Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan.
Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam.
Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana.
Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana.
Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya.
“Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selalu yang pertama menyapa dan menghampirinya.
“Aku tidur cepat kemarin,” jawab Jose asal-asalan. Dia selalu tidak nyaman berdekatan dengan Adriano. Orientasi pria itu tidak jelas. Dia suka bergaya perempuan, tetapi di saat-saat tertentu bisa tampil gagah selayaknya lelaki jantan. Namun, Jose sering merinding karena setiap pertanyaan Adriano padanya menunjukkan tingkat perhatian yang melebihi level teman biasa.
Karena itulah, dia tidak mengundang Adriano di acara pernikahannya. Dia bahkan tidak memberitahunya.
“Tumben kau tidur cepat? Capek kerja? Atau, capek apa nih?” tanya pria berkulit putih dengan rambutnya yang sedikit bergelombang.
“Iya!” teriak Jose menjawabnya, karena tepat saat itu gemuruh suara pengunjung di sana membahana lagi.
Jose pun menyelinap ke lautan manusia di depannya. Ditinggalkannya Adriano sendirian. Dia tiba di barisan paling depan dan berdiri di sana menyaksikan pertandingan tinju yang tengah berlangsung.
“Berapa berapa skornya?” teriak Jose tepat di telinga sosok pria lebih tua di sampingnya.
“Empat kosong. Tinggal satu skor lagi!”
Jose kembali berdiri tegak dengan melipat lengannya di depan dada. Di hadapannya, dua petinju amatir beradu bogem mentah. Salah satunya, Eddy, sudah terlihat teler. Sebelah matanya sudah merah dan membengkak. Juga sudut bibirnya meneteskan darah.
Petinju yang masih segar bugar, Red, kembali melayangkan pukulannya dan di pukulan ke tiga, Eddy yang sudah bengkak-bengkak terkena telak di rahangnya. Dia sampai terpental saat jatuh.
Wasit segera menghitung detik demi detik yang dihabiskan Eddy tanpa bisa bangkit kembali. Setelah detik ke sepuluh dan Eddy masih belum bangun, tangan Red diangkat dan sorakan deras langsung membahana mengelukannya.
“Hei, Jose! Kau mau menantangnya?” teriak wasit saat dia menangkap kehadiran pria itu di depan ringnya.
Red yang sedang menikmati dielukan kemenangannya segera memrotes wasit tadi. “Hei, hei! Kita belum sepakat soal itu!”
Wasit terkekeh. Jose pun menggeleng. Malam ini dia hanya mampir untuk melihat, bukan untuk bertinju.
“Ayo! Siapa lagi yang mau menantang Red, pemenang kita malam ini? Tiga ribu dollar menanti kalian semua, jika berhasil merubuhkan Red!” Kembali wasit berteriak dengan sepasang matanya mengerling pada Jose.
Hampir semua orang di sana menjadi saksi bahwa Jose belum pernah terkalahkan. Dan hampir semua petinju amatir tidak ada yang mau menantang pria itu jika mereka tidak dijanjikan sedikit hadiah hanya untuk berani menjadi penantang Jose, sekalipun tidak menang.
Jose pun cukup terhenyak mendengar besaran jumlah hadiahnya. Dia memang kerap menjadikan pertandingan tinju illegal ini sebagai sumber untuk menambah angka depositonya. Diliriknya jam di sudut ponselnya. Sudah pukul 7 lebih. Dia masih punya waktu satu jam lebih untuk bertanding. Bayangan tiga ribu dolar bisa masuk ke kantongnya malam ini, menari-nari di benaknya.
Akhirnya, Jose pun melangkah maju, naik ke ring. Sorakan semakin membahana. Pengunjung tetap club itu sudah tentu sangat mengidolakan Jose. Taruhan mereka selalu menang jika bertaruh pada pria itu, sampai-sampai para Bandar juga kapok dan tidak mau lagi membuka taruhan jika Jose yang bertanding.
Kini, selagi Jose bersiap memakai sarung tinju dan pelindung giginya, Red menatapnya gentar. Kekalahan sudah membayang di pelupuk matanya. Tapi, dia juga tidak bisa turun begitu saja.
Teng! Bunyi bel sebagai tanda mulainya pertandingan terdengar.
Red memasang kuda-kudanya, dengan kedua kakinya bergerak lincah sembari otaknya juga berkelana memikirkan dari sudut mana dia hendak menyerang Jose.
Sementara itu, si pengantin baru yang baru berusia satu hari itu hanya memasang kuda-kudanya saja, tanpa banyak bergerak. Kekuatan intimidasinya terletak pada tatapan tajamnya yang laksana elang hendak memburu mangsa yang berada jauh di bawah sana. Segala perhatiannya dikerahkan hanya pada kedua mata mangsanya. Sepasang mata milik Jose sendiri terlihat bagai tak berkedip sekali pun.
