpa banyak bergerak. Kekuatan intimidasinya terletak pada tatapan tajamnya yang laksana elang hendak memburu mangsa yang berada jauh di bawah sana. Segala perhatiannya dikerahkan hanya pada kedua mata mangsanya. Sepasang mata milik Jose sendiri terlihat bagai tak berkedip sekali pun.

Red menggerakkan terus kakinya hingga tanpa sadar dia hanya memutari tubuh Jose. Karena sang lawan tidak kunjung menyerang, akhirnya Red melayangkan tinjunya terlebih dahulu.

Dengan mudahnya, Jose mengelak. Red kembali melayangkan tinju dengan tangan sebelahnya. Lagi-lagi, dielak Jose dengan santainya. Emosi mulai menjalari tubuh Red. Dia mengerahkan kekuatannya untuk meninju Jose membabi buta. Sayangnya, semuanya tak kena.

Red semakin emosi. Dia melayangkan lagi satu tinjunya dengan kekuatan yang dikerahkan dari jauh. Jose mengelaknya lagi. Namun kali ini, sebelah tangannya balas meninju Red dari rahang bawahnya.

Red jatuh terpental, namun buru-buru berdiri, meskipun oleng. Darah mengucur dari sudut bibir dan hidungnya. Selesai dia mengelap darahnya, tatapan tajam Jose sudah menunggunya lagi. Kini, Jose tak memberi ampun lagi. Dia segera menyerang di saat Red belum siap sepenuhnya.

Pria berotot yang tak sebesar Jose itu kembali terjatuh dan terpental ke samping. Dia rubuh, namun masih juga bangkit. Sorakan penonton semakin membahana menambah semangat kedua petinju itu. Sangat jelas bahwa Red ingin mempertahankan harga diri yang baru saja direguknya dengan susah payah saat melawan Eddy tadi. Karenanya, dia bertekad takkan menyerah semudah itu. Takkan dia biarkan Jose menang dengan mudah.

Setiap kali Red terpukul dan terjatuh, dia selalu berusaha bangkit. Jose pun semakin bersemangat saat mendapatkan lawan yang tak mudah menyerah. Gairah bertinju dalam darahnya semakin meletup-letup memompa semangat membaranya.

Tanpa sadar, pertandingan masih berlangsung di saat waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dua puluh menit kemudian barulah Red tergeletak lunglai dan tak sanggup bangkit lagi.

Jose dinyatakan menang dan teriakan membahana para penonton menyorakinya.

“Kau sungguh luar biasa!” sahut Adriano saat Jose turun dari panggung. Di belakang pemuda itu ada pria bernama Phillio, yang juga akrab dengan Jose. Phillio menepuk pundak Jose memberikan selamat atas kemenangannya yang sudah biasa.

Jose hanya mengangguk kecil pada Adriano. Tetapi, disambutnya juga handuk kecil yang disodorkan padanya oleh Adriano.

Dia mengelap dengan handuk itu, kemudian mulai mencari kaos bajunya.

“Mencari ini?” tanya Adriano lagi.

Jose menyambarnya cepat dan memakainya. “Thanks,” ucapnya singkat.

“Mari kita rayakan,” sahut Adriano lagi. Beberapa pengunjung yang lain juga sudah berhamburan ke atas untuk minum atau sekadar mendengarkan music setelah menonton adegan tegang. Saat melihat itu, Jose baru teringat akan jadwal biasanya, bahwa pertandingan berikutnya akan dimulai di pukul 10 malam.

Buru-buru dia bertanya pada Phillio. “Jam berapa sekarang?”

Phillio melirik jam di pergelangan tangannya. “Hampir jam 10. Kenapa?”

“Apa?! Astaga! Aku harus menjemput Thalia!” Jose gegas menyelinap melewati orang-orang yang masih ada di sana.

PHillio bersiul di belakangnya. “Beda, ya, Bro, sudah punya istri sekarang.”

Adriano yang di samping Phillio lebih terkejut lagi. “Apa? Istri? Sejak kapan dia beristri?”

Phillio menatap Adriano dengan tatapan kasihan. Ditepuknya pundak pemuda itu. “Kemarin dia baru menikah, Bro.”

"Apaaaa? Bagaimana bisa?" seru Adriano dengan ternganga sendiri.

              ***

Thalia sedang menatap wajah tertidur ayahnya saat ponselnya bergetar di saku celana jeansnya. Gadis itu mengambil dan mengeceknya. Ada message dari Felipe, teman satu kampusnya. Di pesan itu, dia harus mengumpulkan revisi skripsinya minggu depan agar bisa mengikuti ujian di awal bulan depan.

Thalia memijit pelipisnya. Pap belum juga sehat sempurna, dia sudah harus memikirkan skripsinya dengan status barunya sekarang yang sudah menikah. Pikiran yang bercabang-cabang menyulitkannya untuk berfokus pada skripsi.