Red menggerakkan terus kakinya hingga tanpa sadar dia hanya memutari tubuh Jose. Karena sang lawan tidak kunjung menyerang, akhirnya Red melayangkan tinjunya terlebih dahulu.
Dengan mudahnya, Jose mengelak. Red kembali melayangkan tinju dengan tangan sebelahnya. Lagi-lagi, dielak Jose dengan santainya. Emosi mulai menjalari tubuh Red. Dia mengerahkan kekuatannya untuk meninju Jose membabi buta. Sayangnya, semuanya tak kena.
Red semakin emosi. Dia melayangkan lagi satu tinjunya dengan kekuatan yang dikerahkan dari jauh. Jose mengelaknya lagi. Namun kali ini, sebelah tangannya balas meninju Red dari rahang bawahnya.
Red jatuh terpental, namun buru-buru berdiri, meskipun oleng. Darah mengucur dari sudut bibir dan hidungnya. Selesai dia mengelap darahnya, tatapan tajam Jose sudah menunggunya lagi. Kini, Jose tak memberi ampun lagi. Dia segera menyerang di saat Red belum siap sepenuhnya.
Pria berotot yang tak sebesar Jose itu kembali terjatuh dan terpental ke samping. Dia rubuh, namun masih juga bangkit. Sorakan penonton semakin membahana menambah semangat kedua petinju itu. Sangat jelas bahwa Red ingin mempertahankan harga diri yang baru saja direguknya dengan susah payah saat melawan Eddy tadi. Karenanya, dia bertekad takkan menyerah semudah itu. Takkan dia biarkan Jose menang dengan mudah.
Setiap kali Red terpukul dan terjatuh, dia selalu berusaha bangkit. Jose pun semakin bersemangat saat mendapatkan lawan yang tak mudah menyerah. Gairah bertinju dalam darahnya semakin meletup-letup memompa semangat membaranya.
Tanpa sadar, pertandingan masih berlangsung di saat waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dua puluh menit kemudian barulah Red tergeletak lunglai dan tak sanggup bangkit lagi.
Jose dinyatakan menang dan teriakan membahana para penonton menyorakinya.
“Kau sungguh luar biasa!” sahut Adriano saat Jose turun dari panggung. Di belakang pemuda itu ada pria bernama Phillio, yang juga akrab dengan Jose. Phillio menepuk pundak Jose memberikan selamat atas kemenangannya yang sudah biasa.
Jose hanya mengangguk kecil pada Adriano. Tetapi, disambutnya juga handuk kecil yang disodorkan padanya oleh Adriano.
Dia mengelap dengan handuk itu, kemudian mulai mencari kaos bajunya.
“Mencari ini?” tanya Adriano lagi.
Jose menyambarnya cepat dan memakainya. “Thanks,” ucapnya singkat.
“Mari kita rayakan,” sahut Adriano lagi. Beberapa pengunjung yang lain juga sudah berhamburan ke atas untuk minum atau sekadar mendengarkan music setelah menonton adegan tegang. Saat melihat itu, Jose baru teringat akan jadwal biasanya, bahwa pertandingan berikutnya akan dimulai di pukul 10 malam.
Buru-buru dia bertanya pada Phillio. “Jam berapa sekarang?”
Phillio melirik jam di pergelangan tangannya. “Hampir jam 10. Kenapa?”
“Apa?! Astaga! Aku harus menjemput Thalia!” Jose gegas menyelinap melewati orang-orang yang masih ada di sana.
PHillio bersiul di belakangnya. “Beda, ya, Bro, sudah punya istri sekarang.”
Adriano yang di samping Phillio lebih terkejut lagi. “Apa? Istri? Sejak kapan dia beristri?”
Phillio menatap Adriano dengan tatapan kasihan. Ditepuknya pundak pemuda itu. “Kemarin dia baru menikah, Bro.”
"Apaaaa? Bagaimana bisa?" seru Adriano dengan ternganga sendiri.
***
Thalia sedang menatap wajah tertidur ayahnya saat ponselnya bergetar di saku celana jeansnya. Gadis itu mengambil dan mengeceknya. Ada message dari Felipe, teman satu kampusnya. Di pesan itu, dia harus mengumpulkan revisi skripsinya minggu depan agar bisa mengikuti ujian di awal bulan depan.
Thalia memijit pelipisnya. Pap belum juga sehat sempurna, dia sudah harus memikirkan skripsinya dengan status barunya sekarang yang sudah menikah. Pikiran yang bercabang-cabang menyulitkannya untuk berfokus pada skripsi.