Thalia menyimpan ponselnya kembali dan tepat saat itu terdengar ketukan di pintu. Camilla dan Dario yang ada di depan sana. Thalia melirik jam, baru pukul 9, kenapa mereka sudah datang?

“Kenapa kalian sudah datang? Jam 11 nanti baru Jose menjemputku,” kata Thalia seraya keluar dari ruang recovery.

Camilla jadi berpandangan dengan Dario. “Dia bilang kalian sepakat jam 9.”

“Jam 9? Dia bilang begitu?”

“Iya.”

“Oh!” Hanya itu yang diucapkan THalia, tapi hatinya merasa kesal. Awas dia! Lihat saja nanti!

Mereka masih mengobrol sembari menunggu kedatangan Jose. Hingga pukul 10 dan Jose belum datang, akhirnya Camila meminta Dario untuk pulang. “Biar aku saja yang menjaga Pap.”

“Ya, sudah. Ayo, Thalia, kuantar pulang.”

“Aku tunggu si monster itu aja,” jawabnya kesal.

Dan seperti sebelum-sebelumnya, suara Jose menyahutnya tiba-tiba, “Menungguku?”

Thalia menoleh dan mendeliknya kesal. Pria itu menatap Dario dan Camila. “Maaf, aku terlambat. Aku lupa waktu.”

Alasan yang diberikan Jose tak ayal membuat Camilla semakin gelisah hatinya.

                        ***

Mereka sudah di mobil, duduk dengan saling diam. Jose hanya focus menyetir dan Thalia membuang pandangannya ke luar. Ada banyak tanya yang berkeliaran di benaknya. Namun, dia memilih tak menggubris rasa penasarannya.

“Kau sudah makan?” Suara serak Jose tiba-tiba menyapanya dalam keheningan mereka.

Thalia mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya, tapi dia mendiamkannya. Dia masih terngiang ucapan Camila bahwa Jose mengatakan mereka sepakat untuk pulang jam 9 malam. Kesal rasanya memiliki suami yang pintar memanipulasi. Selain itu, dia juga penasaran, kenapa Jose sampai terlambat. Apa yang diperbuatnya sampai dia lupa waktu?

Tidak! Tidak! Dia tidak boleh memikirkan itu. Bukankah sedari awal dia tidak ingin mencampuri urusan pribadi pria itu? Jadi, dia tidak boleh merasa ingin tahu. Pikiran Thalia pun kembali pada pertanyaan Jose. Dia membuka mulutnya hendak menjawab, tapi kritikan Jose telah terlebih dahulu memantikkan amarahnya lagi.

“Sangat tidak sopan tidak menjawab pertanyaan orang lain, terutama saat sedang di perjalanan malam begini,” sindir Jose lagi.

Thalia jadi marah mendengarnya. Tetapi, dia masih menahan dirinya. “Tidak usah mengajakku bicara. Tidak usah pura-pura peduli apakah aku sudah makan apa belum. Aku tidak suka!”

“Oh, pura-pura peduli. Oke!” jawab Jose ketus seraya membelokkan setir mobil menuju pekarangan rumah keluarga Berbardo. Mendengar Thalia tadi lagi-lagi menyebutnya ‘monster’ telah membuat hatinya kesal. Kini, ditambah dengan jawaban sengit gadis itu, kesenangannya karena mendapatkan uang kemenangan tinju illegal tadi mendadak menguap. Amarah menggantikan rasa gembiranya itu.

“Dengar ya! Jangan hanya karena mobilku ini pick up butut, lantas kau menganggapku tidak punya uang. Dan jangan hanya karena aku tidak berteriak di depan wajahmu, lantas kau menganggapku tidak marah padamu!” kecam Jose sembari terus menyetir melewati pintu gerbang rumahnya hingga tiba di tempat parkir yang berada di belakang rumah.

Thalia menoleh cepat padanya, “Apa maksudmu?”

Kini, giliran Jose yang balas mengabaikannya. Pria itu hanya sibuk memarkir karena mereka telah tiba.

Saat mobil telah berhenti, Thalia sudah bertambah marah karena pengabaian suami di atas kertasnya itu. Dia cepat-cepat turun tanpa menunggu Jose dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah.

 Sialnya, di jam malam seperti ini, penghuni rumah yang tadi pagi tak kelihatan, kini malah sedang berkumpul di ruang tamu.

“Well … Moooom … ini ada menantu satu lagi, tapi tidak skalipun berusaha menyapa kita, huh?”

Thalia menoleh dan mendapati Maritza, adik Fernando, yang menyapanya dengan senyum ramah yang tampak dibuat-buat.

Sedetik kemudian, gadis itu terbelalak matanya dan menutup mulutnya yang menganga karena terkejut. “Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?”

Tawa Maritza menggelegar seketika.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mom AJ
gak ada yg selingkuh kk ......
goodnovel comment avatar
Sasha Sasha
Mbaaa ini si jose ato si thalia nya ada selingkuh ya? Baca summary, aku jadi ga mau lanjut baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status