Thalia menyimpan ponselnya kembali dan tepat saat itu terdengar ketukan di pintu. Camilla dan Dario yang ada di depan sana. Thalia melirik jam, baru pukul 9, kenapa mereka sudah datang?
“Kenapa kalian sudah datang? Jam 11 nanti baru Jose menjemputku,” kata Thalia seraya keluar dari ruang recovery.
Camilla jadi berpandangan dengan Dario. “Dia bilang kalian sepakat jam 9.”
“Jam 9? Dia bilang begitu?”
“Iya.”
“Oh!” Hanya itu yang diucapkan THalia, tapi hatinya merasa kesal. Awas dia! Lihat saja nanti!
Mereka masih mengobrol sembari menunggu kedatangan Jose. Hingga pukul 10 dan Jose belum datang, akhirnya Camila meminta Dario untuk pulang. “Biar aku saja yang menjaga Pap.”
“Ya, sudah. Ayo, Thalia, kuantar pulang.”
“Aku tunggu si monster itu aja,” jawabnya kesal.
Dan seperti sebelum-sebelumnya, suara Jose menyahutnya tiba-tiba, “Menungguku?”
Thalia menoleh dan mendeliknya kesal. Pria itu menatap Dario dan Camila. “Maaf, aku terlambat. Aku lupa waktu.”
Alasan yang diberikan Jose tak ayal membuat Camilla semakin gelisah hatinya.
***
Mereka sudah di mobil, duduk dengan saling diam. Jose hanya focus menyetir dan Thalia membuang pandangannya ke luar. Ada banyak tanya yang berkeliaran di benaknya. Namun, dia memilih tak menggubris rasa penasarannya.
“Kau sudah makan?” Suara serak Jose tiba-tiba menyapanya dalam keheningan mereka.
Thalia mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya, tapi dia mendiamkannya. Dia masih terngiang ucapan Camila bahwa Jose mengatakan mereka sepakat untuk pulang jam 9 malam. Kesal rasanya memiliki suami yang pintar memanipulasi. Selain itu, dia juga penasaran, kenapa Jose sampai terlambat. Apa yang diperbuatnya sampai dia lupa waktu?
Tidak! Tidak! Dia tidak boleh memikirkan itu. Bukankah sedari awal dia tidak ingin mencampuri urusan pribadi pria itu? Jadi, dia tidak boleh merasa ingin tahu. Pikiran Thalia pun kembali pada pertanyaan Jose. Dia membuka mulutnya hendak menjawab, tapi kritikan Jose telah terlebih dahulu memantikkan amarahnya lagi.
“Sangat tidak sopan tidak menjawab pertanyaan orang lain, terutama saat sedang di perjalanan malam begini,” sindir Jose lagi.
Thalia jadi marah mendengarnya. Tetapi, dia masih menahan dirinya. “Tidak usah mengajakku bicara. Tidak usah pura-pura peduli apakah aku sudah makan apa belum. Aku tidak suka!”
“Oh, pura-pura peduli. Oke!” jawab Jose ketus seraya membelokkan setir mobil menuju pekarangan rumah keluarga Berbardo. Mendengar Thalia tadi lagi-lagi menyebutnya ‘monster’ telah membuat hatinya kesal. Kini, ditambah dengan jawaban sengit gadis itu, kesenangannya karena mendapatkan uang kemenangan tinju illegal tadi mendadak menguap. Amarah menggantikan rasa gembiranya itu.
“Dengar ya! Jangan hanya karena mobilku ini pick up butut, lantas kau menganggapku tidak punya uang. Dan jangan hanya karena aku tidak berteriak di depan wajahmu, lantas kau menganggapku tidak marah padamu!” kecam Jose sembari terus menyetir melewati pintu gerbang rumahnya hingga tiba di tempat parkir yang berada di belakang rumah.
Thalia menoleh cepat padanya, “Apa maksudmu?”
Kini, giliran Jose yang balas mengabaikannya. Pria itu hanya sibuk memarkir karena mereka telah tiba.
Saat mobil telah berhenti, Thalia sudah bertambah marah karena pengabaian suami di atas kertasnya itu. Dia cepat-cepat turun tanpa menunggu Jose dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah.
Sialnya, di jam malam seperti ini, penghuni rumah yang tadi pagi tak kelihatan, kini malah sedang berkumpul di ruang tamu.
“Well … Moooom … ini ada menantu satu lagi, tapi tidak skalipun berusaha menyapa kita, huh?”
Thalia menoleh dan mendapati Maritza, adik Fernando, yang menyapanya dengan senyum ramah yang tampak dibuat-buat.
Sedetik kemudian, gadis itu terbelalak matanya dan menutup mulutnya yang menganga karena terkejut. “Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?”
Tawa Maritza menggelegar seketika.
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa
“Hati-hati, Pap. Pap belum boleh terlalu lelah. Jadi, Pap istirahat saja di kamar ya, Pap?” tanya Thalia yang juga diiyakan oleh Camilla. Sore itu mereka telah kembali ke rumah. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang. “Aku bosan di kamar saja. Lebih baik aku beristirahat di ruang duduk. Aku bisa sambil menonton televisi dan bisa melihat cucu-cucuku bermain. Begitu lebih baik. Melihat kelakuan mereka dan mendengar suara mereka membuatku merasa tetap berada di dunia ini. Jika kau mengurungku di kamar, aku akan merasa berada di penjara!” jawab ayahnya dengan suara ketus. Camilla dan Thalia jadi berpandangan, kemudian mereka mengangguk. Biar bagaimana pun ayah mereka sedang sakit. Sudah sepantasnya segala keinginannya didengarkan dan dikabulkan. “Baiklah, Pap. Akan kuatur supaya sofa di sana bisa nyaman untuk pap tiduri,” ujar Camila lagi sambil merangkul ayahnya dan menuntunnya ke ruang duduk. Dengan segera, Thalia mengatur sofa di sana agar terasa n
Setelah kepergian Ramona dan Camila, Jose menatap Thalia dari tempatnya duduk. Wanita itu terlihat seperti menghindarinya. Dia menjaga pandangannya agar tetap terarah pada anak-anak yang bermain dedaunan kering di pekarangan. Jose pun menghela napasnya dalam diam. Sebelum menyusul Thalia ke rumah ayahnya ini, Jose sempat singgah ke rumahnya sebentar. Saat itulah Mrs. Silvana memberitahunya tentang apa yang dikatakan Mrs. Milly pada Thalia saat sarapan bersama tadi pagi. Sontak saja Jose meradang. Berani-beraninya mereka bertingkah seperti itu pada Thalia saat tidak ada dirinya dan ayahnya di rumah. Dan itu juga rupanya kenapa istrinya itu bersikap sinis padanya saat dia menawari tumpangan tadi pagi. Semua itu membuatnya tidak tenang hingga dia menyusul Thalia ke rumah Tuan Carlo. “Ayahmu membaik, kan?” tanya Jose pelan, berusaha membuat Thalia bersedia bicara padanya. Thalia yang bisa menangkap adanya perhatian yang tulu
“Kau harus lihat ekspresi Fernando saat kukatakan bahwa kita akan honeymoon hari Jumat ini!” Jose menutup pintu kamar mereka sesaat setelah Thalia melangkah masuk.Pria itu terkekeh geli mengingat kembali wajah adik tirinya itu yang pupil matanya membesar dan tak ada bagian tubuhnya yang lain yang bisa bergerak saat mendengar mereka akan pergi honeymoon.“Trims,” sahut Thalia lirih sambil membalikkan tubuhnya menghadap Jose.Mereka berdua berdiri saling berhadapan dengan tinggi tubuh yang cukup mencolok perbedaannya. Thalia hanya sebatas leher suaminya saja.“Trims untuk?” tanya Jose lagi. Tubuhnya dia bungkukkan agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah sang istri.“Untuk tadi. Membantuku dan membelaku di depan mereka,” kata Thalia lagi. Dia juga menghadiahkan Jose senyum kecil yang lembut dan tulus. Senyum yang sangat dikenal Jose setiap kali dia mengamati gadis itu diam-diam selama ini.Jose p
“Apa kau bilang? Bagaimana bisa itu terjadi?” Fernando belumlah selesai bersiap untuk ke kantor pagi itu, tetapi kabar tak sedap sudah dia dengar dan tentu saja memancing murkanya naik ke permukaan. “Siapa yang berani-beraninya melakukan itu?” tanya Fernando lagi dengan ponsel di telinganya. Dia sedang berbicara pada wakilnya. “Apa? Austin Mayhew? Bukannya dia tidak ikut tender?” raung Fernando lagi. Jemarinya terlihat jelas mencengkeram ponsel di tangannya seakan ingin menghancurkannya. Dan setelah beberapa detik mendengarkan jawaban dari ujung sana, Fernando mematikan ponsel seraya mengumpat kasar. “Bajingan sialan! Berani-beraninya dia merebut sumber pemasukanku?!” “Ada apa sih? Pagi-pagi sudah kesurupan,” tanya Gabriella seraya mendekat pada suaminya itu. Wanita itu baru saja selesai mandi. Tubuhnya masih ditutup bathrobe dan rambutnya dililit handuk. “Proyek resort di selatan Bacalar direbut Austin!” jawab Fernando kekesalan maksimal. “Apa? Kenapa bisa? Bukankah kau bilang